Misteri Waktu
Pengajian Padang Bulan dan Kesadaran Waktu
Duapuluh tahun lalu lebih ketika saya mendapat tugas atau dhawuh dari Cak Nun untuk ikut mengelola tabloid bulanan Padang Bulan bersama penyair Marthori Al Wustho dan teman-teman lainnya, mengharuskan tiap bulan saya datang ke Menturo Sumobitio Jombang. Sebagai wartawan aktif yang melakukan liputan atau menyerap fakta-fakta yang bermunculan dan terjadi selama pengajian ini berlangsung.
Ada tiga kelompok fakta penting yang saya serap. Pertama pengajian Padang Bulan itu sendiri yang berpusat di langgar depan rumah dengan guru utama Cak Nun dan Cak Fuad dan pelantun tarhim Cak Mad. Di langgar ini sepuluh tahun sebelumnya, kira-kira, saya pernah ngaso bersama Cak Dil setelah menempuh perjalanan penuh petualangan dari Yogya naik bis, turun di Paterongan lalu jalan kaki menuju Menturo, melewati persawahan dan desa, juga melewati dua jembatan yang salah satunya bisa disebut titian tanpa pagar yang kalau siang hari saya hampir dipastikan tidak berani melewati. Di sepanjang perjalanan menuju desa terdengar tarhim pagi yang nada dan iramanya mirip adzan Subuh, ternyata Subuh masih jauh. Karena tidak enak mengetuk rumah dinihari, saya dan Cak Dil atau Adil Amrullah, adiknya Cak Nun, memilih tiduran di langgar setelah meneguk air sumur di ember karena haus bukan main. Saya tiduran dan tidur betulan di langgar yang kemudkan hari menjadi musholla bagus ini.
Kembali ke Pengajian Padang Bulan yang berpusat di langgar dengan isi pengajian tafsir ‘tekstual’ oleh Cak Fuad dan tafsir ‘kontekstual’ oleh Cak Nun. Sebagai reporter yang baik, saya selalu berbekal ketas atau blok note dan dua ballpoint berisi tinta untk mencatat dinamika pengajian yang berlangsung dari sehabis Isya’ sampai tengah malam ini. Kadang ada tamu Kiai, pejabat dan tokoh yang unik-unik. Saya mencatat yang terjadi di langgar dan jamaah pengajian dengan menggunakan sistem tulisan gaya steno buatan saya sendiri yang orang lain dijamin mumet kalau membacanya, karena berisi kode-kode huruf dan panah atau gambar yang sehabis pengajian harus cepat-cepat saya susun atau salin menjadi tulisan laporan pengajian.
Dengan berada di tengah jamaah. Saya meyusup duduk di antara hadirin yang saya tidak kenal namanya tetapi saya kenal sebagai manusia baik-baik yang ingin menambah ilmu tentang kebaikan hidup dan memperbaiki hidupnya. Kelompok fakta pertama biasa saya serap sebagaimana kalau saya melakukan liputan di acara-acara pengajian atau seminar atau dialog bebas sehabis pentas. Sehabis pengajian saya sudah bisa merancang judul tulisan laporan pengajian yang akan saya tulis di Tabloid Padang Bulan.
Untuk menyerap kelompok fakta kedua, fakta suasana pengajian, saya jalan berkeliling, melihat orang-orang berjualan aneka macam barang, makanan dan minuman, mencicipi indomie rebus dan wedang jeruk panas sambil ngobrol dengan sesama jamaah yang jajan di situ dan ngobrol, dengan penjualnya. Karena suasana pengajian ini mirip dengan suasana kalau di tempat saya waktu kecil dulu ada pertunjukan wayang kulit maka saya mencari dan membeli mata maling atau kulit melinjo merah yang digoreng garing dan membeli kara benguk goreng yang kerasnya setara dengan kerasnya gigi.
Waktu kecil saya suka blayangan nonton wayang kulit sambil ngemil mata maling dan kara benguk goreng. Itu terjadi sebelum nonton wayang dilarang ayah gara-gara teman sekampung ketika nonton wayang lebih banyak belajar berjudi cliwik dan puteran atau roulette dan mempraktikkan di depan rumah mereka. Sebelum itu ketika teman sekampung nonton wayang betulan kemudian menirukan adegan dalam pertunjukan di rumah masing-masing dengan menggunakan wayang kardus, dan ini boleh disebut sebagai episode hidup di kampung di mana semua anak adalah dalang karena punya banyak wayang kardus dan punya layar serta gedebog masing-masing di bagian tertetntu dari rumah.
