CakNun.com

Ngalap Berkah dari Mbah Nun Melalui Nama Bayi

Redaksi
Waktu baca ± 8 menit

Rekam jejak Cak Nun sebagai “pekerja sosial” berlangsung sejak 70-an. Di antara pekerjaan sosial yang dilakoninya di ranah akar rumput, diminta memberi nama anak adalah salah satunya.

Memberi nama kepada bayi adalah hak seorang Ayah. Ketika istrinya melahirkan bayi, merupakan kebahagiaan yang tidak terkira. Ada pasangan suami-istri yang tidak perlu menunggu lama untuk menantikan lahirnya bayi buah hati, ada juga yang harus menunggu bertahun-tahun hingga akhirnya Allah memberi kepercayaan kepada mereka untuk mengasuh bayi.

Bagi masyarakat kita, memberi nama bayi itu tidak sembarangan. Dalam tradisi dan budaya yang ada di Indonesia, di beberapa daerah ada budaya menyematkan marga pada deret nama yang akan diberikan kepada bayi yang baru lahir. Atau biasanya, mengambil salah satu bagian dari nama Ayah untuk menjadi penanda nasab bagi anaknya. Tapi ada juga yang tidak menggunakan kedua tradisi tersebut, tidak menyematkan marga dari suku juga tidak menggunakan salah satu bagian kata dari nama Ayahnya.

Ada nama yang memang sudah disiapkan oleh sang Ayah ketika bayi masih berada di dalam kandungan istrinya. Ada nama yang juga disiapkan setelah berdiskusi dengan keluarga besar dari masing-masing pihak suami dan istri. Pada beberapa keluarga di Indonesia menganut tradisi seperti ini. Kompleks memang. Karena nama untuk seorang bayi memang tidak sembarangan, nama tersebut akan disematkan seumur hidup. Nama adalah segala doa. Ia hal terbaik yang disematkan kepada manusia supaya jejak langkah kehidupannya segendang dan sepenarian dengan harapan yang dikandung sang pemilik nama. Di balik nama, selain bermakna penanda, juga tersurat piweling—sebuah nasihat, pesan, ataupun amanat agar senatiasa eling lan waspada.

Dalam tradisi dan budaya orang Indonesia, jika tidak melalui hasil rembug keluarga besar, maka biasanya nama bayi akan dimintakan kepada seseorang yang dipandang sebagai tokoh sesepuh di masyarakat. Entah itu Kyai, Tokoh Tetua Adat, hingga seorang Kepala Dusun. Bagi masyarakat di pedesaan, tradisi ini masih terjaga hingga hari ini.

Tentu tidak sembarangan bagi orang tua yang memintakan nama bayinya yang baru lahir kepada Mbah Nun. Bagi mereka, Mbah Nun adalah sosok yang ditakdzimi, sehingga layak untuk dimintakan rekomendasi nama. Secara hubungan biologis, Mbah Nun bukanlah kakek genealogis bagi bayi-bayi mereka. Tetapi Mbah Nun dipercaya oleh mereka untuk memberikan nama kepada bayinya. Apalagi kalau bukan karena peristiwa takdzim, kepercayaan total yang kemudian dibalas kasih sayang oleh Mbah Nun yang terwujud dalam doa dalam nama yang diberikan? Bukankah ini peristiwa yang sangat romantik?

Dari nama-nama yang terdokumentasikan, Mbah Nun tidak hanya menggunakan 1 bahasa. Tercatata ada bahasa Jawa, Arab, Swahili, Sansakerta, Ibrani, Kawi, Persia hingga Turki. Bagi kami redaksi yang mencatat nama-nama yang terdokumentasikan itu, selalu berdecak kagum atas keindahan setiap kata yang disusun oleh Mbah Nun dalam nama-nama bayi itu. Benar-benar Mbah Nun mempertimbangkan banyak hal.

Bagi teman-teman yang pernah memintakan nama kepada Mbah Nun melalui tim redaksi caknun.com beberapa tahun ini pasti dimintai data lengkap. Mulai dari nama Ayah dan Ibu sang bayi, tanggal lahir, jam lahir, kota kelahiran sampai foto bayi. Data-data itu bukan sekadar data yang dimintakan, tetapi memang Mbah Nun mempertimbangkan data-data itu hingga akhirnya menemukan susunan kata yang tepat untuk memberikan nama bayi.

Para orang tua yang begitu bahagia setelah menantikan kelahiran sang buah hati, semakin lengkap kebahagiaan mereka setelah diberi nama bayinya oleh Mbah Nun. Tentu bukan hanya kebahagiaan dari Ayah dan Ibu sang bayi saja. Tetapi juga Kakek dan Nenek dari sang bayi, yang tentu saja mereka juga sepenuhnya percaya kepada Mbah Nun bahwa nama yang diberikan oleh Mbah Nun adalah nama yang penuh keberkahan bagi sang bayi.

