CakNun.com

Mewasiti Ijo Abang

Ahmad Saifullah
Waktu baca ± 2 menit

Pada tahun 1478 M kerajaan Majapahit runtuh yang diawali dengan perebutan kekuasaan senasab. Kemudian disusul oleh gempuran Kasultanan Demak yang dipimpin Raden Patah yang juga masih putra dari Raja Majapahit Brawijaya V. Dalam rentang sejarah runtuhnya kekuasaan-kekuasaan manusia sebagian besar disebabkan karena keroposnya persatuan dan kesatuan dari dalam. Juga lemahnya kepemimpinan karena dininabobokan oleh empuknya kursi kuasa. Perebutan kuasa akan menghalalkan segala cara, hingga kawan jadi lawan, lawan diperkawan.

Telah disinggung dalam kolom Tetes Mbah Nun, Jobbang, Jokbang, Jombang tentang dinamika sejarah bersatunya Ijo dan Abang yang begitu alot dan penuh pernik. Akhir-akhir ini kita menyaksikan di mana-mana anak bangsa saling hujat, pukul, pecah, dan berkeping-keping. Mereka menurut Mbah Nun telah diadu oleh kebenaran yang diyakininya. Karena kebenaran yang diyakini tidak otonom ia dibuntuti dengan menyalahkan yang lainnya. Hingga merasa dirinya ‘malaikat’ lainnya ‘iblis’. Dalam menangani karutnya epistem ini, Maiyah menawarkan alternative thariqah dengan mencari “apanya yang salah/benar, bukan siapa yang salah/benar.”

Saya mengingat hukum siklus sejarah, tentang kapan Majapahit runtuh. Kalau dihitung sejak tahun 1478 M hingga sekarang 2020 M sudah 542 Tahun Majapahit sirna ilang kertaning bumi.

Dalam putaran siklus lima ratusan tahun, ada indikasi bahwa Indonesia akan mengalami hal yang sama sebagaimana ‘simbahnya’ dulu. Sebenarnya gejala-gejala keruntuhan kekuasaan berulang dalam sejarah. Diawali dengan kelalaian para penguasa terhadap wakul amanat yang diembankan oleh kawula lan gusti (rakyat dan Gusti Allah). Kemudian mereka hanya membela kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri (oligarchy). Karena yang dibela kepentingan kelompok maka tentu akan mengundang kecemburuan, oposisi, merugikan kepentingan-kepentingan kelompok lain sampai berujung pada perlawanan dan pemusnahan.

Ajakan Mbah Nun – saat diwawancarai seusai mengisi acara Peringatan Dua Tahun Penganiayaan Novel Baswedan – kepada semua elemen bangsa Indonesia untuk menomorsatukan keindonesiaan, dan mulai meninggalkan berpikir sektoral, hanya berpikir demi partai, dan golongannya sendiri. Kalau melihat sikap Mbah Nun yang begitu istiqomah menjaga kebersamaan, kesatuan-persatuan kita sebagai orang Maiyah berposisi sangat jelas di tengah turbulensi bangsa. Yakni sebagai penengah, atau dalam bahasa arab disebut wasith.

Menegaskan sikap orang Maiyah dalam situasi pating mblasur bangsa Indonesia saat ini, kita bisa mengingat kembali esai Mbah Fuad tentang Umat Penengah (ummatan wasathan). Ibarat persaingan bal-balan antara kesebelasan Ijo dan Abang dalam memperebutkan kebenaran, orang Maiyah dipilihkan oleh Allah sebagai wasith (penengah). Syaratnya wasit adalah berlaku adil (proporsional/suportif) Hal tersebut merujuk ke Surat Al-Qur’an urutan kelima QS. Al-Maidah dan kita buka ayat ke-42. Pedoman angka ini kita ambilkan dari rentang masa keruntuhan Majapahit hingga ‘cilaka negara Indonesia’ sekarang. Arti Ayat 42 Surat Al-Maidah:

Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan) yang haram. Jika mereka) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka, dan jika engkau berpaling dari mereka maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Tetapi jika engkau memutuskan (perkara mereka), maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”

Membaca arti ayat di atas amat terang benderang bagaimana umat Maiyah berposisi dan bersikap. Karena kalianlah umat penengah.

Wallahu ‘alaam

Pekalongan, 10 Oktober 2020

Lainnya