Mustika Corona
Di kalangan bangsa Jawa, semua tahu Semar. Semua mengenal Semar. Sekurang-kurangnya setiap orang pernah mendengar kata atau nama Semar, meskipun pemahaman terhadapnya silang sengkarut. Minimal Semar dikenal sebagai pengawal Raja dan rakyat. Profesinya Punakawan. Jamaah Maiyah rata-rata mengerti terminologi bahwa “Punakawan” adalah orang yang mengawal zaman dengan ilmu dan kebijaksanaan. Sedangkan “Panakawan” adalah orang yang mengatmosferi situasi sejarah dengan cinta dan kesetiaan.
Sebagian orang mendramatisir Semar sedemikian rupa. Sebagian lain malah membiaskannya dengan menganggap Semar adalah seorang pelawak. Lebih parah lagi: badut. Semacam clown di khazanah kebudayaan Barat. Bahkan sempat ada album lagu kanak-kanak yang menganggap Semar bersama Gareng, Petruk dan Bagong adalah simbol tokoh jahat yang buruk pengaruhnya pada perilaku generasi muda.
Begitulah memang kehidupan manusia. Demikianlah memang rupa-rupa pluralitas pandangan dan cara berpikir banyak orang. Ada yang tahu, mengerti dan sadar. Ada yang tahu sekadarnya. Ada yang sok tahu. Sabrang sering omong kepada saya bahwa ancaman virus kemanusiaan yang paling berbahaya adalah terlalu banyak manusia yang setengah-setengah tahu tapi merasa tahu. Orang setengah pintar lebih bahaya dibanding orang bodoh. “La yadri wa la yadri annahu la yadri, wa yatakallamu kaannahu yadri”. Orang yang tidak mengerti, tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti, ketika berbicara dan berkomunikasi ia merasa dirinya adalah orang yang mengerti.
Pada praktiknya itulah muatan utama komunikasi budaya antar manusia. Orang-orang berbantah “bila ‘ilmin”. Orang-orang berdebat tanpa ilmu. Orang-orang berlomba memenangkan pembenarannya masing-masing atas kebenarannya sendiri-sendiri. Masing-masing dan semua tidak berniat mencari kebenaran, karena justru keberangkatannya adalah nafsu pembenaran atas apa yang secara subjektif ia meyakininya sebagai kebenaran.
Dalam Bahasa publik Jawa, tradisi semacam itu merupakan isi utama kebiasaan “rerasanan”atau “ghibah”. Dan komunikasi online, media massa maupun yang disebut media sosial sekarang ini, adalah perluasan tanpa batas kebiasaan “rerasanan”itu.
Padahal Tuhan “sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah”. Tetapi kecenderungan utama manusia “perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dijulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir”. Tetapi manusia tetap saja malas berpikir, sambil melampiaskan nafsunya: ingin menjadi konglomerat kek, ingin jadi caleg kek, Bupati, Gubernur, Presiden.
Sampai-sampai ada yang menyebut “medsos” adalah “mèlsos” (mèlèt sosial) atau “ngapsos”(mangap sosial). Jadi kalau ada istilah mèlèt itu bukanlah karangan saya, melainkan idiom dari Tuhan sendiri. Itulah sebabnya saya menyukai ide “Shalawat Asyghil”: “wa asyghilid dhalimin bid dhalimin. Wa akhrijna min bainihim salimin, salimin”. Sibukkanlah kaum dhalimin dengan kaum dhalimin, keluarkan aku, merdekakan aku keluar dari kesibukan mereka itu dalam keadaan selamat.
Semetara itu ada semacam kepercayaan, anggapan, yang bisa rasional bisa klenik, tergantung cara pandang yang dipilih — bahwa asalkan ada Semar di suatu Negeri, maka seluruh rakyatnya terbebas dari wabah penyakit, pageblug, sebaran virus-virus atau apapun. Bisa karena “kepawangan” Semar itu sendiri, bisa karena ilmu dan kebijaksanaannya. Bima menaklukkan harimau dengan bertempur fisik dan mengalahkannya. Puntadewa dan Arjuna menaklukkan macan dengan ilmunya, mensiasati macan dan menjaringnya ke dalam tali kekuasaannya. Semar tidak perlu melakukan apapun. Asal ada Semar, si harimau menjadi tidak berbahaya, tidak menjadi ancaman.
