Peran Symbolic dalam “Digital Ethnology”
Apa yang terlintas spontan di benak kita saat bangun tidur, selain lekas membuka notifikasi telepon pintar? Kiriman pesan atau sekadar pemberitahuan di media sosial agaknya menjadi penting bagi kita hari ini ketimbang langsung bergegas mandi. Apa yang kita lakukan selama menunggu antrean panjang atau melakoni karantina mandiri seusai perjalanan jauh, selain menyetel video kesukaan di YouTube, update status, sampai stalking akun orang lain?
Media sosial kini bukan lagi aplikasi mewah dan eksklusif karena siapa pun tanpa terkecuali bisa mengakes sekaligus mendaftarkan diri secara gratis. Bahkan telepon genggam yang pada era 2000-an dianggap teknologi kaum papa, terlebih waktu itu terkategorikan sebagai barang tersier, hari ini ia bersalin wajah menjadi makin canggih dengan predikat “pintar” dan dapat terjamah oleh seluruh strata sosial.
Kita tak menafikan teknologi itu kini mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Dari persoalan ekonomi sampai politik, dari urusan rumah tangga hingga birokrasi pemerintahan, adakah celah kosong yang tak terjamah oleh “rezim digital” beserta turunannya itu?
Munculnya perubahan ini tak langsung jatuh dari langit. Ia berlangsung secara bertahap. Revolusi digital ini merupakan hasil transformasi dari dua gelombang sebelumnya, yakni teknologi mekanis dan teknologi analog. Dalam ungkapan lain, kalau mengikuti wacana Revolusi Industri, kita mendapati transisi teknologi uap (1784), listrik (1870), komputer (1969), dan kecerdasan buatan (hari ini).
Konsep seperti cyber-physical systems, big data, internet of things, self-driven vehicles, dan artificial intelligence sontak menyergap kehidupan kita. Istilah-istilah itu kemudian dibarengi dengan menjamurnya Unicorn, Decacorn, dan Hectocorn. Belum lagi semua istilah itu mendadak dikaitkan dengan peran anak muda sebagai generasi yang inovatif, progresif, dan futuristik.
Padahal, ketiga istilah ini, sebetulnya sama-sama menginduk pada startup — perusahaan rintisan yang membasiskan diri kepada penelitian dan pengembangan demi mendapatkan sasaran pasar yang tepat. Klasifikasi berjenjang di antara ketiga itu hanyalah dibedakan oleh nilai valuasi (nilai ekonomi) sebuah perusahaan.
Kemunculan itu semua tak ubahnya menandai neokapitalisme dalam wajah yang paling mutakhir. Dengan kata lain, kita dikondisikan sedemikian rupa secara sosial agar (merasa) dimudahkan oleh kehadiran teknologi digital. Pokoknya semua masalah terjawab hanya cukup mengklik di atas papan layar.
Menuju Peradaban “Manfaat”
Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh — selanjutnya disingkat SMDP — menginisiasi Symbolic untuk menjawab tantangan ruang publik berbasis digital secara jangka panjang. Symbolic lahir di zaman digital technology tapi menurutnya ia bukan sebatas tata teknis, melainkan cenderung antropologis.
Symbolic disebut Mas SMDP sebagai digital ethnology. Suatu terobosan ruang komunikasi digital yang berbasiskan asas kemanusiaan. Ia mengambil istilah etnologi sebagai cabang antropologi yang topik pangkalnya kemanusiaan dalam kebudayaan.
Menurutnya, selama ini media sosial yang tersedia cenderung kontraproduktif dan bersifat jangka pendek. Setidaknya dibuktikan lewat dua argumen sebagai berikut.
Pertama, media sosial (Facebook, Instagram, dan Twitter) sejak semula dibuat untuk menghubungkan orang dari belahan negara mana pun ke dalam ruang virtual bersama. Keunggulan fitur mempersolek diri secara visual maupun verbal makin membakar hasrat warganet di dalamnya cenderung narsisistik. Popularitas mereka ditandai oleh seberapa banyak yang menyukai, mengomentari, maupun membagikan postingan.
