Persembahan 67 Tahun Cak Nun: Hikmah Saat Nilai Maiyah Diuji
Tidak ada yang menyangka jika Indonesia juga akan menjadi Negara yang terserang virus Corona 2019. Sejak merebak di Negara kita bulan Maret lalu, semua keadaan berubah. Yang semula setiap hari harus keluar rumah untuk mencari nafkah, sekarang dipaksa harus stay di rumah, yang semula dengan mudah berpindah-pindah kota dalam sehari, kini harus berpikir keras bagaimana supaya bisa bertahan hidup di tempat demi menjaga agar tidak tertular virus yang sedang naik daun ini. Kalau memakai istilah sobat ambyar, lagi sayang-sayange, sedang sayang-sayangnya ke kita. Semua aspek terdampak akibat munculnya Covid-19 ini.
Saya sendiri mau ndak mau harus beradaptasi dengan keadaan. Memang kantor tempat saya bekerja menerapkan sistem WFH (Work From Home), namun posisi saya sebagai pelayan, tidak memungkinkan untuk ber-WFH setiap hari. Namun justru dengan keadaan tersebut, saya jadi bisa melihat kondisi sekitar, kondisi jalanan yang setiap hari saya lewati menuju ke tempat kerja, kondisi para pencari nafkah, kondisi kota saya. Semua berubah, begitu juga dengan kota lain, habituasi dengan keadaan.
Dari segi perekonomian, tampak mulai lesu dengan sepinya pembeli di setiap toko pinggir jalan, mall-mall tutup, tempat-tempat makan tak berpenghuni, bioskop gelap, bahkan tidak sedikit perusahaan mulai merumahkan para karyawannya. Kondisi yang berat, dan dialami di semua aspek. Ini menggelitik saya, membuat saya bertanya, “lantas bagaimana mereka mendapatkan penghasilan jika kondisi begini?”. Sebagian beralih profesi, sebagian lainnya ada yang sudah mulai menjual perabot, sebagian lagi yang sudah melek teknologi, pasti memanfaatkannya untuk bisa menghasilkan pendapatan maupun manfaat lain seperti berkomunikasi secara masal, rapat koordinasi, galang donasi ataupun sekadar mencari informasi.
Saya sendiri selain mencari informasi, juga turut meramaikan jagad perdagangan online dengan berjualan beras. Karena solidaritas masyarakat mulai menguat dengan maraknya penggalangan dana, beras saya pun berinovasi menjadi paket sembako yang bisa menjadi pilihan memudahkan bagi para donatur dan posko-posko untuk membantu masyarakat terdampak.
Bagaimana dengan Maiyahan? Sudah dua kali saya mengikuti Mocopat Syafaat secara live di Youtube, mendengarkan suara Mbah Nun via telepon di gelaran MS online tersebut. Artinya Maiyah pun juga bukanlah organisme yang kebal terhadap virus dengan terus berkeliling Maiyahan ke berbagai kota dengan jamaah yang hadir melebihi kapasitas tempat seperti yang biasa kita lihat. Jamaah Maiyah juga dengan lila, legowo melingkar di tempat masing-masing bermaiyah dengan cara dan bahagia yang mereka ciptakan sendiri. Kenduri Cinta misalnya, mereka mengadakan reboan on the sky setiap Rabu malam di tiap minggu dengan metode aplikasi zoom meeting. Meski Maiyahan dengan menatap layar, tidak mengurangi nilai dari yang disampaikan para narasumber.
Dalam satu kesempatan mengikuti Maiyahan online, saya mendengar ekspresi Yai Tohar mengungkapkan “Justru saat ini adalah saat nilai Maiyahmu itu diuji”. Mak deg saya mendengarnya. Bagi saya, Maiyah memang bagaimana kita diajak untuk berpikir yang presisi, bukan semata-mata membenarkan karena sudah menjadi habit. Beberapa kali saya tersadarkan bahwa bekerja itu tidak sekadar mencari materi, tapi juga nilai di saat sebagian liyan menganggap bekerja adalah hanya untuk mendapatkan penghasilan.
Tempo kemarin, ketika mengantarkan pesanan paket sembako, saya bertemu dengan penerima bantuan paket. Seorang ibu muda, tinggal di bekas tempat parkir pabrik gula berusia ratusan tahun. Ruangan tersebut diubah menjadi kamar untuk Ia tinggali bersama kedua anaknya yang masih balita dan ibunya, suaminya meninggal dan dirinya sendiri baru saja dirumahkan karena perusahaan tempatnya bekerja tidak mampu menggajinya lagi. Melihat saya mengantar paket yang dipesan orang lain untuk dirinya, wajahnya menampakkan rona senang dan lega meski sempat ia menolaknya karena menganggap dirinya masih mampu bekerja dan masih ada yang lebih membutuhkan ketimbang ia sendiri, sedangkan di luaran sana justru ada yang kondisi jauh lebih baik dari ibu muda ini, namun teriak-teriak meminta bantuan. Saya pun tertular emosi bahagia, mendapati sesuatu yang menurut saya tidak ternilai dengan materi dan hikmah langsung dari Allah SWT.
