Pengantar Sastroludruk
Di caknun.com akan segara ditayangkan tulisan-tulisan dari Cak Nas (Nasrul Ilah) yang berupa paparan dialog-dialog khas Ludruk Jawa Timur. Saya merasa penting memberinya pengantar agar kehadirannya tidak terlalu radikal di pikiran para pembaca.
Di dunia MMA (Mix Martial Art) dunia ada petarung Amerika asal Nigeria bernama Francis Nganou. Para pembawa dan komentator acara pertarungan itu, terutama UFC, menegucapkan “Nganou” dengan “En-Ganou”. Tradisi bahasa Inggris mengenal “ng” untuk akhir kata misalnya “sleeping”, “morning” atau “Bisping” (nama patarung lain), tetapi kalau “ng” menjadi awal suku kata, mereka memisahkan antara “G” dari “N”nya. Jadi: En-Ganou. Jadi kalau orang Barat mengucapkan “ngawur”, bunyinya”en-gawur”. “Ngapain” dibunyikan “en gabain”.
Saya tidak menemukan fakta oral itu sebagai kesulitan atau kelemahan lidah karena kebiasaan bahasa Ibu mereka. Saya lebih agak sangka buruk: itu adalah intoleransi antar bangsa, itu kemalasan dan kecurangan suatu ras besar di muka bumi yang punya kecenderungan untuk meremehkan bangsa atau komunitas yang mereka diam-diam menganggapnya lebih rendah. Itu suatu fakta kecurangan antropologis.
Sebagaimana urusan formal “Last Name” di administrasi Passport atau apapun. Kalau nama lengkapmu Muhammad Abdullah, karena Bapakmu bernama Muhammad, maka orang Barat secara resmi memanggilmu Abdullah. Sementara budaya Jawa menyebut nama Bapak adalah “bullying” kepada yang yang dipanggil. Namanya “madani” atau “wadanan”. Di SD dulu kalau mau ngerjain teman kita panggil dia dengan nama Bapaknya. Ini berbeda kasusnya dengan kalau seorang Bapak memperkenalkan namanya dengan meminjam nama anak lelaki sulungnya. Itu kemesraan keluarga.
Petarung MMA lain yang rekornya 28-0 Khabib Nurmagomedov asal Dagestan Rusia, andaikan di Indonesia namanya adalah Habib Nur Muhammad. Andaikan Khabib menggunakan nama lengkapnya dengan “bin” menjadi Khabib Nurmagomedov Abdulmanaf, dia pasti terkenal di Amerika dengan nama Abdulmanaf.
Yang hari-hari ini bikin geger yakni petarung Chechnya Rusia bernama Khamzat Chimaev. Sebagaimana Khabib, orang Rusia mengucapkan “ha`” dengan “kha`”. Jadi bukan Habib tapi Khabib. Juga Hamzah menjadi Khamzat. “Ch” di Chimaev dibaca seperti “challenge” atau “charger”. Padahal Chimaev adalah Himayah + ev: Himayev. Jadi kalau di Indonesia, namanya adalah Hamzah Himayah. Mungkin Bapaknya pengagum Sayidina Hamzah yang memang luar biasa daya dan semangatnya (himayah) dalam membela keponakannya menegakkan Islam.
Allah memberi anjuran “lita’arafu” (saling mengenali) di antara “syu’uban wa qabail”. Itu suatu pelajaran antropologi dan pembelajaran pluralisme yang sangat mendasar. Dan contoh tentang “Nganou” dll di atas adalah contoh dari inkonsistensi Guru kita dari Barat. Mereka yang mengejar-ngejar kita untuk toleran dalam pluralisme, tatapi mereka memaksakan pendapatnya sendiri kepada masyarakat dunia yang plural. Saya pernah dipanggil Muhammad, karena di suatu era saya pernah memakai nama Nadjib Muhammad. Guru yang sama mengajarkan kepada bangsa kita segala hal dalam lingkup modernitas dan modernisme, misalnya Demokrasi, Liberalisme, Industrialisme dll, dan kemudian diam-diam kita dijebak oleh para Jarkoni (Iso ujar ora gelem nglakoni) itu.
Di Maiyah kita menganjurkan agar setiap manusia menemukan “fadhilah” (kecenderungan, bakat, keistimewaan) dari Allah kepadanya. Artinya, harus ditempuh eksplorasi “fakultatif”. Tetapi dengan catatan bahwa outputnya dalam kehidupan riil kita hendaklah “universal”. Bahkan kalau Allah memakai idiom “Rabbul ‘Alamin”, tidak hanya “’alam”, maka Maiyah mestinya bukan Universitas melainkan Multiversitas.
Maka tulisan-tulisan Cak Nas saya rekomendasikan untuk dibaca, dirasakan, direnangi, diselami, dipelajari agar kita semua menemukan kenikmatan dalam memproses pembelajaran multiversalitas di Maiyah.