Pandemi Egosentrisme (Nafs) Manusia
Ada apa dengan napas manusia modern? Berdasar data yang tercatat, mayoritas pandemi yang pernah dialami dunia modern ternyata berhubungan dengan pernapasan. Sebut saja misalnya flu Spanyol 1918, flu Asia 1956, flu Hongkong 1968, SARS 2002, Flu Burung 2007, Flu Babi 2009, MERS 2012 dan terakhir Covid-19. Sebelum abad ke-20, setidaknya hanya tercatat satu pandemi yang terkait pernapasan, yaitu Flu Rusia/China pada 1889.
Meski ada gradasi perbedaan, namun semua pandemi ini sama-sama disebabkan oleh infeksi virus yang menyerang saluran pernapasan. Mungkin saja ini dianggap kebetulan. Dan, daripada pusing, sebagian besar orang mungkin memang cenderung menyikapinya demikian, meski faktanya terbukti berulang.
Tapi adakah kebetulan di dunia, lebih-lebih bagi mereka yang beriman? Bukankah semua yang terhampar di semesta dan di dalam diri manusia adalah ayat-ayat-Nya? Kalau ini adalah juga ayat-Nya, bagaimana men-tadabburi-nya? Tentu, banyak cara bisa dipakai, termasuk hikmah yang bisa ditarik darinya. Yang ditawarkan di sini hanya salah satu upaya saja.
Mari kita coba fokus pada fakta bahwa semua penyakit tersebut berhubungan dengan saluran pernapasan, atau bahasa teknisnya respiratory syndrome (sindrom pernapasan). Kenapa napas?
Kata napas dalam bahasa Indonesia adalah serapan dari bahasa Arab, yang artinya kurang lebih sama yaitu terkait dengan proses keluar masuk sesuatu dari tubuh manusia, dalam kaitan ini adalah udara. Dalam bahasa Arab, akar katanya adalah nun-fa’-sin. Dari akar kata ini sebenarnya muncul sangat banyak kata dan makna yang menarik, apalagi bila dikaitkan dengan al-Qur’an. Dalam kaitan ini kita ambil dua saja, yaitu: nafs dan nafsu.
Nafs sering dimaknai sebagai jiwa atau diri. Jiwa atau diri disebut nafs, karena ia keluar masuk dari tubuh manusia. Secara langsung keberadaannya ditandai dengan proses nafas, bernapas. Ia sekaligus adalah substansi rohani sebagai bentuk bagi jasad. Sekadar catatan, menurut Imam Al-Ghazali, ruh, hati (al-qalb), akal (al-‘aql) maupun nafs sebenarnya adalah empat nama yang berbeda dari satu entitas yang sama. Perbedaan nama ini hanya terkait dengan fungsi dan penggejalaannya.
Kalau boleh menyederhanakan, dalam kaitan ini nafs adalah identitas keberadaan manusia. Sementara nafsu, secara sederhana adalah dorongan yang muncul dari nafs, dari diri atau jiwa. Bisa buruk, al-nafs la’ammaratun bi al-su’. Bisa penentang/penyesal, an-nafsu al-lawwamah. Bisa juga mencapai ketenangan, an-nafsu al-muthmainnah.
Dari perspektif ini, beruntunnya pandemi yang berkait dengan saluran pernapasan, bisa dibaca setidaknya sebagai tanda atau peringatan tentang adanya masalah serius terkait keberadaan manusia; karena napas adalah penanda sekaligus penopang utama keberadaan nafs/diri/jiwa.
Artinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, apa yang selama ini keluar dan masuk dari nafs/diri/jiwa, berupa nilai-sistem-struktur yang dibangun; terbukti kecuali membuat sesak napasnya secara jasmaniah, juga sekaligus menghambat atau bahkan menutup kemampuannya untuk merealisasikan kesejatian nafs/diri/jiwanya sendiri.
Peradaban yang nilai-sistem-strukturnya membuat sesak napas ini, baik dalam pengertian denotatif mau pun konotatifnya, jelas dibangun berdasar dan merupakan output dan outcome al-nafs la’ammaratun bi al-su’, atau setidaknya an-nafsu al-lawwamah; sehingga hampir-hampir menutup kesempatan umumnya manusia merengkuh posisi an-nafsu al-muthmainnah-nya. Atau, meminjam istilah yang dipakai oleh Joseph E. Stiglitz, pemenang nobel ekonomi 2001, peradaban yang berbasis keserakahan ini tidak mampu mengantar manusia menemukan kemanusiaannya.
Yang menarik, selama delapan belas tahun terakhir intensitas terjadinya pandemi berkait dengan napas ini meningkat tajam; 2002, 2007, 2009 dan 2012. Padahal, sepanjang abad ke-20, tercatat setidaknya hanya tiga pandemi semacam ini, yakni 1918, 1956 dan 1968. Apakah ini adalah isyarat untuk menunjukkan bahwa arah peradaban modern semakin tak terkontrol dalam merendahkan dan menjauhkan manusia dari nafs/diri/jiwa sejatinya? Dan kemampuannya hanyalah sekadar menuntun manusia untuk melampiaskan al-nafs la’ammaratun bi al-su’ dan an-nafsu al-lawwamah-nya belaka?
Meski meningkat tajam, tapi isyarat tersebut tampaknya tak juga dipahami. Paling banter hanya segelintir manusia yang memahami, itu pun peringatannya tak pernah digubris oleh mayoritas warga dunia. Sehingga akhirnya muncul pandemi kelima dalam rentang waktu 19 tahun, yaitu hadirnya Covid-19 yang bukan saja membuat panik, tapi sekaligus terbukti mampu memacetkan peradaban itu sendiri. Peradaban yang selama ini membuat sesak napas manusia. Dalam waktu singkat, hampir semua aktivitas peradaban tiba-tiba berhenti.
Dan kali ini kehadiran pandemi masih dilengkapi dengan isyarat tambahan: desah George Flyod, I can’t breathe, saya tidak bisa bernapas. Fragmen George Flyod tersebut seperti menggarisbawahi seluruh isyarat yang dibawa pandemi: orang tidak bisa bernapas, tidak bisa hidup, tidak bisa sepenuhnya menata dan membangun hidupnya sebagai manusia karena ditekan lehernya, ditekan saluran pernapasannya oleh lutut polisi; oleh lutut hukum, oleh lutut sistem yang dibangun peradaban.
Bisa jadi ini pembacaan yang salah atau tidak tepat, karena datanya belum final dan sudut pandangnya belum pas. Bisa jadi masih banyak cara baca lain yang bisa dikembangkan. Tapi, yang jelas, menganggap tidak ada isyarat atau pesan Allah di balik rentetan peristiwa tersebut hanya akan mengantar manusia menjadi kal an’am bal hum adholl.