Orde Klithih
Klithih adalah bahasa Yogya untuk menjelaskan suatu perilaku sangat buruk, kejam dan brutal di kalangan sebagian kaum remaja Yogya dan sekitarnya, yang menjadi istilah publik karena sudah menjadi kebiasaan dalam waktu yang lama, bertahun-tahun.
Sekelompok, atau mungkin hanya 2-3 atau 1-2 orang remaja SMP atau SMA keluar dari rumah membawa pedang, kelewang, clurit atau jenis senjata tajam besar lainnya yang bukan sekadar pisau. Mereka duduk-duduk di tepian jalan, begitu ada motor lewat mereka berdiri menghampiri kemudian menebaskan senjatanya ke leher, kepala atau badan pengendara motor yang lewat itu.
Tidak ada latar belakang apapun. Pengendara yang lewat itu bukan musuhnya. Tidak pernah punya perkara dengan pembacoknya. Itu sungguh-sungguh peristiwa kelaliman subyektif dan egosentris, sepenuhnya berangkat dari nafsu anarkhis dari jiwa dan mental mereka. Para psikolog bisa menganalisis dorongan apa yang menyebabkan mereka melakukan hal itu. Kekosongan jiwa, obsesi untuk merasa hebat, suatu jenis penyakit sosial deeksistensi sehingga berbuat sesuatu agar merasa diakui bahwa mereka ada, atau entah apa.
Tanpa tulisan ini berpretensi untuk menganalisisnya atau menguak sejarah sebab musababnya, tapi jelas ini merupakan kegagalan besar dan total dari pendidikan sosial budaya masyarakat Yogya yang dikenal sebagai masyarakat yang santun dan Kota Budaya serta Kota Pelajar.
Itu yang namanya budaya klithih. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk “ngisin-isin” atau “mem-bully” kebudayaan masyarakat Ngayogyahadiningrat, sebab sudah 50 tahun saya menjadi bagian dari masyarakat jantung peradaban Jawa ini.
Anasir-anasir yang bisa kita himpun dari budaya perilaku klithih antara lain: tidak berlakunya akal sehat di dalam diri pelakunya. Tidak berlakunya moralitas dan kasih sayang kemanusiaan. Tidak ada sebab akibat dalam proses sosialnya. Tidak ada bangunan nilai dasar baik-buruk dan benar-salah. Satu-satunya yang berlaku adalah pelampiasan nafsu, kalau pakai idiom agama. Itu pun nafsu murni subyektif egosentris, tanpa dialektika sosial.
Anasir yang sama pada hakikatnya juga terjadi secara lebih luas. Indonesia sedang mengalami Orde Klithih yang kelaliman dan kebrutalannya melebihi Orde Lama maupun Orde Baru. Di zaman Orla tentara sangat berkuasa, tetapi tindakan keras mereka memenuhi hukum sebab akibat. Siapa saja, orang, tokoh, kelompok, Ormas atau Parpol yang tidak sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Bung Karno, akan mengalami klithih. Bentuk klithihnya pun tidak semena-mena dipenggal kepalanya, melainkan bisa menghancurkan reputasinya, membangkrutkan lembaga bisnisnya, membubarkan organisasinya dst. Saya dan keluarga mengalami penghancuran semacam itu di masa Orla, meskipun saya tidak pernah “ngundat-undat” hal itu di masa dewasa saya.
Di zaman Orba tentara sangat berkuasa dan ditakuti semua masyarakat. Tetapi tetap ada dialektika akal pikirannya. Tetap ada pendapat umum, meskipun akan dipenggal kalau tidak sama dengan arah langkahnya Pak Harto. Bentuknya bisa dibubarkan kegiatannya, dilarang memasuki suatu wilayah, ditangkap dan dipenjara. Minimal dicekal. Ratusan kali saya mengalami pencekalan, sehingga nama dan kegiatan saya identik dengan cekal.