Sampai-sampai Prabu Rama, Raja Puntadewa dan Prabu Duryudana, pimpinan tiga Kerajaan di zaman yang berbeda, melayang ke langit untuk memperebutkan Semar agar diperkenankan untuk diboyong ke Negerinya — tentu saja kalau sekarang konteksnya adalah untuk mengatasi wabah Coronavirus. Masalahnya sekarang: siapakah Kiai Semar itu di tanah air kita?
Cara berpikir ini dipakai oleh kalangan Search And Rescue Yogya yang meminta kepada seseorang untuk jangan pergi meninggalkan Yogya. Sebab kalau orang itu pergi dari Yogya atau tidak berkonsentrasi sebagai penduduk Yogya, maka biasanya Gunung Merapi batuk-batuk atau muntah asap dan menyebar wedus gembel. Tetapi masalah yang lebih utama di Indonesia adalah: dengan legalitas rasional dan kompatibilitas ilmu apa sehingga kita yang sedang didera Corona ini mesti mencari Panembahan Ismaya Lurah Karang Kedempel Semar Badranaya?
Kembali kepada cara pandang yang mana yang dipakai. Apakah virus Corona adalah peristiwa medis murni, ataukah ada sebab-akibat yang lebih luas. Para peneliti teori konspirasi melacak sampai ke fakta rekayasa di New Jersey dan Wuhan tentang Covid-19. Kaum religius meyakini ada hubungan antara sakitnya manusia dengan budaya dan perilaku manusia. Jamaah Maiyah mengamati apakah virus ini adzab atau hukuman, ataukah cobaan atau ujian, atau peringatan — itu menghasilkan reaksi dan respons serta solusi yang berbeda-beda.
Kiai Tohar (Toto Rahardjo, salah satu Marja’ Maiyah mengemukakan: “Sejak Virus Corona meledak di Wuhan selalu ada dua pendapat pemikiran yang berkembang. Banyak akhli terutama para ahli lingkungan yang selama ini tidak pernah didengar oleh aparatus globalisasi yang melontarkan bahwa virus Corona adalah virus yang lahir dari tabiat manusia yang suka merusak alam.”
“Sedangkan pikiran lain virus ini adalah merupakan hasil rekayasa manusia. Biasanya pikiran ini sejalan dengan analisis konspirasi yang digunakan. Kalau aku lebih percaya bahwa Covid-19 lahir karena tabiat manusia. Sedangkan herd immunity kalau ahli kesehatan pasti akan menjawab itu tak mungkin, tetap butuh teknologi. Kecuali kalau sistem kehidupan kita sehari-hari masih berlangsung secara komunal seperti minum jamu, mengkonsumsi rempah-rempah, empon-empon itu bisa menjadi ketahanan komunitas dari serangan virus”.
Walhasil, dari manapun asal-usul Coronavirus itu, pada akhirnya masing-masing orang kembali kepada aspirasi dan pola pikir masing-masing dalam mengambil keputusan.
Kalau Anda ketemu hantu, bentuk hantu itu bukan sebagaimana yang Anda lihat. Sebab yang mripatmu menyaksikan “hantu” itu sebenarnya adalah memori bentukan yang ada dalam sistem ingatan sejarah hidupmu. Dalam skala besar, Allah menginformasikan “Ana ‘inda dhanni ‘abdi bi”. Aku hadir berdasarkan persangkaanmu atas-Ku. Suatu malam Anda ketemu “Wewe Gombel”, perempuan jelek kumuh dengan pakaian compang-camping, sebenarnya bukan dia benar yang menemui, melainkan bahwa Anda sudah sejak bertahun-tahun menerima konsep dan gambaran tentang apa yang disebut “Wewe Gombel” berdasarkan wacana budaya yang Anda alami. Juga “Sundel Bolong”, perempuan cantik jelita tapi ternyata punggungnya berlubang dan melelehkan darah.