Tak penting lagi kapasitas pengguna di belakang layar karena dengan “kutip sana dan kutip sini” mereka bisa manasuka menyebarkan sekaligus memamerkan informasi. Sebab, di ruang media sosial, yang terlihat kasatmatalah (postingan) yang dianggap penting karena dinilai mewakili kapasitas diri seseorang.
Bahwa ia melakukan plagiasi, manipulasi, serta distorsi terhadap konten yang dipampangkan, itu menjadi sesuatu yang kurang menjadi pertimbangan etis warganet lainnya. Pendek kata, di media sosial tersebut, orang bebas berakrobat demi menarik atensi, popularitas, dan “capaian soaial” semu lainnya. Dogma yang dipakai di sana adalah viralitas.
Kita bisa memperbanyak daftar aktivitas kontraproduktif lainnya di media sosial. Namun, di antara corak eksistensial yang telah diuraikan sebelumnya, kita disuguhkan oleh masalah sistemik belakangan ini. Problemnya antara lain kohesi sosial kita diuji oleh pertarungan warganet selama Pemilu kemarin.
Warganet praktis terbagi menjadi dua kubu. Mereka saling baku hantam menjelekkan pilihan warna politik tiap kelompok. Selain memakai akun “asli”, banyak pula akun “robot” yang sengaja dipakai sebagai pendengung (buzzer). Ia dipakai dengan kehendak amplifikasi “pesan bergerak” yang motifnya jelas “bayaran” — kendatipun beberapa mengklaim dirinya sebagai sukarelawan.
Perpecahan sosial di media sosial tersebut bukan gejala tunggal di Indonesia. Perusahaan Facebook sendiri meneliti hal serupa di belahan negara lain dengan artikulasi yang beraneka rupa. Kita bisa ambil satu contoh yang waktu itu hangat dijadikan buah bibir: skandal data Facebook-Cambridge Analytica. Kasus ini melibatkan pengumpulan 87 juta pengguna informasi pribadi di Facebook yang datanya dipakai untuk memengaruhi hak pemilih sesuai halauan politikus tertentu.
Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, menyesal atas kejadian itu. Ia memohon maaf karena Facebook yang seharusnya melindungi data pengguna, namun ternyata malah dipakai demi kepentingan politik.
Kedua, sejak pertama kali diluncurkan tahun 2004, media sosial seperti Facebook sendiri barangkali tak pernah menyangka, aplikasinya itu kini dipakai oleh ratusan juta orang, bahkan menjadi alat komunikasi primer yang dianggap terjangkau oleh siapa saja. Ia pun mungkin pada awalnya tak menyangka masalah-masalah yang ditimbulkan warganet di ruang siber belakang semakin kompleks.
Media sosial memang mengalami jalan buntu dan hal ini tak pernah dipikirkan secara jangka panjang. Tapi tidak bagi Symbolic. Mengapa?
Symbolic menawarkan ruang publik digital berbasiskan manfaat. Hal ini yang absen disediakan media sosial yang tersedia selama ini. Sebelum menelusuri arah jangka panjang platform ini mari kita mengamati dua hal utama yang dikembangkan di dalamnya.
Pertama, Kalpataru yang memosisikan penggunaan teknologi digital dalam rangka manajemen dan peningkatan kapasitas pengetahuan. Kita menyadari di era digital ini mencari dan mengumpulkan informasi sedemikian mudah sebab sumber-sumbernya gampang diakses kapan pun dan di mana pun.
Namun, masalah baru kemudian muncul. Kita makin sukar menata informasi yang dikumpulkan. Meskipun informasi itu telah didapatkan, kita menemui dilema baru, yakni validitas isinya belum tentu sahih. Andaikata benar, ia belum tentu tepat. Sebab tergantung ruang dan waktu (konteks) tertentu.
Masalah manajemen informasi atau pengetahuan ini juga tak kalah penting. Banyak dari kita terjebak ke dalam lumbung data tanpa kemampuan penataannya. Kalau hal ini tak kita kuasai, maka prasyarat meningkatkan kapasitas pengetahuan menjadi batal.