Episode ini boleh disebut episde nonton wayang adalah mubah atau malahan sunat oleh ayahku. Akan tetapi begitu teman sekampug justru belajar berjudl cliwik dan puteran dan belajarnya cukupinten maka ayah menetapkan nonton wayang bagi anak-anak haram hukumnya, dan saya kemudian hanya bisa menikmati wayang kulit lewat siaran radio RRI.
Kembali ke pengajian Padang Bulan lagi, untuk melengkapi kelompok fakta lapangan kedua saya dengan lugu sungguh-sungguh melihat suasana lapangan di pinggir desa tempat banyak sekali kendaraan parkir di sini sambil membayangkan alangkah seru anak-anak Menturo bermain bola di sini. Bagaimana Cak Mif waktu itu main bola sambil memakai sarung dan makin lama sarungnya makin tinggi karena digulung di perut. Saya juga ingat kisah yang diceritakan Cak Dil, di mana waktu awal Muhamamdiyah di Menturo ini melaksanakan shalat Id di lapangan ini, Pak Lurah dan kelompoknya mencegat jamaah shalat Id menuju lapangan. Karena dicegat ya mereka pura-pura pulang lalu menerobos pagar di sudut desa sebelah lain yang pagar-pagar keliling desa pernah saya saksikan ketika suatu hari saya berjalan-jalan dengan Cak Yus atau Cak Yusron, adiknya Cak Dil.
Kelompok fakta ketiga dalam Pengajian Padang Bulan adalah fakta suasana konsultasi apa saja yang berlangsung antara Cak Nun dengan jamaah pengajian yang belum mau pulang walau pengajian sudah usai. Jumlahnya cukup banyak, duduk antre melingkar. Satu persatu tamu mengutarakan maksudnya atau mengajukan pertanyaan dan masalah rumit yang menghimpit hidupnya.
Dengan sabar dan amat sabar Cak Nun menjawab dan memberikan solusi bagi tamu yang mengajukan masalah hidupnya itu. Kalau ada masalah yang rumit atau menyangkut masalah rumah tangga atau lainnya yang menyangkut doa-doa mustajab, Cak Nun mempersilakan tamu itu menghadap Bunda Halimah yang duduk tidak jauh dari situ. Jadi waktu itu di dalam rumah keluarga Cak Nun ada dua lingkaran konsultasi.
Melihat suasana konsultasi personal model pesantren seperti ini saya kadang teringat bagaimana Pakde saya tiap hari Ahad dari jam tujuh pagi sampai habis Ashar menerima konsultasi dan ngaji aneka macam ilmu dan masalah yang diajukan oleh para tamu dari desa-desa sekikar Kotagede. Saya kebagian konsultasi Bahasa Arab dengan berbekal kitab kuning elementer bernama Jurumiyah. Nah konsultasi di rumah keluarga Cak Nun sehabis Pengajian Padang Bulan ini berlangsung sampai Subuh.
Dan Cak Nun saya lihat tetap segar, tegar, sabar, kadang diselingi tawa atau agak memarahi tamunya kalau tamunya ngeyel. Para tamu pun senang, bahagia dan rela menerima apa yang disampaikan oleh Cak Nun atau Bunda Halimah. Kelompok fakta ketiga ini jarang saya ungkap atau saya tulis karena yang diutarakan hampir selalu menyangkut masalah privat atau masalah personal. Jarang yang masalah publik, semacam Pemilihan Gubernur di Jatim atau apa.
Saat kemudian hari saya mengikuti Pangajian Mocopat Syafaat, saya sering teringat suasana dan fakta-fakta yang mengalir di Pengajian Padang Bulan itu. Sampai rumah, saya merenung, ternyata waktu itu atau waktu ini (waktu lalu, waktu kini, dan waktu nanti) mengandung misteri besar. Waktu yang lewat ternyata tidak hilang, masih tersimpan dalam ingatan kita. Bahkan kejadian-kejadian yang berlangsug di dalam waktu dan ruang berbeda bisa saling mengingatkan dan saling terkoneksi.
Fakta bahwa dalam Pengajian Mocopat Syafaat saya teringat dengan yang berlangsung pada Pengajian Padang Bulan, dan selama pengajian Padang Bulan saya bisa ingat dengan adegan masa kecil ketika nonton wayang, ketika awal saya berkunjung ke Menturo diajak Cak Adil Amrullah, teringat suasana lapangan pinggir desa tempat shalat Id yang jamaahnya pernah dicegati oleh orang yang tidak setuju shalat Id dilaksanakan di lapangan sampai ingat mode konsultasi di pesantren. Misteri waktu, misteri waktu, misteri waktu inilah yang saya rasakan kehadirannya saat pandemi saya lebih banyak di rumah saja.