Beberapa waktu lampau, kita semua menyaksikan Allah “menghadiahkan” kepada Mbah Nun berupa sakit, yang membuat Mbah Nun harus beristirahat sejenak menjadi narasumber utama di setiap Maiyahan. Saya sempat ikut down dan sedih mendengar Mbah Nun gerah, namun lantas saya bersyukur, karena dengan diparingi sakit, Mbah Nun bisa menyeimbangkan fisiknya, mengistirahatkan badannya sesaat di tengah padatnya jadwal beliau yang kita semua tau dalam sebulan bisa 6-7 kali beliau berpindah kota berkeliling menemani Jamaah Maiyah dan masyarakat, dan Alhamdulillah sampai saat ini Insyaallah beliau sehat, kita doakan!
Dalam kondisi pandemik ini, kira-kira sudah tiga bulan lamanya Jamaah Maiyah tidak dapat bertemu secara langsung dengan Mbah Nun, bahkan memandang bagaimana wajah beliau ter-update di layar saja sangat jarang. Tentunya ini membuat kita sangat rindu bukan? Tapi sekali lagi, ada hal yang menurut saya bisa kita petik hikmahnya, menempatkan diri sepresisi mungkin dan patut kita syukuri sebanyak-banyaknya.
Tidaklah mudah menjadi Ibu Novia Kolopaking, menjadi Kak Sabrang, Dik Hayya, Dik Jembar, Dik Rampak dan cucu-cucu yang sering kali harus ikhlas memiliki waktu yang sempit bersama Mbah Nun, banyak momen-momen penting terlewatkan tanpa kehadiran beliau. Saya yakin mereka menyadari bahwa Mbah Nun adalah milik banyak orang di seluruh antero Indonesia bahkan juga di beberapa bagian di luar negeri ini. Dan Allah Maha Berkesempatan memberi luang sebanyak yang Ia mau untuk mengumpulkan Mbah Nun bersama keluarga tercintanya. Saat ini justru kita Jamaah Maiyah turut berbahagia seperti halnya Ibu Novia beserta putra putri dan cucu yang sedang berhari raya menikmati kebersamaan keluarga yang utuh dengan hadirnya Mbah Nun di tengah mereka. Pun dengan kita, yang lebih banyak sinau dan menikmati hari-hari bersama keluarga terdekat.
Ada hal yang lebih kita syukuri juga, bahwa di tengah kebahagiaan berkumpulnya keluarga Mbah Nun, beliau juga tidak lepas dan tidak lelah menyempatkan menemani kita di masa karantina karena Covid-19 ini dengan istiqomahnya tulisan beliau yang sudah pasti menjadi bekal kita menjalani lintasan-lintasan di masa sekarang hingga ke depan yang kita tidak akan pernah tau bagaimana ujungnya. Chanel youtube official caknun.com pun juga menayangkan program WFH setiap hari selama bulan ramadhan yang berisikan pesan-pesan Mbah Nun untuk kita. Bahkan di malam takbiran menjelang 1 Syawal 1441 H, Mbah Nun muncul mengobati rindu kita, bertakbir bersama Progress Management dan Pakdhe-Pakdhe Kiaikanjeng meski melalui media online, maturnuwun Mbah Nun! Justru mungkin ada dari kita dan saya salah satunya yang tidak sempat menyimak dan membaca semua tulisan beliau, tapi terus merengek rindu Mbah Nun.
Dengan sangat rapi Allah membuat skenario bahwa 27 Mei, hari yang sangat dinantikan Jamaah Maiyah, diletakkan di bulan syawal, di tengah masa pandemik yang mengharuskan sosial distancing sehingga tidak memungkinkan untuk saya dan Jamaah Maiyah lainnya berkumpul seperti halnya Ihtifal Miyah ataupun Menyorong Rembulan. Kami diperkenankan Allah untuk tetap berada di ruang sunyi kami masing-masing, mensyukuri setiap keadaan yang digariskan dalam rangka semakin mengkhusyukan setoran cinta kami pada sang guru Maulana Muhammad Ainun Nadjib.
Selamat ulang tahun Mbah Nun, selamat berbahagia berkumpul keluarga. Kasih sayang yang Mbah Nun berikan pada saya dan Jamaah Maiyah lainnya sungguh tak ternilai. Maafkan saya yang hanya punya lantunan doa semoga Mbah Nun dan keluarga diberikan panjang yuswa, kesehatan yang berkah, kebahagiaan yang awet, dan selalu dalam perlindungan Allah SWT. Terima kasih untuk hidayah yang Mbah Nun berikan kepada saya, bernama Maiyah. Dan saat ini, nilai maiyah saya sedang diuji Mbah, doakan saya lulus, Njih.