Nungguin Anak-Istri di Gua Lockdown


Ada semacam rasa takjub ketika mendapati artikel Mbah Nun berjudul “Lockdown 309 Tahun”. Seketika saya membayangkan anak-anak muda Ashabul Kahfi yang harus melewatkan 309 tahun social distancing dengan tidur panjang. Atau tepatnya, ditidurkan dalam waktu sangat panjang. Mereka tidak menghendaki berjarak, namun mendapat fasilitas dari Tuhan untuk berjarak — dari segala ancaman. Mereka ditidurkan sehingga terjaga dari penderitaan, setidaknya ketidaknyamanan.
Tetapi kita bukan pemuda-pemuda Ashabul Kahfi. Bahkan untuk menjadi Qithmir, anjing setia penjaga mereka, kita belum layak. Maka mau tak mau, kita, atau tepatnya saya, harus melalui suasana mendekati lockdown karena serangan coronavirus dengan social distancing yang tidak nyaman. Ada kekhawatiran, ada prasangka dan kecurigaan. Ada rasa takut dan keterbatasan-keterbatasan. Ada juga kecengengan-kecengengan yang sebenarnya tidak esensial, misalnya hidup tanpa tontonan sepakbola di layar TV ternyata terasa hambar. Badminton juga terhenti, NBA entah kapan dapat diteruskan. Belum lagi potensi kegagalan pertarungan Khabib Nurmagomedov lawan Tony Ferguson — padahal sudah berbulan-bulan menunggunya.
Maka seminggu terakhir ini, di dalam gua lockdown, dengan mengingat pesan Mbah Nun atas sebaris kalimat Allah “Ana ‘inda dhonni ‘abdi bii” (Aku bersemayam di dalam prasangka hamba-Ku atas-Ku), saya niati untuk melakukan hal-hal esensial yang selama ini terlewatkan. Saya percaya sebaran Coronavirus adalah soft mechanism dari Allah untuk menata ulang manusia dan sistem bermasyarakatnya. Soft, karena Allah tidak menggunakan amukan pasukan ababil. Allah pun tidak membiarkan sesar-sesar di kerak bumi, dan magma, meluapkan energinya. Allah juga tidak — atau belum — mengizinkan nuklir-nuklir beradu. Cukup dengan virus yang sedemikian nano kecilnya.
Dan hal esensial pertama yang saya lakukan untuk mendukung mekanisme penataan Allah adalah nungguin anak dan mamanya dari bangun tidur sampai tidur lagi!
Ini serius. Nungguin anak dan istri. Menjaga keluarga.
Dalam Kenduri Cinta bulan Februari 2020 dengan tema Afdhaliyah Maiyah disepakati bahwa yang afdhal atau utama dalam kehidupan adalah keluarga. Keluarga adalah inti peradaban. Tema ini berlanjut dalam Kenduri Cinta bulan Maret 2020 yang bertajuk Keluarga Mutahabbin. Bahwa keluarga bukan sekadar kesatuan sosial, melainkan, lebih mendasar, adalah nilai-nilai. Nilai-nilai kekeluargaan merupakan muatan sekaligus perekat kohesi antar personal dalam setiap level struktur masyarakat.
Mbah Nun ketika merefleksikan lirik lagu “Mimpi Paling Nyata” menekankan bahwa hanya keluarga yang bisa saling menguatkan dan saling memaafkan. Hanya keluarga. Sehingga bila nilai-nilai kekeluargaan mewujud dalam lingkup organisasi, perusahaan, apalagi dalam struktur penyelenggaraan negara, betapa kokoh konstruksi sosial yang dapat terbangun.
Maka saya memaknai pandemi ini sebagai alarm pengingat. Allah menciptakan momentum efek kejut untuk melihat sejauh mana nilai-nilai kekeluargaan inheren dalam mekanisme sosial masyarakat. Apakah kuat atau lemah? Apakah solid atau tercerai-berai? Dan yang bisa saya lakukan sebagai orang kebanyakan serta tidak memiliki otoritas kebijakan apa-apa adalah nungguin anak dan istri. Menjaga keluarga di rumah saja.
Kemudian muncul gugatan. Bukankah tidak semua orang bisa beruntung enak-enakan “ndekem” terus di rumah? Banyak yang harus tetap “obah” agar bisa “mamah”! Mereka pekerja-pekerja harian. Mereka pekerja-pekerja informal. Mereka pekerja-pekerja dengan kontrak langsung dari Allah – tanpa perantara institusi atau perusahaan. Bagaimana mereka bisa menjaga keluarganya bila tak mendapat nafkah?
Saya tidak tahu apakah jawaban saya berikut ini benar. Tetapi mungkin di sinilah fungsi negara. Di sinilah peran pemerintah sebagai pemegang mandat dari rakyat untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara. Mbah Nun sering menganalogikan hubungan antara pemerintah dan rakyatnya dalam konstruksi keluarga. Bahwa pemerintah adalah suami dari rakyat. Tugas utama suami adalah memastikan anggota keluarganya selamat, tercukupi sandang, pangan, dan papan. Apalagi dalam situasi penuh kegentingan. Apalagi dalam kepungan “pagebluk”. Ketika ruang gerak rakyat terpaksa dibatasi, dan roda perekonomian tidak dapat berputar secara normal, pemerintah sebagai suami sekaligus kepala keluarga harus mengambil alih seluruh tanggung jawab. Memang tak mudah. Ongkosnya pun luar biasa besar.
Tetapi konon, negara-negara di tanah seberang telah ada yang mempraktikkan. Dan berhasil setidaknya mencegah kerusakan yang lebih fatal.
Ah, saya harus berhenti melanjutkan tulisan ini. Istri saya sudah memberi kode untuk segera menyiapkan susu anak saya. Sebelum bidadari kecil itu terbangun, sebotol susu sudah harus tersedia di dekatnya tidur.