Manusia Menandai Waktu
Bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember, demikian juga bulan Suro, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, Besar adalah nama-nama bulan (syahr, bukan qomar) yang dipergunakan manusia untuk menandai waktu, tetapi bukan waktu itu sendiri. Demikian juga nama-nama tahun seperti tahun Hijriyah, Miladiah, Saka, Maya dan lainnya. Itu juga instrumen untuk menandai waktu, untuk mempermudah manusia melakukan kegiatan kebudayaan dan membangun peradaban.
Hakikat waktu sesungguhnya tidak bernama. Manusia terpaksa membuat perbedaan saat waktu yang berproses diam-diam yang prosesnya bisa dirasakan, yaitu waktu lalu, waktu kini dan waktu nanti. Waktu selalu berkesinambungan. Dalam semesta waktu, kesatuan waktu ini disebut ‘abadi’. Ketika dikaitkan atau diberdayakan dengan ada, menurut orang Jawa semua waktu itu ada dalam kesatuan. Maka dikatakan sing wingi isih ana sing sesuk wis ana lan sing saiki cetha ana. Ilmu Ketuhanan atau tauhid, dalam konteks waktu menjelaskan bahwa Allah SWT adalah Yang Maha Awal sekaligus Yang Maha Akhir. Sekaligus berkuasa atas waktu dan Yang Maha Mengendalikan segala sesuatu (innallaha ‘ala kulli syaiin qodiir).
Kata dan makna segala sesuatu menunjukkan kalau waktu tidak sendirian hadir di alam semesta. Waktu selalu hadir bersama ruang dan kejadian-kejadian. Koneksitas dan interkoneksi antara waktu, ruang dan kejadian-kejadian ini kemudian dicatat menjadi sejarah (menurut ilmu umum) dan dikategorikan menjadi alam-alam (menurut ilmu agama). Maka ada yang memahami fakta-fakta dalam semesta berdasarkan periodisasi waktu kejadiannya.
Sejarah pun dicatat menjadi zaman pra sejarah dan zaman sejarah. Zaman pasca sejarah belum terbayangkan oleh manusia pada umumnya. Sedangkan kejadian-kejadian di dalam waktu, dan ruang yang lebih luas mendalam dan lebih menyemesta yang dipadukan dengan nilai, hakikat, makna, hikmah, bahkan maqoshid-nya oleh kaum agamawan dikategorikan menjadi alam syahadah dan alam ghaib yang di dalamnya ada alam malakut dan alam luhut. Dalam bentang dan rangkuman akan semesta yang semesta di bawah kendali Yang Maha Awal sekaligus Yang Maha Akhir maka manusia yang merupakan kesatuan makhluk syahadah dan makhluk ghaib mau tidak mau harus memasuki alam ruh, alam dunia, alam barzah dan alam akhirat.
Kejadian-kejadian dan perbuatan manusia yang dilakukan di ruang waktu dunia akan secara adil mendapatkan hasil atau risikonya. Karena kesatuan ruang waktu kejadian berikut makna, nilai, hakikat, hikmah dan maqosidnya yang dialami manusia yang juga merupakan kesatuan kesemestaan Ketuhanan (rujukannya antara lain dalam ayat kursi) maka benarlah kalau segala yang ada yang diciptakan Tuhan dan dikendalikan Tuhan tidaklah sia-sia. Selalu ada hikmah dan maqoshid-nya.
Dalam kaitan ini misteri waktu sebagian dapat dicoba dibuka tabirnya oleh pengetahuan di atas. Sebagian misteri waktu yang lain dapat dibuka tabirnya lewat cara kita memahami dan ‘memperlakukan’ ayat suci Al-Qur’an dengan mengaitkan dengan dimensi waktu. Misalnya, ayat suci Al-Qur’an memiliki kaitan dengan dimensi waktu lalu, kita dapat memahaminya sebagai ayat-ayat simbolis dan inspiratif.
Ayat-ayat suci Al-Qur’an yang memiliki kaitan atau kandungan dimensi waktu nanti kita dapat memahaminya sebagai ayat-ayat yang normatif aspiratif. Sedang ayat yang berbicara atau mengandung dimensi waktu kini dapat dipahami sebagai ayat-ayat aplikatif solutif. Baik ayat simbolis inspiratif, ayat normatif aspiratif maupun ayat aplikatif solutif semuanya fungsional dalam kehidupan manusia.
