CakNun.com

Merah (Kuning) Hijau

As’ad Muhaymin Munir
Waktu baca ± 3 menit
Image by Steve Johnson from Pexels

Setiap kali membaca tulisan Mbah Nun, selalu ada hal menarik. Konsistensi “ruh syajaroh” di dalamnya, yang senantiasa tidak menyuguhkan hal yang “siap saji”, menempatkan pembaca sebagai tanah yang dipersilakan untuk menumbuhkan biji yang telah secara konsisten puluhan tahun ditebar oleh beliau.

Pada tulisan beliau, “Jobbang, Jokbang, Jombang” yang dimuat beberapa hari lalu, baru sedikit yang saya mampu untuk men-tadabbur-i, yaitu merah dan hijau sebagai anasir alamiah yang ada di mana saja. Merah dan hijau mungkin hampir sama dengan pasangan kutub positif dan negatif, utara dan selatan, maskulin dan feminin.

Sejarah telah mencatat timbul tenggelamnya banyak peradaban. Demikian pula sejarah mencatat bertahan lama dan tidaknya perusahaan-perusahaan besar. Dalam skala lokal kita pun melihat dan mendengar bertahannya industri skala besar, menengah, dan kecil. Semua memiliki “pertempuran” yang sama, yaitu menyelaraskan anasir alamiah di atas di mana itu adalah pertempuran yang tidak ada selesainya.

Jika sejarah mencatat tentang bertahan lamanya sebuah peradaban, maka itu berarti kuatnya para pengelola menyeimbangkan merah dan hijau. Dan itu tidak berhubungan dengan “agama” apa yang dianut, tetapi lebih universal, yaitu kemampuan “menahan diri” pada keyakinan atas nilai-nilai yang biasanya berangkat kepada pengamatan jeli atas fenomena alam. Kemudian memunculkan perilaku-perilaku bijaksana, cerdas, dan mempertimbangkan asas manfaat yang luas sebagai acuan dalam memutuskan sesuatu — yang pada akhirnya sama dengan ajaran agama.

Kemampuan Menyeimbangkan

Analogi yang mudah untuk hal tersebut adalah ibarat kita memegang sebuah baterai atau orang dahulu menyebut batu ABC yang biasa digunakan untuk menyalakan senter (lampu colok), radio, dan lain lain. Tingkat kemampuan memanfaatkan, mengkreativitasi baterai ada yang untuk keperluan lampu colok, radio, dan pada tingkat yang lebih tinggi adalah untuk penggunaan alat yang lebih canggih. Namun ada juga kebodohan yang mungkin dilakukan, yaitu menghubungkan langsung kutub positif dan negatifnya sehingga terjadi kebakaran pada baterai sehingga soak atau low batt.

Terlintas pula di pikiran ketika membaca tulisan di atas, jika merah dan hijau dijadikan satu muncul warna apa? Lalu tangan saya segera meraih aplikasi warna di ponsel saya yang berbasis RGB (red, green, blue) dan mencoba melihat apa warna yang dihasilkan dari keduanya. Ternyata adalah kuning. Kuning secara umum diartikan warna kekayaan material, warna kemakmuran. Emas juga kuning. Dan yang belum mampu memiliki emas, kuningan cukuplah. Konteks dari lintasan pikiran saya itu, bisa jadi yang mampu menyeimbangkan merah dan hijau adalah “kuning”. Kuning menjadi tiang penyangga utama karena tidak bisa dibantah kegiatan apapun memerlukan “emas”.

Namun demikian, memproduksi “emas” perlu sikap shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Tidak heran kalau Nabi Muhammad muda digembleng antara lain melalui dunia sumber “emas” yaitu perdagangan. Sejatinya perdagangan adalah pembuktian termudah menilai watak dan karakter seseorang, kematangan mengambil kesempatan, kemampuan diplomasi, pengaturan dana secara disiplin dan masih banyak lagi.

Dan jika empat sifat Nabi di atas terakumulasi pada seseorang atau komunitas, pada hakikatnya inilah “kuning” yang ditunggu untuk mengelola abang dan ijo tadi. Kekayaan yang dikelola dengan empat sifat Nabi tidak akan memunculkan efek buruk kecuali memang harus pada saatnya luruh. Empat sifat Nabi menempatkan seseorang atau komunitas pada level ora kagetan, ora gumunan, ora gumun karo wong sugih, lan ora kaget nek sugih. Pada level komunitas hal di atas sangat dipengaruhi oleh sesepuh, ketua yang memberikan keteladanan.

Dalam hal Maiyah, keteladanan para marja’ di wilayah masing-masing sudah sangat turah-turah, tinggal kita mau mengambil model pelajaran yang bagaimana. Pada akhirnya “pertempuran” pertama adalah bagaimana kita bersungguh-sungguh meng”kuningkan” kesadaran kita agar merah dan hijau dalam diri kita relatif seimbang.

Exit mobile version