New Normal Itu Bahasa Kekuasaan
“New Normal” adalah kategori kata ajektif yang dewasa ini diperlakukan sebagai norma yang dipaksakan. Maka ia adalah bahasa kekuasaan. Idiom yang lahir secara klaim, fetakompli oleh Lembaga kekuasaan.
Normal, sebagaimana enak, wajar, nyaman, nikmat, lahirnya dari empirisme sosial, kesepakatan budaya, atau oleh proses waktu. Anda sangat baik kalau memberi makanan atau minuman baru, tapi jangan bilang itu “enak baru”. Enak tidak enaknya adalah hak orang yang merasakannya, bukan klaim orang yang memberikannya.
Pemerintah Jawa Barat lebih dewasa dengan memakai PKB, penyesuaian kebiasaan baru. Kalau keterpaksaan baru diklaim oleh kekuasaan sebagai “new normal”, kasusnya mungkin karena masyarakat atau rakyat sudah sangat terbiasa untuk tidak memiliki daya tahan terhadap kekuasaan atas mereka. Tidak punya kritisisme, sudah biasa “nerima ing pandum”, tidak terdidik oleh tradisi kritisisme atas apapun yang menimpa mereka.
Andaikan penguasa memakai misalnya istilah “new habit”, kebiasaan baru, siapapun tidak bisa menolaknya karena memang ada keterdesakan keadaan terhadap kesehatan dan keselamatan mereka. Tetapi apakah itu normal atau tidak, masyarakatlah yang akan mengambil keputusan secara bertahap. Bahwa masyarakat harus menggunakan suatu jenis kebiasaan hidup baru, memang harus demikian, tetapi untuk disebut normal, itu bukan domain kekuasaan.
Normal atau tidak normal, posisinya sama dengan apakah sesuatu itu wajib, sunnah, halal, makruh atau haram – sebagaimana Tuhan menentukan, karena Ia punya hak asasi sebagai pencipta segala sesuatu, pelimpah rizki dan berbagai otoritas lainnya atas kehidupan manusia. Kalau Pemerintah mengharamkan atau menormalkan sesuatu, ia harus berposisi dan berlaku sebagaimana Tuhan. Kalau tidak, ia hanya menuhankan diri.
Kalau kita memang mau saling berlomba manuhankan diri, kita bisa bilang bahwa Pemerintah itu “abnormal”.