Begitu sabar Mbah Nun melayani permintaan nama-nama bayi. Ada saja permintaan-permintaan yang muncul, misalkan, ada yang meminta nama depan dari bahasa Jawa, kemudian nama tengah dari bahasa Sansakerta, dan nama akhir dari bahasa Arab. Bisa dibayangkan, dengan data-data yang dikirimkan oleh orang tua bayi, kemudian dengan juga tambahan beberapa permintaan, di tengah kesibukan Mbah Nun menyusun kata-kata untuk nama bayi. Dan respons dari Mbah Nun juga beragam jangka waktu durasinya, ada yang begitu diminta, Mbah Nun langsung memberikan nama bayinya, ada yang menunggu 2-3 jam, ada yang juga harus menunggu beberapa hari. Bisa kita pastikan bahwa Mbah Nun sangat serius dalam melayani permintaan teman-teman mengenai nama bayi ini.

Belum lagi ada yang meminta revisi nama setelah beberapa tahun anaknya tumbuh dan berkembang. Ketika bayi, anak tersebut diberi nama oleh kedua orang tuanya, namun ada peristiwa yang mungkin membuat kedua orang tuanya berinisiatif untuk mengganti nama anaknya. Biasanya, ada kasus dimana anaknya sering rewel, sering menangis di malam hari tanpa sebab yang jelas, atau sering sakit.

Dalam istilah jawa, kita sering mendengar istilah Kabotan Jeneng, mungkin demikian kasus yang dialami mereka, sehingga kemudian meminta nama baru kepada Mbah Nun. Dan ternyata, nama baru yang diberikan oleh Mbah Nun kompatibel alias berjodoh dengan anaknya. Yang sebelumnya rewel, menjadi lebih tenang jiwanya, sudah tidak sering menangis malam-malam tanpa sebab. Yang sebelumnya sakit-sakitan, kini menjadi lebih sehat.

Menarik jika kita membaca nama-nama yang disusun oleh Mbah Nun. Ada proses intuitif dalam perumusan nama, meski asal kata yang didapatkan dari aneka bahasa kuna di dunia, dominan di sana. Mengapa seni penamaan, bukan ilmu penamaan? Mbah Nun sendiri menyebut seni merupakan “hubungan cinta”.

Hubungan cinta dalam penyusunan nama-nama yang dilakukan oleh Mbah Nun adalah peristiwa yang sangat intim. Mbah Nun seperti benar-benar menyusun nama untuk anak beliau sendiri. Ada sentuhan kasih sayang yang dipadukan dengan doa di dalam nama yang disusun. Mari kita simak beberapa corak nama pemberian dari Mbah Nun.

Pertama, Azmi Gamba Abiwada putra dari pasangan Ahmad Adhim dan Mustahliyatul Hakimah ini lahir 3 Desember 2016. Nama ini diambil dari tiga bahasa: Arab, Jawa, dan Swahili. Makna di balik nama itu menurut Mbah Nun adalah “teguh pendiriannya sehingga mendapat penghargaan seperti pahlawan”. Kita bisa menebak kata nama yang dari bahasa Arab, Jawa, ataupun Swahili.

Nama punya daya performatif. Teguh pendirian ini sama artinya dengan sikap konsisten. Bila diposisikan sebagai kata kerja, ia berarti “berteguh” atau “bersiteguh” yang berperangai terhadap ketetapan maupun berpegang (pada) pendapat. Kalau dilakoni secara istiqamah, maka akan diapresiasi. Efeknya mendapatkan penghargaan seperti pahlawan. Huruf vokal pada tiap nama [i], [a], dan [a] di nama itu meninggalkan kesan rima tersendiri. Efek ini menciptakan suasana estetis.

Kedua, Danendra Tirtalayana. Nama ini gabungan antara bahasa Kawi dan Sanskerta. Danendra berarti sejahtera, Tirta air, dan Layana bermakna terus mengalir. Mbah Nun menyebut anak ini lahir pada Kamis Kliwon sehingga berwatak Geni. Agar seimbang, maka dikasih nama yang beranasir air. Apa yang mengalir? Mbah Nun menyebut amal jariyahnya.

Hubungan berdasarkan kesifatan ini acap kali dipakai untuk menggambarkan dua hal yang serupa. Putra presiden pertama kita, Soekarno, menamai anaknya “Guruh” dan “Guntur” yang diambilkan dari amsal “suara menggelegar” di langit. Bung Besar memang gemar hal-hal besar, bahkan pidatonya kerap kali meledak, mendentum, serta mendesing di telinga audiens.

