“Papat Petruk Lima Sableng” Garapan Teater Perdikan
“Teater Perdikan mementaskan naskah Papat Petruk Lima Sableng karya Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun dengan disutradarai oleh Jujuk Prabowo. Mengisahkan perjumpaan Jawa dan Islam hingga masalah perseteruan politik nasional.”
Jemek Supardi membuka babak pertama dengan berpantomim. Wajahnya menghadap ke atas, kedua tangannya menarik sesuatu. Ekspresinya menandakan sedang mencari suatu hal dari langit. Sesekali berhenti seraya tengak-tengok lalu melanjutkan pencariannya. Nyaris tali di tangannya ia tinggalkan meski dorongan hendak meraih sesuatu masih terus dilakoni.
Beberapa saat kemudian seseorang celingukan dari belakang Jemek. Orang itu menghampirinya dan terjadilah semacam saling merespons gerakan. Ternyata orang itu Gareng. Jemek terdiam sesaat setelah Gareng tengadah ke langit. Bak orang berdoa, Gareng ternyata melakukan gerakan takbiratul ihram. Kedua tangan dengan ujung jari agak tinggi ia angkat sampai posisinya di depan telinga.
Lalu tangannya bersidekap: telapak tangan kanan berada di atas dan jemarinya menggenggam pergelangan tangan kiri. Jemek mengelilingi Gareng. Di kepalanya barangkali menggumam: sedang apa ia? Pelan-pelan Jemek menjauh dan meninggalkan panggung.
Adegan pembuka pementasan teater Perdikan dengan judul naskah Papat Petruk Lima Sableng karya Cak Nun di Pendopo Rumah Maiyah, Kadipiro, Sabtu malam (12/12) ini seperti memberitahukan titik mula persinggungan antara Jawa dan Islam. Jemek mewakili Jawa dengan upaya pencarian esoteris, sedangkan Gareng merepresentasikan Islam melalui gerakan shalat. Jawa dan Islam saling mengisi. Setidaknya terlihat langgam ketubuhan di antara kedua pemain.
Saya memperoleh afirmasi itu setelah tokoh Bagong masuk. Ia muncul dengan sinisme ucapan, “Pengaruh Jawa ke Islam atau sebaliknya itu infiltrasi?” Gareng segera menyahut bahwa orang Jawa dan orang Islam ibarat tumbu ketemu tutup. Saling melengkapi.
Saudara sepunakawan itu saling beradu mulut. Dari bahasan Islam bukan penanda individu, melainkan simbolisme nilai hingga perebutan klaim identitas “saya ini orang Jawa tapi Islam, saya ini orang Islam tapi Jawa” terbabar cair.
Pembahasan mungkin terasa berat, misalnya, “sebelum orang Jawa mengenal Islam mereka sudah mengenal Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Wening” tak dibarengi dengan senggakan, sehingga seakan-akan ketokohan Gareng dan Bagong yang jenaka hilang sama sekali. Padahal, percakapan banyol mereka dapat meminimalisir kesan sukar sebuah topik. Namun, jika kita sejenak bersabar, kelucuan “kontekstual” segera muncul di akhir adegan pertama. “…pakai handsanitizer dan masker alias tadah iler.” Gerrrr….
Petruk Kok Paduka, Sunan Kok Sableng
Rombongan para cantrik pimpinan Paduka Petruk memasuki panggung. Paduka Petruk berposisi di tengah bawahannya. Di sebelah mereka para santri di bawah asuhan Sunan Sableng sama-sama masuk. Sunan Sableng berada di ujung paling belakang rombongan. Musik Kanjeng Rasul dimainkan KiaiKanjeng mengiringi kedua rombongan sampai dua pimpinan berdiri tegak sedangkan tiap rombongan duduk lesehan saling berhadapan.
Adegan kedua ini menceritakan kunjungan Paduka Petruk beserta rombongan ke Sunan Sableng berikut para santrinya. “Anak-anakku para cantrik sekalian, kita sedang sowan menghadap Al-Mukarram Sunan Sableng. Ayo semuanya ngapurancang sembah bekti kepada beliau,” perintah Paduka Petruk.
Mendengar ucapan kerendahhatian itu Sunan Sableng takzim kepadanya. Ia memerintahkan para santrinya juga melakukan penghormatan serupa. “Kepada yang merendah, kita harus lebih merendah. Kepada yang bersembah bekti dari dalam jiwa kalian bukakan jagat keikhlasan dan penerimaan sejati,” ucap Sunan Sableng.
Saling menghormati tak berarti berbungkuk-bungkuk, berformal ria. Di tengah basa-basi perkenalan, seraya saling memuji, kelucuan tetap tak terhindarkan.
“Sesunan-sunan saya, tetaplah Sableng.”
“Sesableng-sableng panjenengan, tetaplah Sunan. Bahkan semakin sableng, semakin Sunan.”
“Semakin Sunan, semakin Sableng.”
“Kalau bukan Sunan, pasti tidak Sableng. Kalau tidak Sableng, pasti bukan Sunan,” komentar Paduka Petruk seraya terkekeh.