Indonesia dengan Pemerintahannya sekarang jauh lebih canggih dan kaya formula maupun strategi untuk melakukan klithih politik. Ini zaman internet, zaman kemewahan informasi dan komunikasi. Ini era digital-milenial. Dengan dasar dan keberangkatan yang sama dengan yang saya uraikan tentang klithih di atas, siapapun yang berkuasa sekarang dengan sangat mudah dan sangat banyak cara untuk melakukan klithih politik. Maka potensialitas dan aktualisasi klithih era sekarang ini melebihi Orla maupun Orba. Kalau di zaman Orla dan Orba Anda bisa digrebeg pasukan bersenjata (sekian kali saya mengalami langsung dengan Gus Dur dan juga dengan KiaiKanjeng), kalau sekarang dikeroyok di internet, medsos dan media massa. Pasukannya tersedia sejak awal kekuasan, siap dengan misalnya proyek “deEmhaisasi”. Bahkan Lembaga-lembaga hukum dalam struktur Negara mematuhi dan mengaktualisasikannya.
Kelihatannya Indonesia dikuasai dan diperintah bukan oleh Junta Militer. Tetapi sekarang banyak cara dan peluang untuk bisa menerapkan “militerisme media”, “militerisme budaya”, “militerisme politik”, “militerisme birokrasi”, bahkan “militerisme mitologi”. Sementara hukum ekonomi pasar, meskipun kelihatannya tidak bisa didikte oleh militerisme, tapi dia tidak bisa merupakan jawaban terhadap arus militerisme. Apalagi budaya media dan iklan adalah “pasukan siluman”, suatu modus klithih lain yang halus, yang sangat mudah memperdaya rakyat dalam kemiskinan dan keputusasaannya.
Masa depan NKRI di genggaman tangan Orde Klithih ini sungguh-sungguh berada dalam darurat kehancuran, karena masa kininya membiasakan klithih tanpa bisa ditemukan oleh rakyat bentuk antisipasi atau kritisismenya. Kalau secara agama bangsa Indonesia sepenuhnya bergantung pada pertolongan Allah dengan menunggu hidayah dan perlindungan untuk membangun mekanisme “nahi munkar”. Sementara sangu kita semua, modal rakyat Indonesia dan Ummat Islam belum tentu mencukupi untuk memperoleh limpahan pertolongan dari Allah Swt. Sampai kapan Jamaah Maiyah sembunyi di Gua Kahfi?
Satu substansi lagi: hendaknya menjadi pengetahuan dan kesadaran kita bahwa pelaku-palaku klithih tidaklah menyimpulkan bahwa yang mereka lakukan itu adalah klithih. Mereka tidak memiliki logika, pengetahuan dan kesadaran untuk bisa mengidentifikasi mana perilaku klithih dan mana bukan. Mereka cenderung merasa benar. Demikian juga Pemerintah yang sedang berkuasa. Mampuslah Anda dan saya. Jangan bilang mereka salah, apalagi biang klithih — nanti Anda diserbu oleh Hizbul Ghaul, pasukan Iblis.
Jamaah Maiyah tahu manusia kategori keempat: “Rajulun la yadri wala yadri annahu la yadri”. Orang yang tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa dia tidak mengerti, “fahuwa jahilun murakkab”. Rumusnya adalah “fatrukhum”, tinggalkan mereka. Itulah sebabnya Maiyah melakukan “Lockdown 309 tahun” di Gua Kahfi.
Sementara janji Allah yang menurut firman-Nya sendiri tak mungkin diingkari — “wa nuridu an namunna ‘alalladzinas-tudl’ifu fil ardl wa naj’aluhum aimmatan wa naj’aluhumul waritsin” (Dan Kami berjanji bagi siapa saja yang dilemahkan dan dianiaya di muka bumi, akan Kami jadikan pemimpin dan Kami jadikan pewarisKu) — tidak ada jaminan logis bahwa itu berlaku untuk rakyat Indonesia yang manapun, termasuk Masyarakat Maiyah.