CakNun.com

Pernah Ateis

Fahmi Agustian
Waktu baca ± 4 menit

Medio Maret 2015, di Kenduri Cinta. Mas Sabrang merespons beberapa pertanyaan dari jamaah Kenduri Cinta mengenai ateis, yang kemudian dibumbui cerita atau lebih tepatnya pengakuan bahwa ia pernah ateis semasa kuliah di Kanada. Alasan yang diungkapkan sangat masuk akal; jangan-jangan saya Islam karena merasa tidak enak dengan orang-orang di sekitar saya, karena orang tua saya, karena keluarga dan saudara-saudara saya? Cukup gayeng diskusi di Kenduri Cinta malam itu.

Pada masa-masa menjalani ateisnya, Mas Sabrang menggelandang. Di Kanada, suhu ketika musim dingin bisa mencapai minus 6 derajat celcius, bahkan bisa minus 10 derajat celcius. Sebuah persoalan, ketika tidak memiliki tempat tinggal dengan suhu sedemikian rendah. Singkat cerita, Mas Sabrang kemudian menemukan sebuah masjid untuk singgah dan ikut tinggal di situ. Dengan ikut membantu mengelola masjid, Mas Sabrang berkesempatan untuk tinggal. Daripada mati kedinginan di jalanan, begitu mungkin pikirnya saat itu.

Ada satu momen, ketika Mas Sabrang bisa berdiskusi dengan salah satu Syeikh yang aktif mengisi kajian di masjid itu. Pertanyaan yang memang menggelitik; Jika satu detik sebelum Kiamat itu ada setan lahir, setan itu akan masuk Sorga atau Neraka? Memang usil pertanyaan Mas Sabrang ini. Dibayangkan bahwa setan itu berkembang biak seperti kita manusia, laki-laki dan perempuan, kemudian kawin, kemudian beranak-pinak. Syeikh yang ditanya oleh Mas Sabrang sampai tertawa mendengar pertanyaan tersebut, kemudian berbalik tanya kepada Mas Sabrang; Memangnya kamu pernah tau bagaimana cara setan berkembang biak? Jika setan berkembang biak seperti Amoeba, membelah diri, bagaimana?

Pada titik ini Mas Sabrang kemudian menyampaikan bahwa ada limitasi pengetahuan yang kita miliki. Mas Sabrang kemudian berkesimpulan bahwa agama itu urusannya adalah iman, alias percaya. Ada banyak hal yang tidak kita ketahui, justru lebih banyak hal yang kita tidak mengetahuinya dibandingkan apa yang kita ketahui. Ketika ada informasi yang tidak mampu kita capai dengan akal, maka yang kita gunakan adalah iman.

Rumusan ini yang juga sudah sejak lama ditanamkan oleh Mbah Nun di Maiyah, mengenai banyak hal gaib yang memang tidak kita ketahui faktanya secara empiris. Seperti tentang surga dan neraka misalnya, kita tidak memiliki informasi secara detail seperti apa itu surga dan neraka, yang muncul dalam pikiran kita adalah imajinasi kita berdasarkan informasi yang kita dapatkan dari Al-Qur`an dan Hadits. Apakah itu benar? Sampai detik ini kita hanya mampu meyakini bahwa itu benar, tetapi kita belum mampu memastikannya. Karena kita beriman kepada Allah, maka kita meyakini kebenaran informasinya. Tetapi, tetap saja yang muncul dalam pikiran kita adalah imajinasi kita tentang surga dan neraka.

Mungkin beberapa dari kita juga pernah merasakan keresahan seperti dialami Mas Sabrang, jangan-jangan kita menganut kepercayaan yang kita yakini saat ini karena memang secara turun-temurun, tidak benar-benar murni karena kita mencari kebenaran itu? Kita yang beragama Islam, ya bisa jadi karena memang tidak ada pilihan lain, karena kita dilahirkan oleh Bapak dan Ibu kita yang beragama Islam, sehingga kita otomatis beragama Islam. Tapi, apakah kita harus mengalami fase menjadi ateis seperti dialami Mas Sabrang ketika di Kanada?

Saya kemudian teringat salah satu dialog dalam film Rayya – Cahaya di Atas Cahaya. Kalau tidak salah begini dialognya; hidup itu tidak akan cukup untuk mencari, untuk menemukan saja kita tidak cukup waktunya. Yang saya pahami dari dialog tersebut adalah tugas kita sebagai manusia itu mencari. Apa yang dicari? Apapun saja. Konon, ketika kita masih di rahim ibu, bahkan sebelum ruh kita ditiupkan ke dalam rahim ibu kita, kita memiliki perjanjian dengan Tuhan. Dan kemudian Tuhan membuat kita lupa, maka ketika kita lahir di dunia, kita memiliki tugas mencari apa-apa yang sudah kita sepakati dengan Tuhan dalam perjanjian itu.

Pada faktanya, ketika kita menjalani proses pencarian itu, kita justru menemukan banyak hal yang tidak kita cari sebelumnya. Limitasi pengetahuan kita sangat terbatas, tetapi dengan batasan itu Allah melimpahi begitu banyak wahana informasi yang sangat tidak terbatas. Itu yang mungkin dimaksudkan dari kalimat; bahwa untuk menemukan saja kita tidak cukup waktunya. Setiap hari kita menemukan sesuatu yang baru, yang baru, yang baru. Bahkan yang kita cari belum tentu ketemu, kita menemukan hal-hal yang baru. Pada akhirnya, kita mengandalkan keimanan kita terhadap hal-hal yang kita cari dan belum kita temukan.

Di Maiyah, Mas Sabrang adalah samudera ilmu. Selalu menarik apa yang dibahas Mas Sabrang di Maiyah. Seperti bagaimana orang melihat kebenaran. Mas Sabrang pernah mengibaratkan dengan seekor Gajah yang dipotret oleh 50 orang dari berbagai sudut. Apa yang membedakan? Hasil fotonya. Semakin besar piksel kamera, semakin detail hasil gambarnya. Semua hasil gambar itu benar, karena menghasilkan gambar Gajah. Tetapi, detail Gajah dari setiap gambar pasti berbeda-beda.

Begitulah kita dalam memotret sebuah kebenaran. Setiap diri kita memiliki perbedaan hardware dan software nya. Ibarat sebuah perangkat komputer, jika hardware dan software-nya tidak kita upgrade, maka kita tidak akan bisa membaca file hidayah dari Allah yang terbaru. Mungkin tetap bisa membaca, tetapi ada limitasi detailing-nya dalam membaca file tersebut.

Sementara peradaban kita hari ini adalah peradaban yang memaksa orang lain meyakini apa yang kita yakini. Dan di Maiyah, kita berlatih rendah hati, menerima setiap perbedaan, bahwa orang lain juga berhak meyakini apa yang ia yakini. Karena apa yang mereka temukan bisa sangat berbeda dengan apa yang kita temukan dalam hidup. Dan dalam perjalanan di dunia ini, apa yang kita cari juga berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Selamat ulang tahun, Mas Sabrang. Perjalanan di Maiyah ini masih panjang.

Lainnya

Bertahalli dalam Mulat Saliro

Bertahalli dalam Mulat Saliro

Allah, Allah. Allah, Allah.
Maalanaa maulan siwallah.
Kullama naadaita yaa Huu,
Qolayaa ‘abdi anallah.

Maneges Qudroh
Maneges Qudroh

Topik