CakNun.com

Pendusa-Pendusa Keliling Desa-Desa

Corona, 42
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit

Di masa kanak-kanak dulu di desa Menturo saya mengalami situasi wabah juga, tetapi tidak menakutkan, karena masih kanak-kanak: belum memiliki luasan pemahaman dan imajinasi terhadap ragam kemungkinan-kemungkinan. Penduduk Menturo dan desa-desa lain pada sakit, tapi kami anak-anak kecil merasa asyik seperti mendengarkan dongeng-dongeng tentang hantu di Langgar malam hari sesudah mengaji oleh Guk Nukik (Markesot), Guk Nuri (bèk kanan kesebelasan desa kami) atau Guk Maskan (gelandang gradak-gradak lurus ke depan saja kalau bermain bola).

Kalau semua sudah tidur, saya diam-diam keluar dari Langgar dan jalan kaki ke arah Barat yang ada kuburannya dan beberapa “golongan” yang angker. Golongan itu maksudnya adalah “gang”. Menturo dibelah oleh Jl. Kik Ronopati di tengah, dipagari sebelah utara oleh Jl. Taitambung, selatan oleh Jl. Njeblog. Display timur Menturo adalah Jl. Pameran, yang sekarang ada Kantor Desa dan SMK “Global”. Sedang pagar barat adalah Jl. Simping.

Ada kejadian-kejadian baru selama wabah. Di tengah gelap gulita lewat tengah malam ada rombongan berjalan bergerombol, beberapa di antara mereka menjunjung Pendusa (Bahasa Jawa Tengah: Bendosa). Mereka semua bergeremang atau semacam nyanyi pelan-pelan, atau melantunkan seperti mantra atau japa-japi entah apa — sambil berjalan sangat pelan. Kalau mereka berhenti di depan pintu pagar sebuah rumah, dan terkadang masuk ke halaman, maka besok paginya ada berita duka — salah seorang anggota keluarga yang rombongan Pendusa berhenti di depan rumahnya: meninggal dunia.

Demikian bersama beberapa teman, termasuk Cak Markesot, saya mengamati alias “nitèni”. Pada suatu malam Ayah saya Muhammad mengumpulkan sejumlah orang, yang saya tahunya mereka adalah Kelompok Yasinan dan Tahlilan yang biasa dipimpin oleh Ayah saya. Besok malamnya rombongan yang dikumpulkan oleh Ayah saya itu mengerahkan masyarakat untuk pawai menelusuri semua jalan-jalan Menturo. Pakai sound system kecil-kecilan, pakai sewa Becak yang paling depan, diikuti oleh ratusan masyarakat.

Yang naik becak adalah Cak Fuad (sekarang Marja’ Maiyah), dengan mikrofon di tangannya. Cak Fuad pandai ngaji. Ketika itu beliau santri Gontor. Suaranya “kung”, (kalau rekaman di studio frekuensi suaranya khas dan sangat tebal). Sambil mengendarai becak Cak Fuad memimpin Wirid dan Shalawat, diikuti oleh semua yang ikut berpawai. Setiap tiba di perempatan jalan atau pertigaan jalan, pawai berhenti. Cak Fuad berdiri di atas becak, melantunkan Adzan.

Adzannya normal dan baku. Bukan “Hayya ‘alas-shalah” diganti “Shallu fi buyutikum” sebagaimana di era Corona. Kemudian rombongan meneruskan pawai menelusuri jalan-jalan dan berkeliling. Sesampainya kembali di Langgar Etan (sekarang lokasi Padhangmbulan), semua berjamaah shalat hajat diimami oleh Ayah Muhammad.

Demikian beberapa malam dilakukan pawai Dzikir, Shalawat dan Adzan. Sampai entah bagaimana ceritanya, seingat saya wabah kemudian reda. Sudah pasti karakter wabahnya waktu itu bukan seperti Covid-19, yang kontra-produktif kalau pakai pawai massal segala.

Bagaimana rasionalitasnya kok wabah pengambil nyawa manusia dilawan dengan vaksin Wirid, Shalawat dan Adzan? Kalau saya menceritakan kisah “ndeso” ini kepada Presiden, Menteri dan semua yang bertugas menangani urusan Coronavirus di Negeri ini, pasti ditertawakan dan saya menjadi bahan olok-olokan.

