Nostalgia Masa Corona
Di sela-sela perbincangan keluarga, tiba-tiba anak saya nyeletuk, “Pak, kapan ada gempa besar lagi ya?”. Spontan semua yang ada di lingkar perbincangan menegur, “Hus, jangan ngomong gitu”.
Yang dimaksud oleh anak saya dengan gempa besar adalah sebagaimana peristiwa yang pernah ia alami pada penghujung bulan Mei 2006. Gempa berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang wilayah Yogyakarta kala itu. Gedung-gedung besar roboh, rumah-rumah warga rusak parah, bangunan-bangunan obyek wisata dan pusat-pusat kegiatan warga ambruk. Ratusan bahkan ribuan korban jiwa dan luka tertimbun puing-puing reruntuhan. Untuk beberapa saat kehidupan masyarakat Yogyakarta lumpuh. Perdagangan di pasar-pasar berhenti, kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah berhenti, juga aktifitas produksi di pabrik-pabrik dan perkantoran berhenti. Pendidikan, hiburan, olah-raga, pariwisata, bisnis dan perdagangan, semua lockdown sesaat.
Saya yakin, tentu bukan kesedihan dan penderitaan itu yang dikangeni anak saya. Ada yang lain.
“Waktu itu enak banget. Kita kumpul bareng, tidur ramean di dalam tenda. Masak bareng, makan bareng, main bareng, pokoknya seru. Asyik”. Anak saya kembali melanjutkan ungkapan kerinduannya pada peristiwa itu.
Benar apa yang disampaikan anak saya. Diam-diam saya dan mungkin juga kami yang berada di perbincangan malam itu memutar kembali memori belasan tahun lalu dan merindu. Nostalgia gempa Yogyakarta. Warga bergotong-royong mendirikan tenda di lapangan desa sebagai tempat hunian sementara. Sanak, kerabat, saudara dan sahabat dari daerah tak terdampak berdatangan menjenguk. Mereka datang untuk membawakan berbagai macam kebutuhan sehari-hari mulai dari bahan pangan, pakaian, juga obat-obatan. Kebersamaan yang indah.
Ibu-ibu dan pemudi sibuk di dapur umum, masak seadanya. Sementara bapak-bapak dan pemuda bahu-membahu membersihkan puing-puing perkampungan yang poranda. Saat jam istirahat semua berhenti, makan bareng. Makan seadanya. Malam harinya diwarnai dengan obrolan-obrolan ringan dan cerita-cerita yang menggembirakan. Kehangatan yang indah.
Begitulah, berhari-hari warga hidup bersama di barak hunian sementara. Segala aktivitas disengkuyung bersama, segala penderitaan dirasakan bersama, segala kebahagiaan pun dinikmati bersama. Yang tua yang muda, yang kaya yang miskin, yang berpendidikan yang tak sekolah, guyup rukun kompak menghadapi musibah. Agaknya untuk beberapa saat mereka pun melupakan permusuhan yang pernah ada sebelumnya. Kekeluargaan yang indah.
Tentu bukan berarti warga tidak merasakan penderitaan atau tidak merasakan kesedihan dan kepedihan yang mendalam karena kehilangan harta benda bahkan anggota keluarga, tetapi besarnya energi gotong-royong, kebersamaan, kekeluargaan, persaudaraan sanggup menggulungnya. Sehingga, masing-masing individu tidak merasa sendiri tertimpa musibah. Masing-masing keluarga tidak merasa sendiri menyangga beban hidup yang berat. Karena ada tetangga, ada kerabat, ada teman, ada sahabat yang sedia menjadi saudara. Saudara yang bersama-sama menukar derita menjadi bahagia. Guyub rukun saiyeg saeka praya.
Gempa bumi yang oleh masyarakat modern disebut sebagai bencana alam sesungguhnya merupakan kerja bumi untuk menjaga keseimbangan lembar demi lembar lapisannya. Lempeng bumi bergerak mengikuti perintah Tuhan agar alam tetap selaras lestari. Bahwa peristiwa alam membawa dampak goncangan kehidupan manusia di berbagai bidang itu merupakan tugas manusia sebagai khalifah untuk memulihkan kembali dan menjaga keseimbangannya. Pada pembahasan lain, musibah alam itu sendiri sesungguhnya bentuk respons alam atas ketidakselarasan perilaku manusia.
Kini, pandemi Corona melanda umat manusia se-dunia tak terkecuali masyarakat Indonesia. Berbulan-bulan lamanya aktivitas warga terganggu bahkan terhenti. Pendidikan, perdagangan, pariwisata, hiburan semua terganggu. Akankah peritiwa ini menjadi cerita bahagia. Akankah musibah ini menjadi kisah indah kebersamaan, cerita gembira hangatnya kekeluargaan dan bahagianya persaudaraan.
Akankah belasan tahun kelak, kita atau anak cucu kita dalam perbincangan keluarga bertanya, “Pak, kapan Corona datang lagi?”. Akankah kelak beberapa puluh tahun mendatang akan ada tulisan berjudul Nostalgia Indahnya Masa Corona.