CakNun.com

Obituari Kesahajaan Hidup Bunda Cammana

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 5 menit

Senyum Bunda Cammana selalu menunjukkan keteduhan layaknya seorang ibu yang penuh kasih sayang kepada anak dan cucunya. Kesan ini membekas kuat bagi saya yang sama sekali belum pernah bertemu beliau secara langsung. Selama ini saya baru menyaksikan beliau dari balik layar digital. Meski demikian, menikmati lantunan shalawat dan ritme tabuhan rebana Bunda Cammana, bagi saya pribadi, seperti meninggalkan kesan takzim tersendiri.

Entah dari mana kesan itu muncul. Seperti saat Cak Nun dan KiaiKanjeng menginjakkan kaki ke Mandar beberapa tahun silam, Bunda Cammana sudah menanti rombongan paling dicintainya itu di pinggir jalan. Ketika pintu mobil dibuka, Cak Nun melangkah keluar, ia bergegas memeluknya erat. Tak ada bahasa yang keluar kecuali tanda air mata mengucur pelan.

Hubungan Cak Nun dan Bunda Cammana telah terjalin lama. Kurang-lebih sekitar tiga dekade. Bahkan orang Mandar sendiri menyebut Cak Nun “orang Mandar yang lahir di Jombang” — membuktikan betapa kuatnya hubungan interpersonal di antara keduanya. Relasi ini mustahil terbangun bila tak ada momentum sejarah, budaya, serta psikologi antara Cak Nun, Bunda Cammana, dan Mandar.

***

Pukul 15:55 WITA, 7 September 2020, Bunda Cammana wafat. Jamaah Maiyah terpukul. Merasa kehilangan sesepuh yang paling dicintainya itu. Belum lama berbelasungkawa karena Marja’ Maiyah, Syaikh Kamba, meninggal tiga bulan lalu, kini Jamaah Maiyah harus menanggung perasaan duka serupa. Dari Pendopo Rumah Maiyah Kadipiro, Progress menggelar doa dan tahlil Tasyyi’ Swargi Bunda Cammana.

Sesungguhnya sejak tahun 2005 Cak Nun sudah berpesan agar Bunda Cammana segera didokumentasikan kiprah kesenian dan rekam jejak kehidupannya. Semata-mata supaya generasi mendatang mempelajari Bunda Cammana secara utuh. Saya sendiri mengakui sedikit kajian penelitian yang mengulas sosoknya.

Di antara segelintir pustaka yang menggambarkan situasi budaya Limboro dan Tinambung, Polewali, buku berjudul Mandar Nol Kilometer karya Muhammad Ridwan Alimuddin (2011) dapat menjadi rujukan.

Bunda Cammana lahir di Samasundu tahun 1935. Menurut catatan Alimuddin, ia lahir di tempat yang dianggit appe banua kaiyyang — empat negeri besar — yang membentuk Arajang Balanipa. Ayahnya bernama Zani, seorang seniman besar waktu itu, yang merupakan pemain rebana dan pemahat batu nisan. Masyarakat setempat begitu menghormatinya karena juga merupakan juru tulis kepala kampung, guru tasawuf, dan guru pencak silat.

Jo’e, ibu Cammana, juga multitalenta di bidang seni tradisi. Ia dikenal piawai memainkan kecapi. Namun, masyarakat sekitar, mengenal Mak Jo’e sebagai guru spiritual dan guru mengaji di kampung. Dari garis ayah dan ibunya itu Bunda Cammana sudah akrab dengan jagat seni tradisi yang membawa pesan-pesan religius. Pada darah Cammana muda mengalir deras jiwa seniman dan ulama.

Tahun 1987 ayahnya wafat. Enam belas tahun kemudian ibunya menyusul.

Bunda Cammana adalah seorang parrawama towaine (pemain rebana perempuan) yang pada tahun 1957 mulai bermain rebana dari rumah ke rumah. Ada perbedaan langgam irama lagu antara parrawama towaine dan parrawana tommuane (pemain rebana laki-laki). Pemain rebana perempuan ini biasanya empat sampai tujuh pemain dan membawakan lagu yang berisi pesan keagamaan, nasihat, ataupun kisah-kisah kehidupan.