Demikian juga Semar. Separuhnya demikian juga Coronavirus. Semar hadir berdasarkan konsep-konsep yang sudah lama kau terima. Apa itu Coronavirus dalam konteks jasad, penyakit dan kesehatan — bisa berkonteks objektif. Tapi dari mana asal-usul Corona, untuk apa ia diterbitkan dan disebarkan — itu memancing ribuan subjektivitas atau cara-cara pandang berversi-versi.
Penyair Chairil Anwar berpuisi: “Bukan kematian benar menusuk kalbu, keridaanmu menerima segala tiba”. Di situlah letak kekaburan atau ambiguitas antara objektivisme dengan subjektivisme — manusia berdebat tak habis-habis soal itu maupun akibat-akibat sosial yang bersumber dari ambiguitas itu.
Juga tentang Semar objektif dan Semar subjektif. Semar sudah “dikarang”sejak zaman Sudamala Majapahit abad 14, tanpa ada sebelum di epic Ramayana atau Mahabharata India. Kemudian pujangga Sunan Kalijaga meraih konsep Semar itu, ia masukkan ke dalam Lab, ia kembangkan menjadi virus positif yang berlaku berabad-abad hingga hari ini.
Masyarakat yang sedikit mau belajar atau mendengarkan, mengenal bahwa Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa yang mana memiliki anugerah Mustika Manik Astagina atau delapan daya. Delapan daya itu adalah tidak pernah mengantuk, tidak pernah lapar, tak pernah jatuh cinta, tak pernah sedih, tak pernah capek, tak pernah sakit, tak pernah kepanasan, dan tak pernah kedinginan.
Di Negeri yang dikawal oleh Semar, membangun suatu sistem keamanan dan ketenterman hidup di segala aspek. Jamaah Maiyah secara serabutan sudah mengenal, menyaksikan dan mengalami Mustika Manik Astagina itu: tidak pernah mengantuk, tidak pernah lapar, tak pernah jatuh cinta, tak pernah sedih, tak pernah capek, tak pernah sakit, tak pernah kepanasan, dan tak pernah kedinginan”.
Tetapi Jamaah Maiyah berada di tengah-tengah suatu masyarakat nasional dan internasional yang peradabannya bersikap acuh tak acuh kepada Tuhan. “Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa Rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan itu balasan (adzab) atas olok-olokan mereka”.
Dunia modern selama ini berlangsung aman-aman saja, seolah-olah tidak ada hukum sebab-akibat dari Tuhan atas hubungan antara perilaku manusia dengan-Nya. Tuhan Maha Shabur, Maha Penyabar, tidak banyak menghukum sekurang ajar apapun ummat manusia kepada-Nya. Mayoritas manusia di dunia menuhankan yang bukan Allah, menuhankan makhluk yang punya jasad, punya wajah, punya darah-daging, bisa digambar dan dipatungkan, bahkan yang bisa disiksa dan dibunuh oleh kekuatan kuasa manusia.
Tuhan Maha Lapang Dada, meskipun Ia mengemukakan juga “Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka adzab yang menghinakan”.
Bahkan sampai sejauh dan selama ini Coronavirus memparanoidkan penduduk bumi, menghancurkan ekonomi mereka, menghapus seluruh bentuk interaksi dan komunikasi, tetap saja tidak ada wacana di media-media nasional dan dunia bahwa “Adzab yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan bahwasanya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya”.
“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa Rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (adzab) olok-olokan mereka”.
Dan mainstream kepemimpinan ummat manusia tetap saja memperolok-olokkan Allah, Nabi Muhammad, Islam dan semua karya-karya-Nya. Alhamdulillah, meskipun Jamaah Maiyah rata-rata tidak berkostum religius, tidak mengenal gamis dan surban, berpenampilan preman dan pekerja ojol atau kuli pasar — tetapi mereka adalah pejuang-pejuang tangguh untuk mempertahankan kedirian mereka sebagai Al-Mutahabbina Fillah. Bahkan Al-Muqorrobin. *****