CakNun.com

Multi-Madzhab Atas Covid-19

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Gambar oleh Alexandra_Koch dari Pixabay

Sejak awal dan selama berlangsungnya Pageblug sedunia, Tha’un Zalzalah (gonjang-ganjing) Corona atau Pandemi Covid-19, markas Maiyah menerima berbagai masukan dari kalangan Maiyah sendiri maupun dari luar.

Masukan itu terdiri dari dua rangka besar: 1- Bagaimana dan dengan alat apa bertahan dari Corona. 2- Bagaimana dan menggunakan bahan apa untuk melawan Corona.

Madzhab yang paling berlaku, mainstream dan wajib dijalankan oleh setiap warga adalah madzhab yang dianut oleh Pemerintah resmi, yang tidak menyertakan time-orientation atau perkiraan apalagi kepastian batas waktunya: sampai kapan perang ini berlangsung, apa tanda-tandanya bahwa manusia menang dan berakhir.

Ada masukan yang menunjukkan pendapat, hasil penelitian dan bahan-bahan yang diambil dari ribuan macam rempah-rempah, yang kemudian diyakini bisa membentengi manusia dari sebuah Corona.

Kemudian ada semacam sub-madzhab yang mengkritik madzhab yang dianut dan diterapkan Pemerintah. Baik cara pandangnya, pola penanganannya, alat-alat atau teknologi yang dipergunakannya. Dua bulan sesudah “uji fiqih” dari sub-madzhab ini digulirkan di markas Maiyah, Pemerintah membatalkan alat yang selama ini digunakan untuk mengidentifikasi positif-negatif keterpaparan Covid-19, dan akhirnya menarik kembali semua alat yang sudah beberapa bulan dipakai di seluruh pos-pos kesehatan Negeri ini.

Di area Maiyah terjadi lalu lalang, dialektika, pergesekan, pergulatan, terkadang perbenturan yang tanpa akhir antara bumi dengan langit, antara cara berpikir medis objektif materiil dengan kepercayaan terhadap laku taqwa dan tawakkal. Ada yang ekstrem yakin dengan perlindungan Allah, ada yang ekstrem ketat menerapkan Protokol Covid-19, ada yang bersikap di tengah-tengah, dengan sedikit geser ke kanan atau kiri.

Ada tamu dari Australia yang keluhannya lebih mendayu-dayu dibanding kebanyakan penduduk Indonesia. Mereka merasa hidup dalam penjara dengan masa hukuman tak terbatas. Kalau keluar rumah tidak pakai masker didenda sekian ratus Dolar. Pelanggaran-pelanggaran yang lebih parah bisa kena denda ribuan Dolar. Ia kemudian memilih tinggal di desa pertanian di sebuah pulau Nusantara dan merasa sangat nyaman dan aman.

Kemudian muncul madzhab lain yang advanced: Selama ini, katanya, kita disuruh bersembunyi (pakai masker), jaga jarak (kewedèn, ketakutan) dan di rumah saja (njepiping, Jawa). Pemerintah bilang kita harus melawan Corona, tapi praktiknya pasukan Pemerintah hanya menggunakan “peluru karet”. Kita harus berperang dan membunuh serta memusnahkan Corona. Maka ia membuat formula cairan untuk diminum dan satu lagi semacam disinfektan yang disemprotkan. Yang diminum membuat kerja oksigen lancar pada darah dan tubuh manusia. Yang disemportkan bukan formula kimiawi, sehingga bisa disemprotkan ke dalam mulut, ke pakaian, ke alat-alat makan. Bahkan bisa untuk memperkuat daya sex dengan penyemprotan ke alat vital. Bisa juga menumbuhkan rambut baru bagi siapa saja yang bergejala gundul atau botak. Intinya, produk ini bukan hanya mempertahankan manusia dari virus, tapi juga membunuh dan memusnahkan virus.

Tentu saja madzhab lain tidak berkenan. Produk ini dikecam: “Semprotkan Klinox ke wajah, janggal, jangankan ke wajah menyemprotkan disinfektan ke ke tubuh manusia saja jelas dilarang. Cairan disinfektan yang disemprotkan ke wajah/tubuh manusia untuk beberapa waktu dan berulang bisa terhirup dan menyebabkan kanker paru-paru”.
“Menyemprotkan disinfektan ke dalam mulut, lebih janggal lagi, karena bisa mengganggu/membunuh mikroorganisme komensal yang ada di rongga mulut dan tenggorokan yang sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan mulut kita, selain pasti ada disinfektan yang terhirup”.

Yang mana yang benar? Maiyah belajar kepada konsep “al’alamin”, bukan hanya “al’alam”. Ada multi alam. Maka menurut Kiai Muzammil, di “al’alamin” itu bisa termuat tak terbatas “ad-dhulumat”, tidak hanya satu “dhulm” melainkan berlaksa-laksa kegelapan, ketidakpastian, ketidakmenentuan, sehingga semua manusia tidak bisa mengelak untuk menuju hanya “ilan-nur”, menuju ke hanya satu Cahaya. Bekal pertama dan utama adalah kerendahan hati, menerima kemungkinan bahwa setiap pendapat, setiap penemuan, setiap formula, itu belum tentu benar.