Corak arsitektural rumah panggung yang berdekatan satu sama lain membuat hubungan antartetangga sedemikian kuat nuansa kulturalnya. Kondisi inilah yang membuat Cammana muda sangat rukun dengan anggota keluarga di sekitar rumahnya.

Berkesenian rebana dari rumah ke rumah dan kampung ke kampung tak lantas membuat aktivitas ini eksklusif. Seni dipandang sebagai bagian inheren dari masyarakat lokal, bukan sebagai performa musiman. Kendati demikian, ketika hajatan dilangsungkan seperti khitanan, pernikahan, penyambutan tamu istimewa, atau acara budaya setempat rebana niscaya tetap dimainkan. Bagi parrawama towaine, pertunjukkan rebana dimainkan saat malam hari di rumah sang empunya hajat.

Seni tradisi telah mendarah daging. Ia seperti aktivitas “ibadah” bagi masyarakat setempat. Melakoni seni tradisi tak lantas membuat masyarakat di tempat Bunda Cammana meninggalkan pekerjaan sehari-hari. Walaupun beberapa kesempatan acap kali diundang ke luar provinsi maupun pulau di luar Sulawesi, mereka tetap menjalani profesi harian: bertani, berkebun, memasak, dan bertenun.

Rumah Bunda Cammana terbuka bagi siapa saja. Berpuluh tahun ia membina generasi muda untuk mengaji serta main rebana. Rumahnya di Kampung Pappang, Kecamatan Limboro, terbilang strategis. Sekitar 50 meter dari jalan yang menghubungkan Tinambung dan Palu, rumah panggung milik Bunda Cammana mudah dikenal orang yang hendak bertandang. Dari jalan utama, semisalnya, ketika orang bertanya di mana persisnya rumah panggung itu, pasti langsung diantar secara ramah oleh penduduk sekitar.

Mas Patub mengenang saat pertama kali rombongan Letto ke Mandar tahun lalu. Selama lima hari, pada 21-26 Februari 2019, Letto mendapatkan undangan untuk menyelenggarakan Musik Edukasi di tanah kelahiran Bunda Cammana. Kesempatan itu mereka gunakan untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar Papperandang Ate yang waktu itu genap berusia 21 tahun.

Menurutnya, warga sekitar sangat ramah. Meskipun belum kenal dekat karena baru pertama kali bersua, kesan hangat dan mudah akrab ia rasakan. Tiap ke mana pun rombongan Letto selalu didampingi. Setiap hari bahkan bisa disuguhi makan sampai lima kali. Beda rumah beda jamuan. Bukan sekadar hidangan, melainkan juga berbagi kemesraan.

***

Ikatan emosi Cak Nun dan Mandar dimulai sejak tahun 1989. Waktu itu ia bersama Pak Nevi Budianto terbang menuju Sulawesi Barat. Pak Nevi sendiri menuturkan kenangan itu masih terekam kuat. Bagaimana tidak. Ia pertama kali naik pesawat dan meninggalkan istrinya yang baru saja dinikahi untuk LDR beberapa bulan. Bersama Cak Nun ia diminta Bang Ali (Alisjahbana) untuk menggelar lokakarya teater.

Tak hanya urusan keaktoran, Cak Nun dan Pak Nevi juga diminta melakukan pemberdayaan masyarakat. Mulai dari sinilah interaksi yang lebih intens dengan masyarakat setempat dihela. Mengapa pemberdayaan itu dilakukan?

Masyarakat Mandar waktu itu, terutama anak mudanya, gemar tawuran. Sering kali konflik antargenerasi meruncing. Masalahnya dipicu oleh hal sepele sebetulnya. Cak Nun sendiri menilai bahwa dahulu kesenjangan antargenerasi begitu kuat di sana. Ada satu cerita menarik.

