Mesin Politik Versus Corona Pasca Perang Dunia Ketiga, dan Shaf Maiyah
Saya sangat bersyukur terkabar saudara, sahabat, teman, sampai saat saya menulis ini dalam keadaan sehat. Juga tak ada berita jamaah Maiyah terinfeksi virus Corona. Semua baik-baik saja, tak kurang suatu apa. Alhamdulilah.
Tentu ini karena keihlasan kita dalam bermaiyah. Ketulusan kita dalam lingkaran sinau bareng, kapan pun di mana pun. Terutama dalam semangat kejamaahan, bahwa kekuatan kita sebangsa hanyalah karena Allah. Termasuk di ruang Maiyahan, yang mengingatkan kita pada shaf saat kita sholat berjamaah. Khususnya dalam pemikiran struktural (jamaah).
Misalnya, menarik esai Fahmi Agustian, “Reboan on The Sky…” Terutama saat ia mengutip pemikiran Ian L. Bets (Thailand): virus Corona membuka mata kita semua, bahwa kapitalisme global ternyata bisa tumbang.
Timbul pertanyaan, bagaimana kita bisa melakukan studi tentang kapitalisme global. Tulisan saya ini mencoba memancing segenap sedulur untuk menggali kembali ingatan mengenai riwayat kapitalisme global.
Harus kita sadari, dunia sekarang sudah dikendalikan oleh mesin politik. Manusia hanya menjadi sekrup dari mesin besar politik.
Terlebih di negara dengan multipartai, perilaku manusia digerakkan oleh syaraf politik. Terutama saat perbedaan ideologi membelah golongan masyarakatnya, konflik berkepanjangan berlangsung tanpa batas waktu. Tanpa bisa dicegah oleh virus paling mematikan, Corona.
Runtuhnya tembok Berlin penanda dimulainya Perang Dunia Ketiga tanpa nuklir. Lanjut berakhirnya sosialisme Rusia adalah penanda awal kebangkitan kapitalisme global. Sekaligus inilah mula kiamat ideologi-ideologi dunia. Bukan lantaran nuklir atau virus, melainkan semata oleh politik bunuh diri.
Ya, ideologi-ideologi besar dunia bunuh diri, oleh ketercekaman mau menjelma ABG. Komunisme, kapitalisme, liberalisme bunuh diri. Lalu mimpi terbangun menjadi Amrik Baru Gede, ABG itu. ABG-ABG menari salsa dan tango di tiap lini. Di panggung ekonomi, politik, kebudayaan, dalam era rekayasa genetika-chips-teknologi.
Di Indonesia penjelmaan ABG harus ditebus dengan peristiwa politik berdarah 1965. Tanpa mengulang data ribuan nyawa korban penyiksaan, dunia pewayangan seperti telah meramalkan. Seperti yang dikisahkan kembali oleh Yanusa Nugroho, dalam novel “Di Batas Angin”.
Kisah tentang sang despot jenderal besar Soemantri bersama saudaranya Rakyat, Kakasrana, yang kesaktiannya tiada tara. Kakasrana bau tanah lumpur sawah desa dibunuh justru setelah sukses memperjuangkan sang despot demi Dewi ABG, Citrawati (namanya saja ada pencitraannya).
Tapi tunggu dulu, adalagi kisah Wisrawa yang menghabisi rakyat, Arya Jambumangli, demi Dewi Sukesi (boleh baca suksesi). Betapa Arya (besar) dipotong kedua kaki, kedua tangan, dipenggal kepala. Tapi kepala Arya masih berujar: kelak keturunanmu akan mengalami kematian sama. Terbukti, anak Wisrawa dan Suksesi, Rahwana, di hari akhirnya terjepit dua tebing, tak mati tak hidup.
Selesaikah kisah tentang kekuasaan? Fenomena ABG bukan soal suksesi atau kudeta. Lebih dari itu lihatlah bagaimana ABG dimanjakan oleh struktur dan sistem kapitalistik. Hidup dalam gelimang pesta pora dunia industri bahkan percepatannya, dalam kebersamaan penuh alpa. Pun walau sendiri tetap tidak mau sepi, berteman dalam bayangan Tuhan subyektif dan impian obsesif keduniaan.
Maka kala muncul persoalan kecil, mereka akan mengalami paranoid akut. Betapa maha kecil Corona bahkan tidak kasat mata, dan mereka dicekam halusinasi hingga puncak delusi. Seperti terjadi Perang Dunia tanpa nuklir. Manusia sedunia berkesiap melawan Covid 19.
Bisa jadi setelah Perang Dunia Ketiga kiamat sosialisme dan kemenangan kapitalisme global, sekarang inilah tengah berlangsungnya Perang Dunia Keempat kiamat kapitalisme dan bangkitnya kembali sosialisme.
Lalu who’s who Corona dan mengapa-bagaimana Covid 19. Bisa jadi itu fatamorgana, bahwa yang terjadi sesungguhnya seperti yang diramalkan Karl Marx: kapitalisme akan menggali kubur sendiri.
Ini sebagai Nota Bene saja. Mungkin sedulur bertanya: mengapa saya menganggap virus Corona tidak ada. Saya mau melakukan pengandaian melalui ilmu keaktoran saja. Contoh saat Eko Winardi memainkan satu watak di atas panggung, bukankah watak itu yang ada, dan Eko entah di mana.
Demikian pun Corona, karena telah didramatisir sedemikian rupa yang ada di panggung jagad ini si sexy-nya, virusnya entah di mana.
Yang lebih penting, saya mengajak sedulur Maiyahan untuk mendiskusikan tentang Corona. Sebab bagi saya sebagaimana Allah, Tuhan dataraya gadged on line, kesexyan Corona bukan hanya hak orang per orang, tapi tanggung jawab kita semua jamaah untuk membicarakannya.
Dados..!