“Ngasak”, Kitab Kuning dan Buku Putih
Jenis estetika qira’ah Syekh Mahmud Al-Khusyairi itu semacam Kitab Kuningnya dunia ngaji Qur’an yang berlagu. Itu khasanah klasik, jauh sebelum muncul kehebatan Qira’ah para Qurra’ seperti era Abdul Aziz Muslim Pekalongan, era Nur Asyiah Jamil Kalimantan, era Muhammadong dan memuncak pada Muammar ZA hingga hari ini.
Tetapi hal Kitab Kuning yang benar-benar, yang sesungguhnya, yakni kepustakaan klasik ilmu-ilmu Islam – saya awam. Benar-benar awam. Di Gontor hanya sejenak sebelum diusir, tidak sempat menyentuh Kitab Kuning, yang ternyata tak akan pernah pula saya menyentuhnya meskipun saya lanjut sampai tamat Gontor. Karena tidak dikurikulumkan. Pondok Gontor adalah Pondok Modern, berdasarkan visi atau madzhab ilmu Kiai Trimurti.
Oleh karena itu saya sama sekali tidak punya landasan ilmu dan tidak punya kelayakan untuk dianggap ustadz, disebut kiai, apalagi ulama Islam. Jangankan lagi Imam Besar Kaum Muslimin Indonesia. Saya pernah menyebut sejauh-jauh pengetahuan saya dan setinggi-tinggi ilmu Islam saya, levelnya hanya “ngasak”. Ngasak adalah memunguti sisa-sisa buah padi yang tercecer di belakang para pemanen padi. Kalau secara umum pengasak adalah semacam pemulung. Bersama Maiyah pekerjaan saya memang hanyalah “memungut yang dibuang orang”, “mengingat yang dilupakan orang”, “menghidupkan yang dimatikan orang”, “menjunjung yang direndahkan orang” di zaman Jahiliyah Modern dewasa ini.
Yang saya ungkapkan ini bukan kerendahan hati. Bukan saya sedang menjadi “semakin berisi padi semakin menunduk”. Seri Tulisan “Kebon” ini adalah semacam Buku Putih proses sejarah kreativitas sejak Dipowinatan, Kadipaten, Patangpuluhan, Kasihan hingga Kadipiro. Dengan sejumlah flashback Gontor dan Menturo. Saya menuliskan “pemutihan” dari banyak salah paham kepada saya, Dipowinatan, Dinasti maupun KiaiKanjeng. Di tulisan ini saya tegaskan, alias saya putihkan: bahwa memang fakta aslinya saya tidak cukup terpelajar hal ilmu-ilmu Islam. Itulah sebab di banyak Maiyahan saya “ngebon” KH Ahmad Muzzammil, yang sangat terpelajar hal-hal Kitab Kuning dan keilmuan modern Islam — agar yang muncul di publik Maiyah tidak hanya hasil “ngasak” tapi juga benar-benar hasil panen.
Kalau ibarat truk, bak truk saya mungkin besar dan luas, tetapi yang tidak administratif. Saya punya kelemahan serius: sangat mengalami kesulitan untuk menghapalkan. Apa itu ayat, hadist, atau mahfudlat atau apapun lainnya. Untung ketika SD dan Gontor dulu tidak ada pelajaran dan ujian hapalan. Maka hadirnya Kiai Muzzammil adalah manfaat besar dan jasa nyata kepada sejarah pembelajaran Maiyah. Kiai Muzzammil berguru di Situbondo kepada murid langsung Mbah KH Hasyim Asy’ari, dan lahirnya di “barakna haulahu” aura wilayah Syaikhona Khalil Bangkalan, kiai besar, guru bangsa, Waliyyullah yang dahsyat. Sehingga tatkala akan mendirikan Pesantren di Bantul selatan, Kiai Muzzammil mengambil tanah dari wilayah Syaikhona Khalil kemudian dinikahkan dengan tanah di tempat mau bikin pesantren itu.
Sementara saya hanyalah seorang tukang ngasak dari Menturo, Jombang Timur. Kebanyakan orang tidak memperhatikan bahwa Jombang adalah kota pesantren, tapi faktanya wilayah yang ada pesantrennya kebanyakan adalah daerah selatan dan barat. Saya lahir di Jombang Timur. Tidak ada pesantrennya. Maka anak-anak yang lahir di mitologi Kik Ronopati, desa tempat hotel tinggalnya Ratu Cempa zaman Majapahit dulu hanyalah anak-anak ngasak.
Pada kondisi di mana sebaiknya saya masuk bergabung ke Negeri Kitab Kuning, Ayah saya tidak mengirim saya ke Pesantren Tebuireng, Lirboyo, Asembagus atau setidaknya Darul ‘Ulum Peterongan yang dekat desa saya. Malah Ayah saya mengirim ke Gontor, yang sama sekali tidak berwarna kuning.
Itu pun belum khatam kelas 3, saya mencikalbakali demonstrasi melawan Keamanan, sehingga diwajibkan “angkat koper gulung tikar” alias dijebrat dari pondok. Pilihan satu-satunya bagi saya ketika itu adalah meneruskan ngasak. Namun ternyata itulah momentum persemaian, di mana takdir Allah menaman dan menyirami masa depan saya seperti sekarang ini. Andaikan saya tidak diusir dari Gontor, mungkin saya akan terpilih untuk melanjutkan studi di Al-Azhar University, Cairo, Mesir. Di sana saya akan punya yunior yang namanya Nursamad Kamba, Ustadz Abdus Shamad, Guru Bajang Zainul Majdi dll. Dan kelak disambut besar-besaran di Gontor kepulangan saya, kemudian segera dipengantinkan dengan putri Pak Sahal atau Pak Zar. Kalau jejak saya di situ, saya tidak bisa menemukan di mana pintu gerbang Maiyah akan dihidayahkan oleh Allah Swt.
Ketika semua santri yang berkumpul di BPPM Gontor mengayubagya kedatangan saya, pasti saya akan ingin tahu siapa yang bertugas qira’ah mengawali acara penyambutan. Sebab ketika Ustadz Dr. Imam Subakir pulang dari Mesir, dan kami semua dikumpulkan di BPPK, saya yang bertugas membaca Al-Qur’an. Saya berdiri di podium pojok kanan panggung. Pak Sahal dan Pak Zar duduk di meuble tengah bagian depan panggung. Setiap kali saya “menyentak” dalam qira’ah saya, tak sengaja mata saya melirik ke kiri, mungkin itu didorong oleh rasa bangga atau riya’: Apakah wajah Pak Sahal dan Pak Zar tampak kagum atau tidak kepada suara saya. Dan saya tidak mendapat jawaban yang pasti dari ekspresi wajah beliau berdua sampai akhir pembacaan saya. Saya tidak jadi bangga, karena tidak menemukan indikator faktanya.
Itulah masa silam saya sebagai Qari’, yang selama ada lomba di Pondok atau kecamatan Mlarak yang Gontor termasuk di situ, saya tidak pernah tidak Juara-1. Dan ternyata masa silam saya sebagai Qari’ itu tak ada masa depannya sama sekali. Karena dari Gontor saya dikirim ke Yogya. Tak menunggu lama lantas saya “mondok” begadang di Malioboro setiap malam selama lima (5) tahun penuh. Suara saya rusak oleh angin malam. Rhoma Irama baru 15-an tahun kemudian membikin lagu “Begadang”. Sangat terlambat untuk keperluan saya. Sampai-sampai saya nyeletuk: “Wak Haji mestinya belajar weruh sakdurunge winarah”.