Negara kita, juga masyarakat manapun di seluruh dunia, tidak punya Dewan Ilmu, suatu lingkaran majelis yang dewasa dan mempertimbangkan semua fenomenologi pandangan, ragam pendekatan ilmu, bermacam-macam kecenderungan, madzhab dan aliran. Yang selalu terjadi adalah salah satu Madzhab berkuasa, dengan seribu macam jenis subyektivismenya. Meskipun kau punya pendapat dan pendekatan tertentu dalam hal kesehatan, dan kau buktikan bahwa badanmu sehat walafiat, hidupmu segar bugar – tidak berarti orang yang tidak semadzhab denganmu menerima, percaya atau mengakui pendapat dan lelaku hidupmu. Allah pernah membantah pendapat madzhab medis bahwa umur saya tinggal 3,5 bulan di tahun 2003, fakta itu tidak membuat siapapun percaya kepada semesta alam berpikir dan lelaku hidup saya. Tetap saja siapapun, terutama para pakar medis modern, memperlakukan saya berdasarkan madzhabnya.

Tamu dari Australia merespons bahwa “kosakata benar dan salah itu sangat lemah, sangat mencurigakan dan bisa sangat mencelakakan”. Sabrang, dalam sejumlah diskusi juga mengemukakan, “Saya tidak begitu memberi tekanan kepada kata benar atau salah”. Hidup ini sedemikian luasnya, demikian ragamnya, sedemikian dinamisnya, sedemikian tidak menentunya. Sedemikian rupa sehingga Allah Swt sendiri meneguhkan “Al-haqqu min Rabbika”. Benar itu dari Tuhanmu. Di tangan Tuhanmu. Diketahui dan dikuasai oleh hanya Tuhanmu.

Bahasa awamnya: manusia hidup dalam kemungkinan, sebab kepastian adanya hanya di tangan Tuhan. Maka manusia memelihara dirinya jangan sampai turun derajat kemakhlukannya menjadi selevel hewan, dan meningkat kualitas kemanusiaannya dengan konsep iman dan taqwa. Allah menggolongkan hasil lelaku manusia tertentu dalam kategori “Al-Mutttaqin”, orang-orang yang bertaqwa. Itu suatu level hirarkhi di atas “al-Mu`minun”. Allah berfirman untuk manusia (semua, setiap), dengan kualifikasi iman dan taqwa.

Tapi di mana gerangan alamat iman, taqwa dan tawakkal di peperangan Covid-19 ini? Ada orang yang berlaku protokoler Covid-19 sedemikian rupa sehingga kehilangan dimensi taqwa dan tawakkal. Ada yang lain yang hanya mengandalkan taqwa dan tawakkal sehingga berani menerjang protokol. Kedua-duanya bisa terpapar positif Corona. Karena seprotokoler apapun hidupmu, serbuk mikro virus bisa menyentuhmu. Dan setaqwa dan tawakkal apapun perilakumu, Allah yang menilai kadarmu dan Allah selalu berhak memberi sakit kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.

Seorang sahabat Nabi datang ke Masjid dan membiarkan ontanya berkeliaran di halaman Masjid. Nabi menegurnya: “Ikat ontamu dulu ke pohon, baru pasrahkan kepada Allah”. Saya yakin demikian ini positioning kita semua dalam naungan Covid-19 sekarang ini.

Kalau onta kau ikat di pohon, tetap saja bisa ada pencuri mengambilnya, atau onta itu sendiri melepaskan ikatannya. Ada yang bilang masker, jaga jarak dan tinggal di rumah adalah mengikat onta. Tetapi tidak ada jaminan bahwa engkau pasti akan tidak terpapar.

Saya pakai masker ke mana-mana, selalu jaga jarak, dengan tujuan bukan agar terhindar dari Corona, melainkan agar siapapun yang berjumpa saya menjadi merasa aman oleh kehadiran saya. Saya pakai Air Zamzam untuk disinfektan, atau air biasa yang dialfatihahi dan ditiup dengan “Ya zamzamallah” sekian kali. Disinfektan Zamzam bisa diraupkan ke wajah, diminum, untuk kemu tenggorokan atau macam-macam.

Tetapi “alhaqqu min Rabbika”. Kepastian dan kebenaran ada di telapak tangan Allah Swt. Maka KiaiKanjeng tidak “membeli” apa-apa kepada dan dari Allah, sebab kita semua tahu diri jumlah “uang” kita tidak cukup untuk membeli satu debu pertolongan Allah. Kita bukan Habib yang tiap malam bermimpi ketemu Rasulullah. Kita hanya preman-preman di jalanan kehidupan. Beraninya Cuma berpasrah kepada-Nya: “Ya Qadir qaddirna”.

Lainnya

Topik