Sama seperti “tirta” yang tiada lain merupakan air, nama Tirtalayana pemberian Mbah Nun ini mengindikasikan asosiasi tertentu. Ia menenangkan, meneduhkan, menenteramkan, menyejukkan. Daya asosiatif ini juga kita temukan pada nama contoh ketiga, yakni Ayya Sophia Abida Nahwarrahmi. Kita sontak segera tahu dari mana asal kata Sophia ini. Nama sebuah bangunan bersejarah di Turki yang dahulu gereja dan pernah menjadi museum. Belakangan kini difungsikan kembali sebagai masjid.

Kawasan Timur Tengah memang menarik atensi Mbah Nun. Terlebih bahasa-bahasa arkais muncul di sana. Termasuk bahasa Semitik yang merupakan rumpun bahasa Afro-Asia. Bahasa Semitik atau bahasa Ibrani inilah yang juga dipakai Mbah Nun untuk merekomendasikan sebuah nama. Sebagai contoh keempat, Warih Eleazar Nareswara. Nama ini gabungan tiga bahasa. Nama tengah jelas dari bahasa Ibrani. Ia berarti “hidupnya penuh kebeningan seperti dipekerjakan langsung oleh Tuhan”.

Bahasa kaum Yahudi ini sama tuanya dengan bahasa Arab. Pun dengan bahasa Persia atau Parsi. Walaupun rumpunnya bukan dari Afro-Asia, melainkan Indo-Eropa. Secara genealogis bahasa Persia tergolong cabang bahasa Indo-Arya yang melewati tiga tahap: kuna, pertengahan, dan modern. Penutur bahasa ini dari kawasan Iran, Tajikistan, Afghanistan, dan Uzbekistan.

Entah dari mana Mbah Nun memiliki referensi nama bahasa Persia. Kita bisa menengok nama pemberian Mbah Nun lainnya: Abiyakta Nafid Almujtaba. Contoh kelima nama ini mempunyai makna “senang berjuang untuk kemajuan dan terpilih untuk mendapat kabar baik”. Saat menyodorkan nama, ia memberikan opsi. Boleh pakai penulisan Abiyakta atau Abiyakto. Kita segera tahu dari mana sumber bahasa kata pertama tersebut. Jawa.

Pada beberapa kasus, Mbah Nun juga kerap memberi opsi kepada orang tua yang meminta nama. Beberapa waktu lalu misalnya, ada pasangan suami-istri yang meminta nama tengah untuk bayinya kepada Mbah Nun. Mereka sudah menyiapkan nama awal dan akhir. Mbah Nun kemudian memberikan beberapa pilihan; HANUNA , HANANA, ATHIFA, UTHFA, SYAFIQA, TAHABBABA, HIWAYA, atau HAWIYA. Semua kata-kata tersebut memiliki arti yang sama: penuh kasih sayang. Pada akhirnya, pasangan suami istri tersebut memilih; HANUNA untuk melengkapi nama bayinya menjadi CAMELLA HANUNA OESMAN.

Permintaan satu nama kata itu tidak selalu untuk nama tengah. Ada juga yang meminta untuk nama depan atau nama akhir. Ada-ada saja memang permintaan para orang tua ini kepada Mbah Nun.

Apakah nama-nama yang dipilih Mbah Nun hanya dari bahasa Timur? Ternyata tidak. Kita bisa melacak dari contoh nama keenam berikutnya: Sanny Saniyya Adwitya. Kata Sanny diadaptasikan dari bahasa Inggris: Sunny. Mengapa bukan Nur? Bukankah ia juga bermakna cahaya? Mengapa Sunny yang cahayanya memancar dari matahari atau sun?

Sunny sendiri dilafalkan \ˈsə-nē\ (Merriam-Webster). Pada lidah kita ia dibaca Sanny. Kami mengamati nama Sanny Saniyya Adwitya yang tiap kata di situ dari bahasa Inggris, Arab, dan Sansekerta, akan lebih enak memang jika pakai huruf [S]anny. Semata-mata ini karena pertimbangan rasa pengucapan. Penggalannya bisa begini: Sa, Sa, dan A. Selain enak dibaca(kan), makna tersiratnya tegas: hidupnya dilapisi cahaya-cahaya, tak ada duanya.

