Pak Iman Sang Ringan Hati
Pagi hari ini, saya dikejutkan oleh kabar meninggalnya Pak Iman Budhi Santosa. Betapa tidak, sore kemarin saya masih sempat mengirim chat WA kepada beliau menyampaikan pesan dari Mbah Nun agar beliau berkenan turut memberikan review untuk pentas teater Perdikan dengan lakon “Papat Petruk Lima Sableng”.
Beliau menyanggupi.
Sebuah jawaban yang sudah saya perkirakan. Selama ini beliau senantiasa ringan hati membantu kami saat kami membutuhkan beliau untuk acara diskusi/sarasehan, workshop, menulis esai, memberikan masukan, serta berbagi wawasan buat anak-anak muda.
Salah satu yang penting dan perlu kita garisbawahi dari semua kesediaan beliau adalah komitmennya dalam mempunggawai majalah Sastra Maiyah Sabana. Dalam usia yang sudah sepuh beliau dengan sepenuh dedikasi mengawal Sabana pada setiap edisinya. Beliau selalu datang dalam setiap rapat-rapat redaksi di Rumah Maiyah Kadipiro, dan selalu siap memberi sambutan dalam setiap peluncuran edisi baru Sabana.
Beliau ikut mengusulkan tema dan menyarankan siapa saja penulis yang diundang untuk menulis di Sabana. Hal yang dari situ saya mengerti bahwa beliau tak hanya seorang penyair atau sastrawan, melainkan seseorang yang membina networking dengan para penyair atau sastrawan di mana pun, termasuk di luar negeri.
Ringan hati beliau juga saya rasakan ketika meminta izin agar kami diperkenankan memetik poin-poin dari tulisan-tulisan beliau untuk kami jadikan mutiara di dalam Rubrik Tetes www.caknun.com. Bahkan jika saya ingin sowan kepada beliau di kediamannya, pun beliau dengan tangan terbuka menerima kedatangan saya. Hal yang juga diberikan kepada siapapun anak muda yang bermaksud ngangsu kawruh kepadanya. Kalau pas saya sowan kepada beliau itu, beliau selalu mengekspresikan “ada pesan penting apa dari Kadipiro”.
Buat Mbah Nun sendiri Pak Iman bukan sekadar senior atau sahabat dalam dunia sastra. Lebih dari itu, Mbah Nun memandang Pak Iman sebagai sosok yang ngugemi
nilai-nilai dan falsafah hidup orang Jawa. Saya secara pribadi mengiyakan. Beberapa kali dalam perbincangan dengan beliau, saya mendapatkan penjelasan tentang apa yang dimaksud oleh suatu ungkapan dalam falsafah Jawa. Karena keluasan dan kedalaman ini, bagi Mbah Nun sesungguhnya Pak Iman adalah seorang Marja’ Maiyah sehingga anak-cucu Maiyah diminta juga belajar kepada beliau.
Lebih dari itu, meskipun kuat dalam menguasai nilai-nilai dan falsafah hidup orang Jawa, saya melihat Pak Iman sebagai pribadi Jawa “dalam nilai”, dalam arti beliau orang Jawa yang, seingat saya, belum pernah saya lihat mengenakan busana Jawa, yang memberikan impresi bahwa beliau adalah pribadi Jawa namun tidak dalam pengertian formal.
Mungkin juga ini menandakan bahwa beliau lebih dekat dengan suasana dan kehidupan masyarakat atau wong cilik Jawa. Bacalah misalnya puisi-puisinya dalam Dunia Semata Wayang dan Wajah-Wajah Jawa (Faces of Java) yang begitu indah, dekat, dan lekat melukiskan kehidupan orang Jawa; juga buku Profesi Wong Cilik: Spiritualisme Pekerja Tradisional Jawa yang menguak dunia batin pekerja-pekerja tradisional di Jawa yang sebagiannya sudah tak kita jumpai lagi.
Lihat juga buku tebal beliau yang buat saya mengagumkan yaitu Suta Naya Dhadhap Waru. Buku ini bukan hanya menunjukkan detailnya Pak Iman dalam memotret dan menyuguhkan pada kita apa yang selama ini banyak tak kita sadari dari dunia Jawa yaitu keintiman orang Jawa dengan alam, dalam hal ini tumbuh-tumbuhan, sehingga nama-nama dusun, desa, dan kampung banyak yang menggunakan nama-nama tumbuhan, tetapi juga sekaligus menunjukkan bahwa Pak Iman adalah seorang penulis berbasis penelitian. Sebuah etos yang perlu kita teladani.
Setiap kali Mbah Nun dan Pak Iman sedang berbincang-bincang, saya menyaksikan Pak Iman menyampaikan afirmasi atas apa yang dipikirkan atau dirasakan Mbah Nun terhadap kahanan zaman sekarang atau sebaliknya Mbah Nun menyerap perspektif Pak Iman dalam memaknai situasi kekinian utamanya dalam hal pergeseran nilai dan budaya dalam masyarakat.
Setiap kali menguping obrolan beliau berdua itu pula, saya selalu merasakan sesungguhnya masih banyak yang perlu kita serap dari Pak Iman: sosok penyair, penulis, dan filsuf Jawa yang sederhana, bersahaja, bertangan terbuka, dan senantiasa rendah hati. Perasaan itu semakin menguat dan “menagih diri” setiap kali berjumpa dengan beliau entah pada waktu SastraLiman atau kesempatan-kesempatan lain.
Dan hari ini Allah menurunkan batas yang menjadikan saya dan kita semua tak mungkin bersua lagi dengan beliau untuk belajar kepada beliau seperti sebelum-sebelumnya. Allah memanggil beliau pada pagi hari ini, Kamis 10 Desember 2020 pada usia 71 tahun.
Hanya doa dan rasa terima kasih yang tak terhingga yang dapat kami haturkan atas semua hal yang telah Engkau berikan kami semua. Sugeng Kundur, Pak Iman Budhi Santosa.
Yogyakarta, 10 Desember 2020