Mikul Dhuwur Tahlilan 7 Hari Wafat Ki Seno Nugroho
Semalam (Senin, 09/11), Cak Nun, Yai Toto Rahardjo, dan Bapak-Bapak KiaiKanjeng turut hadir dalam acara Tahlilan 7 Hari Wafat Dalang Ki Seno Nugroho, yang tak lain adalah adik kandung Pak Bayu Kuncoro KiaiKanjeng. Selain Cak Nun, juga secara khusus datang dari Solo yaitu Dalang Ki Manteb Sudarsono. Juga hadir Gusti Yudhaningrat sebagai salah satu sesepuh masyarakat Yogyakarta.
Sebelum acara tahlil dimulai, beberapa nomor gendhing dari para niyaga Ki Seno mengalun menyambut para tamu yang berdatangan dari berbagai tempat menuju kediaman Ki Seno di Sedayu Bantul ini. Acara tahlilan dipimpin langsung oleh Pak Kiai setempat. Tampak jelas dari para tamu yang hadir suasana penghormatan dan cinta masyarakat kepada Ki Seno Nugroho.
Ki Manteb Melantik Gading Pawukir Putra Ki Seno
Dalam kesempatan Tahlil 7 hari wafat Ki Seno Nugroho ini, usai pembacaan tahlil dan doa, sebelum Cak Nun diminta mewedar hal-hal berkaitan dengan wayang, dalang, dan kiprah Ki Seno, ada satu momen penting yang berlangsung. Ki Manteb Sudarsono yang merupakan gurunya Ki Seno dan sekaligus sudah menganggap Ki Seno sebagai anaknya, tadi malam meminta ananda Gading Pawukir untuk meneruskan jejak dan peran ayahnya sebagai dalang. Kepada Gading, Ki Manteb bercerita tentang hubungan dirinya dengan ayahnya (Ki Seno Nugroho) maupun dengan kakeknya (yaitu almarhum Dalang Ki Suparman) di mana Ki Suparman juga merupakan panutan atau gurunya Ki Manteb. Sejumlah pesan disampaikan kepada Gading. Menandai permintaan dan pewarisan itu, Ki Manteb memberikan nama tambahan kepada Gading menjadi Gading Pawukir Seno Saputro serta memberikan tiga buah wayang kepada Gading.
Prosesi yang cukup sakral ini disaksikan oleh seluruh keluarga Ki Seno Nugroho, semua masyarakat yang hadir, dan khususnya berlangsung di hadapan Gusti Yudhaningrat dan Cak Nun.
Perlu Penelitian Khusus Rekam Jejak Ki Seno Nugroho
Sementara itu, berkaitan dengan peran, kiprah, dan inovasi Ki Seno Nugroho, Cak Nun meminta kepada peneliti untuk mengkaji perannya sebagai dalang. Fenomena Ki Seno ini menarik. Ia berhasil menyinergikan wayang Yogya dan Solo yang sering kali oleh banyak orang dipisahkan.
Menurut Cak Nun, kecenderungan Ki Seno ini membuat dirinya merambah semua kalangan. Di tangan kreatif Ki Seno, baik muda maupun tua menjadi sama-sama menggemari wayang. Malam itu selain Cak Nun, juga Ki Manteb Sudarsono, Gusti Yudaningrat, dan Yai Toto Rahardjo.
“Penonton kalau nonton Ki Seno sudah tidak lagi membedakan wayang Yogya apa Solo. Sebab ia berhasil menggulirkan dialektika di masyarakat, sehingga tidak berpikir primordial atau tersegmentasi, tetapi kepada wayang itu sendiri. Seno saya kira harus diteliti dan dibukukan,” ujar Cak Nun.
Saat memberikan ular-ular Cak Nun merasa optimis dengan dunia pewayangan. Wayang telah menjadi karya budaya Jawa yang sekarang digemari siapa saja. Pembawaan Ki Seno begitu cair. Bahasa yang ia pakai mudah dimengerti.
“Saya kira wayang juga merupakan pertunjukkan yang sangat nggetih. Karena wayang adalah pertunjukkan seni yang sangat luar biasa. Semua fungsi kesenian ada di satu dalang. Ya teater, musik, sastra, dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Estetika sampai performans Ki Seno inilah yang membuat Cak Nun mengimbau kepada para peneliti untuk mengkajinya. Dengan upaya itu Ki Seno akan terus dikenang dan dipelajari oleh generasi berikutnya.
Menonton wayang sesungguhnya mengamati dunia batin diri sendiri. Cak Nun menilai jagat pewayangan itu cenderung berada di ranah batiniah. “Ketika Anda nonton wayang, Anda bukan nonton figur wayang semata. Tetapi kedirian manusia itulah yang berhasil disimbolkan melalui wayang,” ujarnya.
Figur Bagong contohnya. Ki Seno sering mengetengahkan karakter wayang ini pada tiap pertunjukkannya. Sebagai bagian dari Punakawan, Bagong yang berpawakan bulat, mata lebar, dan bibir memble tersebut dianggap membawa lelucon bagi penonton. Mereka terhibur bukan semata karena fisiknya, melainkan tindak-tanduknya selama berinteraksi dengan Punakawan lain.
Cak Nun membagi pandangan batin dunia wayang di level ketiga. Konsekuensi pembagian ini membuat audiens semakin jeli memandang dunia wayang, yang ternyata tak sekadar tontonan tapi juga tuntunan.
“Level atau langit paling dasar itu yang kasat mata. Di Jawa ada ilmu katon. Bahasa sekarang materialisme. Nah, wayang ini sangat batin dan levelnya di tengah. Simbolisme yang ada di wayang harus dipelajari secara detail. Berikutnya baru level teratas, yakni dunia batin wayang diposisikan sebagai ngelmu. Itu mengapa Jawa akrab dengan ilmu iku kalokane kanthi laku,” tutur Cak Nun.