Pada suatu siang Bang Ali memboncengkan Cak Nun naik motor. Mereka mengejar 300 orang pasukan Balanipa Mandar yang berkonvoi akan menyerbu Kota Majene. Dengan kecepatan penuh motor yang dinaiki Bang Ali dan Cak Nun akhirnya bisa menyalip. Di depan rombongan, motor itu diparkir silang di tengah jalan. Bang Ali dan Cak Nun menghentikan pasukan massal itu.

Setelah berunding cukup lama dan alot, pasukan Balanipa Mandar diminta kembali dan akhirnya dikumpulkan ke masjid yang tak jauh dari lokasi kejadian. Bang Ali kemudian memanggil Mara’dia, Raja Mandar, untuk bernegosiasi, membicarakan duduk perkara penyerbuan sampai resolusi konflik agar mencapai titik tengah.

Jalan perdamaian semacam itu bukan pertama kali ditempuhnya. Bang Ali yang disepuhkan anak-anak muda Mandar ini “menaklukkan” mereka dari yang sebelumnya “nakal” sampai lebih “tertata” — itu kenapa ia turut mengundang Cak Nun untuk membantu proses kepengasuhan di Mandar.

Salah satu bentuk kepengasuhan itu adalah didirikannya Teater Flamboyan. Komunitas budaya dan seni di Tinambung ini didirikan Bang Ali. Embrionya telah muncul sejak 70-an. Pada 5 September 1983 berubah menjadi organisasi dan setahun berikutnya — tepat 15 September 1984 — diresmikan.

Naskah-naskah Cak Nun rajin mereka pentaskan. Antara lain Cahaya Maha Cahaya di Polmas tahun 1987. Sukses dengan pentas itu setahun berikutnya membawa naskah Lautan Jilbab untuk digelar di Sulawesi Selatan.

Era 90-an Teater Flamboyan makin naik daun. Atas prakarsa Halim HD, jagat teater dan seni tradisi Mandar makin subur. September tahun 1999 Halim HD mengorganisir Makassar Arts Forum. Bunda Cammana dilibatkan untuk membuka acara bersama Mak Coppong (penari asal Makassar). Dua bulan setelah itu, Bunda Cammana diundang ke Jakarta dalam acara Temu Menteri Pariwisata se-ASEAN.

M. Ridwan dalam tulisannya bertajuk Catatan Kecil untuk Teater Flamboyant menyebut persinggungan Halim HD terhadap Bunda Cammana sejak tahun 1988. Ia mengenal beliau melalui Amru Sa’dong yang waktu itu merupakan ketua Teater Flamboyan. Halim HD mengaku terpukau atas sentuhan musikal Bunda Cammana yang autentik dan unik.

***

Pernahkah Bunda Cammana ke Yogyakarta? Tentu saja pernah. Tercatat pada acara Mocopat Syafaat edisi 17 Juli 2005 ia naik panggung bersama Sang Burung Merak, W. S. Rendra. Waktu itu ia bersama parrawama towaine — didampingi Bu Mina (keponakan) dan Tasriani & Hatijah (kedua anaknya) — memainkan rebana dengan senandung shalawat yang merdu di hadapan Jamaah Mocopat Syafaat yang kebanyakan orang Jawa.

Orang Mandar dan orang Jawa bersemuka dalam satu forum seolah-olah tak penting lagi perbedaan budaya di antara keduanya. Garis batas “etnisitas” melebur, bahkan mencair, untuk kemudian nyawiji bukan sebagai apa-apa kecuali sebagai manusia.

Kendatipun tak banyak yang memahami ujaran yang dikumandangkan Bunda Cammana, shalawat berbahasa Arab dengan logat khas Mandar yang dilagukannya seakan dimengerti oleh Jamaah Mocopat Syafaat. Mereka menikmati bukan perkara bahasa, melainkan “sisi universal” musik yang dapat berterima bagi siapa saja.

Kejadian lima belas tahun lalu di TKIT Alhamdulillah, Tamantirto, Kasihan, Bantul, itu sekarang tinggal kenangan. Pernah ada tiga maestro dalam satu panggung. Walaupun itu telah berlangsung lama, Bunda Cammana dikenang karena kesahajaannya. Saya membayangkan senyuman beliau yang teduh itu turut memberkahi Jamaah Maiyah.

Lainnya