Tiap dialog Paduka Petruk dan para cantriknya menandakan kadar kepintaran mereka. Sekalipun mempunyai kompetensi itu mereka hendak ngangsu kawruh kepada Sunan Sableng. “ … Maka tujuan kami ke sini tidak lain adalah untuk belajar, untuk berguru.”
Sunan Sableng menanyakan kepada mereka perihal apa dan bagaimana pelajaran yang hendak dipelajari. Ia mewedarkan sejumlah motif: orang pintar, kuat dan hebat, sakti dan waskita, baik, beriman dan bertakwa, teguh dan istikamah, kaya, berkuasa, hingga orang saleh.
Para cantrik Paduka Petruk menuturkan pelbagai alasan. Tiap alasan segera mendapatkan komentar dari Sunan Sableng. Sesekali Paduka Petruk menyahut, mengomentari masing-masing alasan secara sinis. Alasan cantrik keempat ia komentari. Cantrik itu ingin menjadi orang yang teguh dan istikamah.
“Teguh berbuat zalim dan istiqomah berkuasa terus-menerus, sampai istri, anak, besan, menantu, dan cucu-cucu?” gugat Paduka Petruk kepada cantriknya. Komentar itu segera disahut cantriknya. Jawaban cerdas “tidak demikian karena saya adalah cantriknya Paduka Petruk Sang Punakawan” terujar retoris. Tak mau kalah, bosnya itu memberondong pertanyaan bak seorang profesor kepada mahasiswa, “Kalau gitu, hujjah-mu apa. Reasoning-mu. Landasan berpikirmu.”
Karakter Paduka Petruk yang diperankan oleh Joko Kamto ini sangat kuat. Pawakannya yang atletis, tegak, tegas, dan lentur segemulai kenakalan perangai Petruk berhasil dimainkan. Demikian pula dengan Seteng, pemeran Sunan Sableng, dengan tipe vokalnya yang khas itu sedemikian klop mewakili kesepuhan orang alim nan dihormati. Bahkan suara berdehamnya pun memberikan efek wibawa.
Sudah berwibawa, bersahaja lagi.
Tak seperti orang alim masa kini yang menjual imaji “surga” dan “neraka”, Sunan Sableng dalam pementasan ini justru tak tanggung-tanggung melakukan otokritik. Ia mengkritik kecenderungan santrinya yang terlalu sibuk dengan tahfiz Qur’an, sehingga tertinggal dalam urusan negara dan kemasyarakatan.
Barangkali tepat kritikan itu bila dialamatkan kepada santri tradisional. Akan tetapi, meleset jika ditujukan kepada santri moderat. Yang terakhir ini belakangan malah rajin bermain bola politik di kancah negara. Jangan-jangan masalah ini bukan tepat atau meleset, melainkan kritikan itu sengaja dituturkan secara implisit. Semacam kritik terselubung.
Kritikan Sunan Sableng, kalau begitu, dapat dibaca secara terbalik. Apa yang dikatakan bisa bermakna sebaliknya. Atau malah mengandung satire. Suatu sindiran dalam ungkapan sinis. Bisa pula sebuah pasemon, di Jawa namanya sanepo, suatu ungkapan atau kalimat yang bermaksud tertentu. Masalahnya makna di balik pasemon ini tak ada yang mampu menerka kecuali sang penutur. Orang lain sekadar menduga-duga.
Di luar itu Paduka Petruk meminta kepada Sunan Sableng. Ia mohon agar Sunan Sableng mempertimbangkan satu hal. “Kalau keadaan zaman terus membeku, kalau perubahan tak bisa dilaksanakan karena kejumudan, maka saya diperintahkan oleh Romo Semar meloncat ke istana dan menduduki singgasana. Khayangan harus dibangun kembali agar bumi sembuh dari wabah-wabah zaman yang menguasai dan menindihnya.”
Permintaan itu tak dijawab. Tanpa meninggalkan jawaban, Sunan Sableng mengajak anak, cucu, dan santri-santrinya berdoa. Baik santri maupun cantrik sama-sama duduk dengan adegan simbolis tangan memegang kepala, perut, dan seterusnya secara kolosal.
Sunan Sableng mengucapkan doa:
Wujudku cahaya mewujud
Sejatiku maujud Nur Muhammad
Terkunci rapat dari lawwamah
Tertutup ketat dari ammarah
Terpelihara dari jahalah
Tergembok dari dhalalah
Subhanallahu Allahu Akbar
Subhanallahu Allahu Akbar
Subhanallahu Allahu Akbar
Tanganku menggenggam kunci pembuka langit dan bumi
Terkelupas tabir wajahku oleh cahaya mentajalli
Pergelangan tanganku keramat Ali
Melingkar di jariku cincin Sulaiman
Memancar dari sukmaku matahari wajah Yusuf
kalung leherku kunci pembuka rahasia Muhammad
Subhanallahu Allahu Akbar
Subhanallahu Allahu Akbar
Subhanallahu Allahu Akbar