Dalam kaitan ini maka waktu adalah sesuatu yang sesungguhnya fungsional, bahkan amat fungsional dalam arti manusia selalu wajib melakukan ikhtiar fungsionalisasi waktu, sehingga manusia yang hidupnya berada dalam disfungsi waktu, disebut manusia yang merugi sebagaimana disebutkan dalam surat al-‘Ashr. Untuk melakukan funsionalisasi dan refungsionalisasi waktu caranya adalah dengan mengaktifkan (aktivasi) iman lewat tindakan amal saleh, antara lain dengan mengkomunikasikan kebenaran yang dikawal oleh kesabaran. Iman selalu kompatibel terhadap kemungkinan dan perilaku amal saleh dan amal saleh kompatibel terhadap kebenaran dan kesabaran yang dilakukan oleh manusia.
Lewat surat al-‘Ashr dan ayat-ayat yang di dalamnya Allah bersumpah dengan kode waktu (ad-Dluha, al-Fajri, al-Lail misalnya) atau dengan kode momentum (al-Qari’ah, al-Zalzalah, al-‘Adiya, misalnya) atau kode historis (ar-Rum, al-Kahfi, al-Fiil misalnya) maka misteri-misteri waktu dapat disimak dibuka tabirnya lalu disimak makna, hikmah dan maqoshid-nya.
Relativitas Waktu dalam Pencak Silat
Mungkin waktu itu semacam materi, jika sebuah objek menyerapnya maka akan semakin tua. Jika pengen ke masa lalu kita harus melepas semua materi waktu yang ada di alam semesta kecuali diri sendiri. Materi sekaligus energi? Energi yang memungkinkan manusia melakukan migrasi waktu ke mana yang dikehendaki.
Mbah Sultan Agung bisa Jumatan di Makkah karena memanfaatkan energi waktu. Atau yang inti materi (yang substansial) ini ruh? Materi dan energi, juga waktu dan ruang hanya instrumen. Apakah doa, wirid yang menghasilkan vibrasi energi spiritual adalah metodenya? Ini masih perlu dikaji, Yang jelas waktu dan ruang adalah sepasang ciptaan Allah Swt untuk memfasilitasi hadirnya kejadian-kejadian. Kejadian-kejadian diciptakan Allah Swt untuk memfasilitasi manusia agar menyadari dan memaknai kehadirannya di dunia.
Waktu tanpa ruang, tak terbayangkan, ruang tanpa waktu juga tidak terbayangkan. Ruang dan waktu tanpa kejadian juga tidak terpahami kehadirannya. Maka beruntunglah manusia yang dalam hidupnya ditemani ayat, dibersamai ruang, waktu dan kejadian-kejadian.
Bahkan kemudian manusia mampu melakukan migrasi ruang dan waktu berikut kejadian yang terbatas. Setahu saya lewat migrasi ruang dan waktu, masa silam atau waktu lalu tetap tidak bisa diubah. Tetapi lewat migrasi ruang dan waktu maka kejadian di masa nanti dapat diintip. Misalnya soal ujian untuk besuk pagi dapat diketahui sebelumnya lewat riyadlah tertentu. Maka sekolah saya dulu lulus 100% karena siswanya diajari mengintip soal yang akan diujikan. Untung ada guru saya yang nakal pernah mengajarkan hal itu, he he.
Saya sudah cukup lama melakukan ‘studi’ atas ruang dan waktu serta menemukan hukum relativitas ruang dan waktu yang dimanfaatkan oleh para pendekar dalam mengefektifkan jurus-jurus pencak silatnya. Dengan pendekatan relativitas ruang dan waktu yang menghasilkan analisis kecepatan, ketepatan dan kekuatan jurus pencak silat saya menemukan banyak fenomena. Fenomena jurus yang tidak dapat ditangkis dan dihindari. Hampir seratus persen akurat mengenai sasaran.
Fenomena ini muncul dalam PON, yang menyebabkan kenapa cabang pencak silat kadang diborong oleh kontingen Bali, kadang diborong oleh kontingen Minang, kadang diborong oleh kontingen Sulsel, kadang Jawa Barat, Jawa Tengah, dan pernah medali emas diborong oleh kontingen Sumatera Utara. Di kejuaraan internasional atlet Indonesia sering memborong medali emas karena menerapkan hukum relativitas ruang dan waktu dalam jurus andalan.
