Narasi Cinta dan Airmata Bunda Cammana
Tidak ada saudara-saudara, keluarga, sahabat atau komunitas yang memahami kenapa Ummat Maiyah sedemikian merasa kehilangan yang sangat mendalam oleh dipanggilnya beliau ke surga Allah sore tadi pukul 15.55 WITA. Tidak ada yang bisa memaknai airmata kita.
Ada adagium “la ya’riful Waly illal Waly”. Tidak ada yang mengetahui apalagi mengerti Wali kecuali Wali. Tanpa rasa takabur atau riya` jenis apapun saja, idiom nuansa itu bisa juga berbunyi “la ya’riful Ma’iyah illal Ma’iyah”. Dan hari ini “la ya’riful buka`a illa manilladzi yabki ma’aha”. Tidak bisa merasakan tangis Jamaah Maiyah sekarang ini kecuali yang pernah menangis bersama airmata Bunda atau Mamak Cammana.
Tiga puluh tahun lebih saya mengenal beliau. Tiga puluh tahun silam lebih saya dibuang oleh Allah lewat udara dan air mata untuk “tercampak” di Limboro dan Tinambung, Polewali, Sulbar – yang dulu Polmas Sulsel. Kalau saya ke rumah Bunda Cammana, bersama anak-anak saya Teater Flamboyan Tinambung, atau beberapa kali dengan sejumlah aktivis Maiyah, Bunda bertemu kami hanya mengeskepresikan cinta berupa shalawat Nabi dan air mata. Bunda Cammana tidak mengungkapkan kata atau bahasa budaya apapun: hanya menangis, hanya berurai airmata.
Tetamuan di rumah beliau tidak bermuatan kata-kata, basa-basi, obrolan atau apapun. Beliau hanya menangis dan berurai airmata terus-menerus.
Bunda memeluk dan menabuh gendang sendiri. Beliau melantunkan shalawat yang kalimat maupun lagunya karya beliau sendiri. Anak-anak cucunya koor bersama mengikuti solo-vocalnya yang “kung”. Tenggorokan beliau seperti ada perlengkapan sound-system. Lemparan dahsyat suara beliau sendiri mengalahkan energi 30 anak-cucunya yang bersuara bersama-sama.
Bunda Cammana tidak hanya sangat kami hormati dan hargai. Jamaah Maiyah mencintai beliau sedemikian rupa. Nama Mamak Cammana tidak viral di bumi atau Indonesia. Indonesia, tidak kenal beliau, dan sama sekali tidak punya alat pemahaman apapun untuk memahami dan menghormati beliau. Sebagaimana Haji Jay atau Guru Zaini di Martapura, meskipun shalawat beliau dihadiri 200-an ribu orang setiap malam Senin, meskipun lantunan beliau adalah Shalawat Maulid terbaik dan terindah di dunia, Guru Zaini bukan pahlawan nasional Indonesia, bahkan juga secara resmi bukan pahlawan Kalimantan Selatan. Pahlawan Indonesia adalah Kapten Pierre Tendean ajudannya Jendral Nasution yang meninggal pada periatiwa G.30.S. Atau Adisucipto, Halim Perdanakusuma, pilot pesawat tempur, atau Aries dan Margono di Yogyakarta. Indonesia hanya punya mesin pemahaman dan ilmu yang sebatas itu saja. Indonesia, juga semua Negara di dunia, tidak mengenal sejarah kehidupan, asal-usul penciptaan, rentang dari Nur Muhammad hingga Muhammad Saw sampai Kiamat. Di perpustakaan Indonesia dan Dunia tidak ada catatan tentang “Alastu biRabbikum” atau “khalaqa Nabiyyaka Muhammad saw qablal asyya`”. Dan itulah bedanya tanah air Maiyah dengan tenah air Indonesia. Meskipun Indonesia punya Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi secara resmi Indonesia tidak mengakui eksistensi Malaikat, Jin, Nabi atau Wali.
Indonesia adalah bagian kecil dari Tanah Air Maiyah. Indonesia adalah sekumpulan anak-anak kecil yang disayang oleh Bunda Cammana, didoakan dan dimohonkan ampun kepada Allah swt.
Shallallahu Rabbuna ‘alan nuril mubin
Ahmadal Musthafa Sayyidil mursalin
Terdengarlah bisikan Malaikat di langit
Terkuaklah rahasia cinta Tuhannya
Waktupun terhenti ruang tinggal sunyi
Semua hamba terpana sujud dan berdoa
Iblis buta matanya Setan lumpuh kakinya
Para penipu daya akan pada saatnya tertipu daya
Para penganiaya akan tiba waktunya teraniaya
Itu karena keniscayaan “Maliki yaumid-din”, momentum berlangsungnya akibat dari sebab, yang bisa terjadi kapan saja, serta atas kasus, perilaku dan peristiwa apapun saja, bahkan tidak semata-mata dibatasi pada Hari Kiamat. Mana mungkin Indonesia memahamiya. Mana mungkin Indonesia berpikir bahwa udara, hujan, Covid-19, tsunami atau hembusan angin sehari-hari adalah bagian dari “Mursalin”.
Bunda, Mamak kami semua, seluruh waktu ini penuh sesak tak cukup untuk menuliskan hidupmu yang penuh cinta. Engkau adalah aplikasi dari Rahman Rahim dalam kehidupan manusia. Selamat kembali ke kampung halaman sejati. Kami anak-anak cucu-cucumu masih merantau di tempat yang semakin lama semakin kumuh, kotor, penuh kejahatan, memuakkan dan menjijikkan. Di Hadapan Allah dan si sisi kanan Kanjeng Nabi Muhammad saw, mohon sebut-sebutlah nama kami semua, kumpulan anak cucu Bunda di Negeri ini yang berhimpun dalam Lingkaran Maiyah.
Dari Kebun-kebun Maiyah ini, semoga kelak tiba saatnya Allah mengantarkan kami, menerima dengan mahabbah dan ridla-Nya – di mana menikmati kembali cinta dalam lantunan shalawat Bunda lagi di Sorga. Bunda Cammana adalah Bunda Muthmainnah. Bunda Cammana adalah Bunda Radliyah Mardliyah. “Ya ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’I ila Rabbiki radliyatan mardliyah. Fadkhuli fi ‘ibadi wadkhuli jannati”.
Yogyakarta, 7 September 2020