Bukankah kapasitas pengetahuan seseorang berbanding lurus dengan manajemen informasi yang ia dapatkan?
Mas SMDP mengatakan Kalpataru dalam Symbolic terinspirasi dari metode Zettelkasten dan Leitner. Metode Zettelkasten ini menekankan sistem belajar dan produksi pengetahuan melalui tiga proses: manajemen pengetahuan, menulis, dan membaca. Di negara Jerman ia sering dikenali sebagai box of cards.
Niklas Luhman, Sosiolog Jerman, terkenal mengembangkan metode ini. Kendatipun ia bukan satu-satunya. Metode Zettelkasten juga diterapkan oleh Richard Feynman, Albert Einstein, dan Stephen Hawking.
Sementara itu, metode Leitner dipakai untuk memperbaiki cara belajar dan melatih ingatan (pengetahuan) yang didapatkan. Metode ini dikenalkan oleh Sebastian Leitner pada era 70-an di Jerman. Prinsip metodenya memakai flashcards.
Kedua metode yang diadaptasikan ke dalam Kalpataru ini melatih metakognisi kita, sehingga kemampuan manajemen informasi dan meningkatkan kapasitas pengetahuan kita akan terlatih secara sistematis.
Kedua, Insignia Social dalam Symbolic ini memfasilitasi pengguna untuk terus membangun dan menebarkan manfaat dengan pengguna lainnya. Manfaat apa yang dimaksudkan? Tentu saja manfaat apa pun yang dalam Symbolic terkelompokkan ke dalam tema-tema “diskusi” tertentu.
Sebagai contoh, seorang pengguna yang mempunyai minat di bidang Pendidikan dapat berpartisipasi dalam ruang percakapan bertemakan sesuai latar belakangnya. Ia bisa aktif memunculkan topik pembahasan atau sekadar merespons jalannya diskusi di lapak pengguna lain yang memperbincangkan pendidikan.
Selama berdiskusi ia bisa menyanggah atau mempertajam topik perbincangan semendalam mungkin. Mereka dibebaskan ke dalam ruang itu untuk saling tumbuh berikut menebarkan manfaat satu sama lain. Sangat mungkin dari topik itu mereka lalu membuat pergerakan sosial dengan menawarkan strategi dan siasat tertentu untuk mencapai sasaran yang direncanakan bersama. Hal itu dimungkinkan ketika partisipasi aktif berjalan baik.
Makin banyak dan tajam topik yang diperbincangkan ke dalam kotak-kotak tema tertentu, semakin besar pula peluang mereka untuk membangun popularitas. Itu kenapa dalam Symbolic popularitas seseorang (pengguna) tak ditentukan oleh identitas tapi oleh rekam jejak, partisipasi, keaktifan, dan dorongan kuat untuk bermanfaat secara kolektif.
Bukan berarti pula tiap kelompok tema tertentu saling membangun tembok batasnya masing-masing. Mereka sangat mungkin bertegur sapa atau berpartisipasi dengan tema kelompok lainnya karena hal itu akan menambah kekayaan perspektif. Bukankah beragamnya sudut pandang membuat semakin tajam kemampuan metakognisi seseorang?
Symbolic melampaui media sosial yang tersedia selama ini. Bila media sosial yang ada sekarang hanya mengunggulkan popularitas semu yang berakar dari narsisisme, maka Symbolic membangun kapasitas diri berdasarkan partisipasi aktif.
Dengan kata lain, Symbolic melihat secara jangka panjang ruang publik virtual harus memberikan kesempatan kepada pengguna untuk saling menebar manfaat melalui jejaring relasinya. Bahkan, pada batas tertentu, Symbolic menguji sekaligus menyeleksi seseorang: apakah ia berkapasitas pada bidangnya atau sebaliknya.
Parameter kapasitas itu dapat disaksikan dan dinilai oleh semua orang karena prinsip Symbolic adalah keterbukaan informasi. Pada titik tertentu, kualitas seseorang yang selama ini hanya dicitrakan melalui popularitas, bila dalam dunia akademik dibuktikan dengan ijazah, maka Symbolic menggeser paradigma tersebut lewat kapasitas.