Dalam Asian Games kemarin Indonesia oke banget karena atletnya memakai bukan jurus tendangan atau pukulan, tetapi jurus bantingan yang nilai skornya tinggi. Dalam film laga kelas Hollywood, ketika bintang laga menerapkan jurus relatif berbasis ruang dan waktu serta menerapkan manajemen kecepatan tinggi dan ketepatan gerak dilandasi kelenturan yang kuat mampu menyuguhkan adegan laga yang dikagumi penonton.
Dengan pendekatan relativitas waktu dan ruang yang memungkinkan terjadinya mobilitas dan migrasi pengetahuan, keterampilan, bahkan nilai dan spirit dalam pencak silat saya bisa menemukan gradasi dan promosi kepencaksilatan di padepokan atau perguruan yang menjadi pilar kerajaan atau kasultanan dulu, di mana para pencari ilmu pencak silat bisa memulai dari status atau tingkat siswa, merambat atau meloncat naik menjadi ksatria, naik lagi menjadi perwira, naik menempati status panglima dan akhirnya kalau lulus ujian kependekaran bisa sampai maqam atau status Panembahan.
Pada saat masuk ke dalam status perwira dia sudah mempelajari ilmu dalam dan pengobatan dan puncaknya, puncak ilmu beladiri Timur atau pencak silat adalah ilmu pengobatan. Maka kalangan panembahan sudah menguasai dan mengajarkan ilmu pengobatan patah tulang, menutup luka, mengurut dan memperbaiki kerusakan-kerusakan daging, jalur nadi, syaraf sampai mengobati struktur virtual dari tubuh manusia yang mengalami kerusakan akibat serangan jurus lawan. Jika panembahan juga dikenal dan diajarkan ilmu penolak racun dan ilmu pengobatan untuk menyembuhkan luka atau sakit akibat serangan gaib.
Mengapa ilmu puncak beladiri Timur adalah pengobatan? Karena para pendekar utama ini memahami bahwa misi beladiri adalah misi penyelamatan kemanusiaan dan misi pengabdian kepada Tuhan. Para pendekar itu telah sampai maqam dan maqoshid dari sifat Tuhan yang Maha Awal dan yang Maha Akhir melengkapi 99 sifat Tuhan dan paham betul ada relasi dan jaringan antara asma, sifat, af’al dan dzat. Dzat sebagai pusat enegi semesta. Tentu yang diajarkan perguruan pencak silat dan juga pesantren sampai batas pengetahuan dan penghayatan relasi jaringan asma, sifat dan af’al Tuhan. Dalam perguruan pencak silat Asmaul Husna dan Kalimusada semua ini ditransformasi menjadi jurus. Begitu hasil sementara studi pencak silat saya berbasis pendekatan relativitas waktu, ruang, dan ditambah dinamika kejadian.
Ternyata kemudian saya menyadari misteri waktu pun berlangsung dalam dunia pendidikan dan keilmuan, kepengetahuanan dan keteknologian. Ini di kalangan santri menjadi sesuatu yang amat sangat serius dan mendebarkan karena menyangkut nasab dan sanad ilmu. Saya baru sepotong sepotong mempelajari atau melakukan studi tentang hal ini. Jadi belum berani membuat catatan. Termasuk kejadian dan kejadian-kejadian yang berlansung selama pandemi, pandemi yang masuk dalam ruang dan waktu, pandemi yang melupakan gerak aktvasi dan migrasi virus dalam skala global yang menyebakan tingkat hebohnya juga sampai tingkat global.
Fakta bahwa pandemi Coronavirus ini tidak bisa kita ketahui merupakan fakta bahwa waktu memang ‘makhluk’misterius sebagaiman awal pandemi sebenarnya juga tidak kita ketahui secara jelas. Janjane kapan ta awale pandemi muncul? Apalagi masa pra pandemi dan pasca pandemi yang misteri waktu (juga misteri ruang jangan-jangan) juga masih merupakan misteri besar.
Ikhtiar manusia lewat aktivasi ilmu pengetahuan dan lewat aktivasi agama belum berhasil membongkar misreri ini seluruhnya dan selengkapnya. Baru sedikit yang bisa dibongkar, itu saja malah membingungkan dan menggemaskan kita semua. Kebingungan dan kegemasan yang perlu disyukuri, karena kebingungan dan kegemasan ini menyadarkan kita bahwa kita memang tidak tahu apa-apa, atau hanya sedikitt tahu dan lebih banyak yang tidak tahu. Hanya Allah SWT yang Maha Tahu.
Yogyakarta, 6-14 November 2020.