Dan tiada seorang Nabi pun datang kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya”. (Az-Zukhruf: 7). “Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa Rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan itu kami turunkan balasan (adzab) atas olok-olokan mereka”. (Al-An’aam: 10)

Jamaah Maiyah, sekurang-kurangnya saya, tak habis-habis bersyukur kepada Allah karena saya tidak ditugasi secara resmi dan qadlaiyah atas apapun yang menjadi urusan rakyat dan bangsa besar Indonesia ini. Termasuk kesibukan trauma Corona. Puji Tuhan juga Allah tidak menitipkan kepada saya kemampuan, keahlian atau ekspertasi atas dan tentang apapun saja. Sehingga saya tidak layak menjadi Kepala Bidang apapun, Dirjen apapun, Menteri apapun, terlebih lagi menjadi Kepala Negara dan Presiden. Ya Allah Maha Agung Engkau dan Maha “La yu’la ‘alaiKa” yang telah memberi petunjuk kepadaku tentang ketidakmampuanku di bidang apapun, sehingga aku juga tidak pernah mencalonkan diri menjadi apapun.

Kemudian, wabah satu lagi berupa ribuan tikus-tikus, tidak menyerang penduduk manusia, tetapi tanaman di sawah. Sampai-sampai pemerintah membayar setiap penduduk yang menyerahkan ekor tikus ke kantor Kelurahan dengan jumlah uang tertentu. Markesot yang panen, karena setiap malam ia memanggul karung yang isinya ratusan atau ribuan ekor tikus ke kantor Wak Lurah Rukin.

Tapi risikonya malam-malam Markesot balik ke Langgar Etan ia mengganggu kami semua anak-anak Menturo Etan yang selalu tidur berjajar bersama di Guthekan utara Langgar Etan setiap malam. Semua anak-anak sedang angler tidur, tiba-tiba ada suara gedebag-gedebug, seperti ada yang sedang berkelahi. Kami semua bangun dan spontan cari tempat agak jauh karena melihat apa yang terjadi. Markesot menghunus pisau kesayangannya (yang bikinnya bareng bersama saya, dan selalu saya bawa tidur tiap malam di bawah bantal atau di sisi pinggang saya). Markesot bermain silat entah sedang UFC-an melawan siapa. Kami melihat hanya Markesot, bergerak sana-sini, meliuk, menikung, macam-macam kuda-kuda, melompat, menendang, menikam, jungkir balik, dan segala macam gerakan.

Satu jam lebih adu silat berlangsung antara Markesot dengan “Raja Tikus” — demikian sesudahnya ia bercerita. Terlalu banyak tikus yang ditangkap oleh Markesot, sehingga Rajanya tidak bisa terima dan naik pitam, mencari Markesot kemudian mereka duel habis-habisan. Saya sendiri tidak merasa asing oleh perkelahian itu. Karena saya sering bertugas mencari batu besar, saya angkat, kemudian saya jatuhkan ke dada Markesot yang dalam posisi telentang.

Hari ini, 50-60 tahun kemudian sesudah wabah Menturo itu, kita berperang melawan Siluman Wuhan. Masalah terberatnya adalah tidak ada orang yang tahu apakah ia sedang kerasukan Siluman Wuhan atau tidak. Kebanyakan orang dari 250 juta penduduk Indonesia merasa tidak ada apa-apa dengan badannya, karena Siluman Wuhan beda jenis eksistensi dan perilakunya dibanding Siluman Keningar, Kaki Tiga, Banas Pati, atau Glundhung Pringis, ternyata Siluman itu loncat dari orang yang merasa sehat ke orang di dekatnya.

Di Maiyahan saya sering bertanya: “Barapa jumlah Malaikat Izrail? Apakah Malaikat Jibril itu hanya satu?”. Hari ini Jamaah Maiyah mengerti, bahwa jangankan Jibril dan Izrail, sedangkan Covid-19 saja tidak bisa dijawab berapa jumlahnya. Bahkan pertanyaan tentang jumlah kepada virus adalah pertanyaan yang tidak relevan. Sama dengan chat WA-mu hanya bikin satu, tetapi ia berjumlah sebanyak orang yang kamu broadcast. Jibril sejumlah yang Allah memerlukannya. Coronavirus sejumlah yang ia bisa menghinggapinya. *****

Lainnya

Menjelajah Hutan Mataram Islam

Menjelajah Hutan Mataram Islam

Setelah ibukota kerajaan Mataram Islam pindah dari Kotagede ke Kerta lalu ke Plered maka Kotagede menjadi berubah.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.

Topik