Pernahkah Mbah Nun memberi nama untuk anak kembar? Mari kita lihat contoh ketujuh. Kembar laki-laki berikutnya bernama (a) Syafi Satyatma dan (b) Rafy Satmika. Pasangan Parjiman dan Yuli Lestari ini 20 Agustus 2018. Mereka minta kepada Mbah Nun melalui Mas Gandhie dengan permintaan nama yang bernuansakan Jawa. Praktis diberilah nama itu. Gabungan bahasa Arab dan Jawa. Syafi Satyatma bermakna “hidup dalam kemurnian jiwa dan ketulusan hati”, sedangkan Rafy Satmika berarti “tinggi derajatnya karena selalu menyatukan jiwa”.

Pada 19 Maret 2020 pasangan Nur Solikin dan Sita Listiyani Oktavia dikaruniai anak perempuan kembar. Keduanya diberikan nama oleh Mbah Nun; (a) Aristya Hamayatillah dan (b) Diyatmika Inayatillah. Sama seperti anak kembar sebelumnya, kedua nama ini diambilkan dari unsur Jawa dan Arab. Yang pertama berarti “perempuan lemah lembut dilindungi Allah” dan yang kedua bermakna “hatinya mulia, dipayungi perlindungan Allah”.

Jamaah Maiyah yang meminta nama anak khusus kepada Mbah Nun, sebagian kecilnya mengusulkan satu kata tertentu. Seperti pasangan Bayu Sugara Cipta Nainggolan dan Joice Nurvita Agustine. Mereka mengirim pesan kepada Mas Gandhie, “Jika Cak Nun berkenan dan mengizinkan, saya sangat ingin pada nama anak saya nanti ada terkandung nama SABRANG, karena saya sangat menyukai arti dan makna dari kata tersebut, sebagaimana harapan dan doa untuk anak saya kelak.”

Akhirnya tersusunlah nama Raynor Sabrang Husamullah. Nama ini bermakna prajurit yang tangguh karena membawa pedang Allah. Mbah Nun menyodorkan alternatif, selain “Raynor” antara lain Rawikara (sinar matahari) dan Reswara (ulung atau unggul). Namun, mereka memilih Raynor, sebagaimana rekomendasi pertama oleh Mbah Nun.

Seperti tertulis sebelumnya, Mbah Nun juga beberapa kali diminta untuk memberi nama baru untuk mengganti nama yang lama. Orang tua dari Turki misalnya. Anaknya bernama Gurkhan. Meminta rekomendasi kepada Mbah Nun untuk mengganti nama anaknya yang masih sekolah di bangku sekolah dasar. Mbah Nun kemudian memberikan nama Radin Bisma Aji Ibrahim. Nama ini diambil dari bahasa Jawa.

Mbah Nun berharap anaknya itu mempunyai kesungguhan sikap hidup secara total. Dengan jiwa yang disucikan, Radin Bisma Aji Ibrahim diharapkan teranugerahi sikap wibawa seperti Nabi Ibrahim. Mbah Nun sengaja memilih nama Bisma yang terkenal di dalam epos pewayangan. Ia merupakan ksatria utama yang berperangai istiqamah. Sementara itu, Raden di situ bermakna sebuah panggilan bagi anak keturunan darah biru (aristokrat) dan Radin berarti anak yang dikuduskan.

Sangat mungkin terjadi, ketika dulu ia lahir, orang tuanya meminta nama kepada Mbah Nun untuknya, dan mungkin sekarang ia sudah berkeluarga yang juga kembali memintakan nama untuk anaknya kepada Mbah Nun. Beberapa data yang terlacak adalah, pasangan suami-istri yang memiliki lebih dari 1 anak, semuanya memintakan rekomendasi nama kepada Mbah Nun. Jika memang benar Mbah Nun sudah dimintai rekomendasi nama bayi sejak tahun 80-an, bisa jadi anak tersebut saat ini sudah berkeluarga dan sudah memiliki anak keturunan, yang juga bisa jadi ia meminta nama anaknya kepada Mbah Nun.

Nah, yang juga patut kita lacak informasinya adalah bagaimana testimoni dari para orang tua yang anaknya diberi nama oleh Mbah Nun. Bagaimana tumbuh kembangnya? Bagaimana perangai kepribadiannya hingga ia dewasa saat ini? Cerita-cerita tersebut tentu akan sangat bermanfaat jika bisa dibagikan kepada kita semua. Maka dari itu, redaksi caknun.com memberikan kesempatan kepada para orang tua untuk menceritakan hal tersebut melalui tulisan yang dikirimkan melalui surel redaksi@caknun.com.

Maka, bagi teman-teman Jamaah Maiyah yang pernah memintakan nama bayi kepada Mbah Nun, terutama sebelum tahun 2016, kami harap turut berpartisipasi untuk melengkapi database di redaksi caknun.com melalui link ini.

Selanjutnya dalam rubrik ini, setiap hari akan kami tayangkan 1 nama pemberian Cak Nun untuk tahadduts binni’mah.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik