CakNun.com

Pendalaman tentang Bias Agama dan Science

Redaksi
Waktu baca ± 5 menit
Studio Geese, Rumah Maiyah Yogyakarta. Foto: Adin.

Pengantar Redaksi

Tulisan ini diangkat dari refleksi atau perenungan Mas Choirul Anam dari Purwokerto yang dikirimkan ke email redaksi caknun.com atas tayangan video channel youtube caknun.com seri Science and Religion part1 “Awas Bias antara Sains dengan Agama”.

Perenungan tersebut ditujukan kepada Mas Sabrang sebagai narasumber dan kemudian Mas Sabrang memberikan respons.

Untuk memperkaya diskursus mengenai agama dan sains yang telah dihadirkan oleh serial tayangan di channel youtube caknun.com tersebut, tulisan Mas Choirul Anam dan respons Mas Sabrang kami hadirkan buat teman-teman semua. Respons Mas Sabrang langsung masuk di bawah bagian atau kalimat-kalimat Mas Choirul Anam yang perlu diberi tanggapan.


CA = Choirul Anam
SMDP = Sabrang MDP

CA
Kata kerja dari pengetahuan (data) adalah mengetahui. Misal agama monoteis katakanlah menginformasikan ke manusia bahwa Tuhan itu satu. Lain misal Science menginformasikan bahwa penciptaan semesta itu begini (fisika) dan manusia itu begini (biologi) dan zat-zatnya itu ini (kimia). Dalam perspektif itu agama dan science sama-sama memberi pengetahuan. Bedanya agama berasal dari subyektivitas Tuhan seperti contoh Mbah Nun terkait nama malaikat dll sedang science memang berasal dari subyektivitas peneliti misalnya adanya gravitasi lalu dikasih nama gravitasi Newton (apa bedanya dgn pemberian nama malaikat oleh Tuhan? Bedanya Newton tidak mencipta) tapi beberapa meningkat menjadi intersubyektivitas (diyakini secara kolektif). Agama tidak memberi ruang untuk difalsifikasi (karena datanya tidak bisa diubah) sedangkan science itu bisa.

SMDP
Dalam sains, mengubah data seperti masuk ke haram di agama. Tidak boleh.

Falsifikasi adalah cara deduktif dalam sains. Yang difalsifikasi dalam metode ilmiah bukanlah data. Tapi hipotesisnya (review ulang urutan metode ilmiah). Yang berkembang dalam sains bukanlah data. Tapi rumusan memahami data dan cara akuisisi data. Rumusan juga punya tujuan lain: prediksi. Penambahan jumlah data akhir2 ini ikut mengakselerasi sains karena ada data lebih banyak yang diolah.

CA
Keyakinan-meyakini, ilustrasinya Tuhan memberi Agama, ilmuwan/peneliti memberi science. Science trus berkembang datanya trus memperbaharui diri melalui penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan. Saya bertanya-tanya apa iya kebenaran sejati bisa dikonfirmasi atau diketahui melalui laku-laku agama?

SMDP
“Kebenaran” itu punya sangat banyak level abstraksi. Pertanyaan di atas tak bisa direspons akurat tanpa mengerti level abstraksi yang dimaksud dalam kata “benar”.

Dari filsafat ilmu: ga bisa kita menentukan mana kebenaran (termasuk yang sejati) jika kita tak bisa merumuskan kriteria kebenarannya. Kalau boleh saya asumsikan, konsep “sejati” pun masih kabur sampai sekarang. Gimana mau bikin kriterianya?

Konsep “Falsifikasi” yang ditulis diatas, dikeluarkan Popper sebagai salah satu konsep kriteria kebenaran. Tapi bukan satu-satunya.

CA
Bagaimana dengan peran alam bawah sadar yang sebenarnya sudah bertendensi kepada salah satu dari dua pilihan misalnya dalam kasus istikharah.

SMDP
Ada beda fundamental antara “tahu”dan “menggunakan”.

Food for thought: gimana jika agama menawarkan “cara menggunakan”, science mencari “cara kerja”? Ga semua dari kita tau cara kerja hidung membau. Toh tetep menyingkir kalau ada bau bangkai.

