Mukadimah Maiyah Balitar Edisi Maret 2020
Secara geografis, Blitar memiliki khasanah alamiah yang terbilang lengkap. Di sisi utara dan timur terdapat gunung dengan dataran tinggi hingga sedang. Sebuah sungai besar membentang dari timur ke barat membagi kawasan menjadi dua “mbrang lor dan mbrang kidul“. Tak ketinggalan, menghampar samudera di sisi selatan lengkap dengan puluhan pantai wisata yang mempesona.
Deskrispsi singkat di atas menjadi bahan dasar bagi kita untuk dengan mudah menemukan bentukan natural beserta fenomenanya jika topik bahasan yang dipilih merujuk kepada makhluk Tuhan yang juga saudara tua kita dalam sejarah penciptaannya.
Kali ini team tema Majelis Maiyah Balitar memilih tema Nyegara. Sebuah kata sifat yang merupakan turunan dari kata benda bernama segara, laut. Dari sisi ingatan, kata laut terhubung langsung dengan gelombang yang tiada henti, keluasan, cakrawala dan kemampuan menerima apapun zat buang. Seberapapun deras dan santernya aliran sebuah sungai — dalam berratus kelokan dan cerita yang dibawanya — di ujung ruasnya bernama muara ia terus berharap kerelaan laut menerima.
Sebagaimana sains telah membuktkan, dalam Al Qur’an, Allah menyatakan bahwa dua pertiga luas bumi dipenuhi oleh air. Proporsi yang sama terjadi juga pada tubuh manusia. Muatan air selalu lebih besar dibanding kadar padatan. Secara intrinsik, fenomena ini pasti memiliki makna falsafati yang secara logis bisa diterjemahkan ke uraian dari disiplin keilmuan lainnya.
Secara sederhana, Nyegara bisa kita maknai sebagai upaya untuk selalu menjadi katalisator dalam tata interaksi kehidupan. Profil utamanya yang luas adalah haribaan jembar tempat siapapun ia bisa mencurahkan, mengalirkan, membuang limbah kepenatan dari hidup yang terus berlari. Letih, nestapa, mimpi dan anasir cita-cita, juga luapan suka cita mampu ditampung dalam luasnya kesediaan laut menginfakkan dirinya. Sejajar dengan ini, Mbah Nun menyarankan kita untuk menjadi manusia ruang alih-alih manusia perabot. Sehingga simpulan sementara kita bisa ditulis betapa menjadi manusia ruang adalah Nyegara.
Berikutnya, Nyegara adalah menjad manusia yang tiada mengenal kata berhenti. Ia adalah insan kamil yang gerak juangnya melulu panta rei. Lelaku simultan ini melekat pada mereka yang telah Nyegara sebagi ekspresi kepatuhan kepada Tuhan bahwa di sesingkat apapun hidup yang “mung mampir ngombe” mesti ada aktualisasi fadilah dan kemanfaatan. Coba bangkitkan ingatan kita akan laut. Lantunan riak, ombak hingga gelombangnya terjadi sepanjang waktu. Tanpa gerak dan suara ombak, laut akan batal menyandang namamya.
Di Ahad Kliwon hitungan ke 20 bulan Rojab ini, mari kita perbincangkan segala pernik tentang dan bagaimana bisa menjadi manusia yang Nyegara. Bersama sisa purnama yang semoga mendung tak menjadi tabir bagi sinarnya, kita gembirakan majelis keilmuan dalam upaya menuju cahaya.