Persebaya, Doa, dan Mbah Nun
Jika kita punya hajat(an), seperti pindahan rumah, memulai usaha baru, syukuran kelulusan, dan lain-lain hajat, maka biasanya kita akan mengadakan doa bersama, dan tentunya kita meminta seseorang yang kita anggap layak untuk mendoakan bagi hajat kita itu. Orang itu mungkin orang yang kita pandang sebagai ahli dalam menjalankan agama, orang yang kita tuakan, atau orang yang kita percaya doanya gampang didengar Allah.
Demikian pula hari ini, Persebaya, tim sepakbola Surabaya yang legendaris dan kesayangan Bonek Bonita, hari ini akan menggelar acara yang intinya adalah syukuran dan memanjatkan doa kepada Allah. Yakni, syukuran mensyukuri prestasi runner up yang telah dicapai Persebaya di Liga 1 tahun 2019 dan mohon doa untuk kelancarannya dalam menjalani kompetisi-kompetisi ke depan.
Adapun sosok yang dihormati dan dituakan untuk dimohon mendoakan adalah Mbah Nun. Kita perlu mencatat bahwa deretan panjang Sinau Bareng di banyak tempat itu sebenarnya juga bermuatan sama: minta didoakan. Mulai dari pabrik gula yang buka giling, peresmian masjid dan sekolah, syukuran perusahaan, ulang tahun desa dan kabupaten, syukuran supporter, dies natalis kampus dan termasuk harlah fakultas, dan lain-lain hajat hingga yang terbaru adalah doa untuk memasuki tahun baru 2020 di Alun-alun Karanganyar.
Konteks meminta doa kepada Mbah Nun dari berbagai institusi dan komunitas masyarakat itu perlu kita catat sebagai salah satu aspek penting dari muatan Sinau Bareng. Ini belum lagi yang kita lihat bahwaborang-orang secara individual juga meminta langsung doa kepada Mbah Nun baik ketika berjumpa dalam kesempatan Sinau Bareng maupun ketika bertemu di mana saja, di warung, di pom bensin, di acara-acara lain, maupun di pinggir jalan. Lebih jauh bahkan kita melihat ada semangat pada mereka, “Mumpung ketemu Mbah Nun, saya mesti minta doa.” Maka biasanya mereka segera menyodorkan air putih buat dibacakan doa oleh Mbah Nun.
Malam nanti, serangkai dengan pertandingan persahabatan antara Persebaya Surabaya vs Persis Solo yang digelar di Stadion Glora Bung Tomo, para Bonek dan Bonita akan diajak Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Tajuknya: Mbonek Bareng Cak Nun (Noto Ati, Ngukir Prestasi). Di samping untuk mendapatkan suntikan gelora semangat, para Bonek Bonita diajak berdoa bersama yang akan dipimpin Mbah Nun. Ada enam hajat yang terkandung dalam permohonan doa itu, yang ternyata bukan semata untuk kejayaan Persebaya namun untuk berbagai kepentingan masyarakat Surabaya itu sendiri.
Doa itu ditujukan untuk kesuksesan Persebaya dalam menjalani kompetisi-kompetisi ke depan, doa agar Persebaya dapat ber-home base di Surabaya, doa agar supporter Persebaya (Bonek dan Bonita) semakin solid dan kreatif, doa untuk kota Surabaya yakni agar Gubernur, Walikota, hingga jajaran pemerintahan di dalamnya dapat mengurus Kota Pahlawan dengan sebaik-baiknya, doa untuk kenyamanan dan keamanan kota Surabaya, dan juga doa bagi kota Surabaya yang sebentar lagi menjadi salah satu kota tuan rumah Piala Dunia U20.
Yang spesifik dari Sinau Bareng di Gelora Bung Tomo nanti malam bila dibandingkan Sinau Bareng yang sudah berlangsung selama ini adalah konteksnya yaitu sepakbola, Persebaya, dan Bonek. Di sini, kalau Mbah Nun diminta mendoakan itu semata-mata bukan karena sebagai orang tua bagi masyarakat, namun juga karena Mbah Nun dekat dengan ketiga unsur itu. Coba buka-buka lagi media massa tahun 90-an, Mbah Nun termasuk komentator yang mengulas sepakbola dengan analisis yang khas. Dari liga di Indonesia, liga Eropa, dan terutama saat berlangsung Piala Dunia. Persebaya tentu juga salah satu tim yang dulu mendapat perhatian dalam ulasan-ulasan beliau.
Maka tak heran, banyak perumpamaan dalam tulisan maupun uraian-uraian beliau yang mengambil khasanah dari sepakbola. Adapun tentang Bonek, Mbah Nun sangat mengerti dan dekat dengan jiwa sosiologis dan kultural mereka. Dalam pandangan Mbah Nun, Bonek sudah menjadi kata tersendiri yang sangat kuat dan jelas maknanya, yang mungkin belum ada padanannya dalam bahasa lain, bahkan dalam bahasa Indonesia sendiri. Bahkan kata ‘nekat’ yang merupakan unsur pembentuk ‘bonek’ (bondo nekat), juga belum ada padanannya secara pas dalam bahasa lain.
Dalam konteks tradisi etos keislaman kata ‘bondo’ mengingatkan kita pada sikap mental yang berisi keyakinan dan kepasrahan yang kuat kepada Allah dalam mencapai sesuatu kendati modal yang dipunya tidak masuk akal saking minimnya. Maka, modal yang nihil atau sedikit itu langsung dikonversi dengan modal yang lain yaitu kenekatan yakin dan tawakkal kepada Allah. Maka dikatakan oleh orang-orang tua kita, “bondo bismillah.” Maka pula, kita juga bisa merasakan bahwa Bonek pun adalah juga satu bentuk ungkapam bondo bismillah itu, bondo keyakinan kepada Allah. Di sini Mbah Nun melihat Bonek bukan hanya sebagai gairah kependukungan terhadap suatu tim sepakbola, melainkan suatu energi hidup.
Karenanya, bisa kita dengar dari salah satu penggalan kalimat Mbah Nun yang dijadikan pemompa semangat mereka bahwa Bonek bukan hanya dukungan membara untuk Persebaya dan sepakbola, tapi juga Bonek adalah energi yang sangat kuat untuk membangun Indonesia, membangun nasionalisme.
Kembali ke doa. Berderet-deret permintaan doa kepada Mbah Nun sebenarnya mengisyaratkan bahwa pada akhirnya kita tak bisa mengelak dari percaya dan yakin kepada Allah. Kita berdoa untuk memohon Allah berkenan memberikan kabul atas hajat dan harapan kita. Tak terkecuali dalam hal sepakbola. Bersama orang-orang dan lembaga-lembaga yang meminta didoakan oleh Mbah Nun itu, kita pun secara tidak langsung selalu diajak oleh Mbah Nun untuk sambung terus-menerus kepada Allah Swt.
Manajemen dan Tim Persebaya berharap stadion Gelora Bung Tomo nanti malam akan bergemuruh oleh doa Bonek Bonita, dan Mbah Nun sebagai Mbah, sebagai orang tua, akan turut mendorongkan doa itu ke langit agar disongsong Syafaat Kanjeng Nabi dan diantarkan di depan pintu rahmat dan kedermawanan Allah Swt.
Yogyakarta, 11 Januari 2020