CA
Memang tidak ada satu pun ilmuwan yang dapat menjelaskan segala yang “ada”. Tapi melalui kerja kolektif antar saintis, mereka bisa menjelaskan segala yg ada, fenomena-fenomena yang terbentuk dan lain sebagainya.

SMDP
[mereka bisa menjelaskan segala yg ada]

Ini dibantah sains sendiri. Untuk contoh empiris yang sederhana: https://en.wikipedia.org/wiki/Observable_universe

CA
Agama bisa mendeskripsikan kehidupan pasca dunia. Tapi Agama tidak bisa menjelaskan segala yg ada sampai tataran teknis, sedangkan science bisa menjelaskannya dari abstrak sampai teknis bahkan respons terhadapnya yaitu teknologi.

SMDP
Sama seperti mobil ga bisa untuk bikin nasi. Dan rice cooker akan ga enak untuk bikin kopi. All tools have their purpose. Dihajar yang di luar tujuannya itu ga fair.

Contoh: Agama (Islam), premise utamanya adalah menyempurnakan akhlak. Bukan untuk menghasilkan teknologi.

Dari sudut pandang lain, agama memberi metodologi praktis untuk mengolah bawah sadar. Soal cara kerja otak ga dibahas. Sampai sekarang pun sains mengkategorikan akal masih pada “strong emergence”.

CA
Yang berada di luar Agamawan dan saintis adalah konsumen — mereka yg jatuh kepada keimanan kepada salah satunya atau keduanya.

SMDP
Fundamentally
setuju. Personal truth minimal.

Karena manusia perlu percaya. Mental cost untuk menjalankan hidup dari dasar “mengetahui” sangat tinggi. Ilmu marketing modern masih pake cara berpikir ini: “Perception is stronger than fact”.

CA
Apa Agama menjadi satu-satunya yang memberi ruang untuk manusia berharap atau membangun harapan? Apakah misalnya perintah untuk bersabar dalam kesusahan dan bersyukur dalam kekurangan adalah impuls kekuatan atau justru kelemahan. Watak manusia (human attitude) “sekarang ini” apa bisa diklaim secara historis sebagai produk dari pada religion attitude (yg misalnya sabar, syukur, Istikomah, rendah hati, tawakal dan lain sebagainya)?

SMDP
Banyak jurnal ilmu sosial membahas ini. Asal-usul “morality”.

CA
Kedua dengan adanya dan berkembangnya trus menerus ilmu sosial yg menjadi pedoman bagaimana melakukan hubungan sosial antar manusia, apa belum cukup atau malah tidak akan pernah mencukupi?

SMDP
Asumsi manusia adalah makhluk rasional murni berkembang sejak Descartes. Ini ditabrak sains sendiri.

CA
Sederhananya apa “diri” harus belajar Agama terlebih dahulu untuk misalnya berbuat baik kepada the other (“yang lain” di luar dirinya)? Lalu Mengapa manusia membutuhkan atau mengimajinasikan suatu subyek selain dirinya yg memiliki “kekuatan” lebih dibanding manusia untuk mengambil posisi sebagai pengatur watak dirinya dan hubungan sosialnya?

SMDP
Tidak harus, tapi akan jauh lebih efektif. Learn from the past itu better method daripada menemukan semuanya sendirian. Lagi-lagi level abstraksi. IQ manusia tidak seragam. Masing2 butuh tools berbeda. It works for some, does not for others.

CA
Dengan telah berkembangnya aturan (melalui social sciences) mengenai bagaimana baiknya menjadi seorang manusia dan hubungan sosialnya dengan yang lain, apa agama dengan religion attitude-Nya masih RELEVAN?

SMDP
Maap, pada area prediksi (rumus), sosial sains masih jauh dibanding natural sains. Akurasi prediktornya masih rendah. Walaupun tentu better than nothing. Dan kompleksitas manusia sampai saat ini masih belum efektif dianalisa social sosial dengan reductionist paradigma yang sangat sukses di natural sains. Makanya complex theory, system thinking mulai muncul akhir2 ini sebagai alternatif paradigma. Masih tumbuh terus.

Take for granted.

Mungkin akar morality bisa ditrace-back ke biology pada animal game theory. Kapasitas otak manusia membuat game theory ini jauh lebih kompleks. Manusia jaman ini sudah nerima barang “relative mateng” tentang batas moralitas, obyektivitas dll. Mungkin kita perlu membaca dan menghargai sejarah bahwa itu melalui proses yang amat panjang pada peradaban manusia. Banyak “percobaan” salah, dan ada yang pas juga. Yang bertahan di abad sekarang adalah hasil distilasi ribuan tahun dimana agama ikut serta di dalamnya. Jauh sebelum sains diformalkan.

CA
Menurut saya kayaknya penting menjawab 3 pertanyaan ini dlm perspektif arah gerak sejarah peradaban manusia untuk menghadapi bias-bias diantara science dan Agama. Jujur saya menilai ada arogansi dan klaim berlebihan Agamawan atas peran Agama terhadap arah gerak peradaban manusia yg akhirnya menjustifikasi pernyataan religion without science is blind, mungkin tidak semua Agamawan demikian tapi watak yg demikian sedang menjamur dan mencoba mengajak kembali manusia ke kondisi kehidupan abad pertengahan(?).

SMDP
Agamawan yang arogan = oxymoron.

Pelabelan dalam rangka mempermudah kategori dalam kepala sering membuat kita malas balik melihat ke fundamental konsepnya.

CA
Seandainya Agama tidak memberi harapan akan adanya kehidupan yg lebih baik dari sekarang, apa manusia akan beragama. Seandainya Agama tidak memberitahukan bahwa segala perbuatan ada balasannya, apa manusia akan beragama. Seandainya Agama tidak memberitahukan akan adanya kehidupan kekal nantinya, apa manusia akan beragama.

SMDP
Mungkin iya, mungkin tidak. Semua jawaban hanya hipotesis yang susah dibuktikan, karena jalan sejarah sudah seperti ini.

Yang pasti, agama memberikan efek stabilitas pada society. Yang memungkinkan masyarakatnya untuk berfikir lebih dari sekadar bertahan hidup. Termasuk membangun sains, dan narasi realitas lainnya. Banyak jurnal tentang itu. Yang keinget cuman nama Patrick Fagan yang nulis di civil society report (maap).

CA
Seandainya manusia tahu semua hal di atas tidak ada, apa manusia akan beragama. Kesadaran atas perbedaan keyakinan tidak dimiliki masyarakat. Dalam laku kehidupan sosial, toleransi menjadi yg hanya berlaku di dalam lingkup antar umat umat beragama. Masyarakat tidak toleran terhadap mereka yg tidak meyakini agama. Agama melimitasi potensi manusia untuk mengetahui dan mendorongnya ke dalam samudera kepasrahan.

SMDP
Ini masalah agama atau manusianya? Selalu ada proses epistimologis yang berlaku di manusia.

Fenomena di atas tidak hanya terjadi di agama. Dalam internal sains pun seperti itu. Terutama social sains. Lebih sedikit di natural sains. Tapi tetap ada. Contoh: fenomena wave collapse di quantum mekanik mengasilkan bermacam-macam INTERPRETASI. Juga menghasilkan bermacam-macam pengikut.

Urusan PC-MAC, iOS-Android dll aja bikin mahzab haha. Ada konsep eksistensial yang memang membutuhkan ‘musuh’. Sadar ga sadar.

Karena agama sudah berumur ribuan tahun, dan banyak orang yang mengidentifikasi dirinya dengan narasi agama itulah maka kelihatan prominence efeknya. Terlihat agama yang bikin kisruh.

Pada fundamental level, semua manusia berpotensi untuk itu.

CA
Sepertinya kiamat bagi Agama adalah kondisi di mana manusia berani serta mampu berimajinasi dan memproduksi harapan tanpa peduli ada atau tidaknya peran dari Yang Maha Subjek. Dan ketidaktahuan manusia tidak menjustifikasi kebenaran Agama.

SMDP
Untuk yang sudah sampai tahap itu, kenapa bermimpi menghilangkan ‘pegangan’ orang-orang yang sedang berproses menuju kesitu? Ini hal yang saya ga paham dan sering bikin melongo.

Lainnya