CakNun.com

Menulis Bukanlah Perkara Gampang

Yayi Yahya
Waktu baca ± 3 menit

Kebanyakan orang lebih mudah mengungkapkan pemikirannya secara lisan daripada menuliskannya. Padahal dengan menulis, katakanlah sebuah esai, selain kita mewariskan dan melestarikan wawasan serta ilmu pengetahuan yang kita peroleh pada generasi selanjutnya, kita juga menghasilkan suatu kesenian yakni karya sastra, sebagaimana disebutkan oleh Cak Nun dalam kegiatan “Sinau Bareng Redaksi Caknun.com,” suatu kegiatan workshop menulis yang diselenggarakan oleh Koordinator Simpul Maiyah dan Tim Redaktur Caknun.com pada Sabtu, 4 Januari 2020.

Di luar perkiraan panitia, gairah belajar menulis tampak pada jumlah peserta yang memadati pendopo Rumah Maiyah Yogyakarta tempat kegiatan mengasah kreativitas penulisan tersebut diadakan. Sebagaimana sifat dan ciri khas kegiatan Maiyah pada umumnya, kekhusyukan hasrat keingintahuan terbungkus dalam suasana egaliter yang hangat mewarnai keseluruhan rangkaian acara, sejak pagi hari pukul 08.30 WIB sampai selesainya workshop pukul 20.00 WIB.

Seusai rehat sholat ashar, sembari peserta workshop menunggu hasil evaluasi tugas praktikum penulisan kegiatan Maiyah, Cak Nun, Pak Budi Sardjono, dan Pak Iman Budhi Santosa selaku Pengasuh Majalah Sabana, majalah sastra Maiyah, memberikan arahan dan saran-saran kepada peserta workshop, yaitu bagaimana cara terbaik untuk membangun semangat menulis dan mengembangkan kreativitas penulisan.

Beberapa wajah peserta workshop yang semula sinarnya mulai meredup akibat serangan rasa kantuk tampak bersinar kembali akibat kehadiran 3 sastrawan lulusan “Universitas Malioboro” tersebut.

Menurut Pak Budi Sardjono, dasar penulisan jurnalistik 5 W 1 H (What, Who, Where, When, Why, How) hanya akan menghasilkan straight news atau berita yang apa adanya yang lekas basi seperti berita kecelakaan kendaraan dan tidak bisa dikembangkan. Menurut Pak Budi Sardjono, ada dua prinsip lainnya yang harus diasah seorang penulis agar apa yang dituliskannya memunculkan emosi pembaca sehingga layak untuk dibaca bertahun-tahun lamanya yakni 2I, Intuisi dan Imajinasi.

“Dengan 2I berita menjadi sebuah novel, dengan 2I penulis tidak akan kering ide dan tidak akan mandeg kosakata, berimajinasi menggunakan intelektual dan hati, kembangkan agar dapat menyentuh hati,” tutur beliau. Tidak kenal lelah dalam melakukan wawancara dengan narasumber, menangkap tanda-tanda alam dengan intuisi kemudian dilanjutkan dengan mengolah data riset yang ada merupakan hal yang sangat penting untuk seorang penulis mampu menghasilkan tulisan bermutu yang juga membedakan hasil tulisannya dengan tulisan lainnya yang bertemakan seragam. Demikianlah pengalaman Pak Budi Sardjono yang antara lain pernah menulis novel sejumlah 200 halaman tentang suka duka kehidupan nelayan di Nusantara.

Sedangkan Pak Iman Budhi Santosa menekankan berulang-ulang agar peserta workshop selalu menerapkan 3 Konsep Pendidikan ajaran tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, yakni Niteni, Niroake, dan Nambahi di setiap proses belajar menulis. Niteni adalah memperhatikan, memperbanyak referensi; sedangkan niroake adalah menirukan yang terdahulu dan nambahi adalah menambahkan dan menyempurnakan perpaduan hasil Niteni dan Niroake.

Niroake cara Cak Nun menulis,” pungkasnya. Niroake bukanlah suatu hal yang tabu saat digunakan untuk belajar. Ibarat seorang anak memanjat pohon kelapa, pada awalnya sang anak pasti menirukan cara ayahnya memanjat pohon tersebut. Hal yang sama saat seorang anak belajar sembahyang, Ia menirukan cara orang-orang di sekelilingnya bersembahyang. Proses kreativitas di tahap nambahi menjadi semakin terasah, saat kedua proses sebelumnya dilalui seorang penulis.

Saat menjawab pertanyaan salah satu peserta workshop akan bagaimana standar dan batasan penulisan itu sendiri, Cak Nun menuturkan bahwa seorang penulis haruslah memiliki komitmen nilai. “Dalam hidup harus punya patokan,” tuturnya. Sebab itu, Cak Nun juga mengingatkan sebaiknya penulis tidak bersikap liberal (liberalisme). Seorang penulis juga harus sregep (gesit, cekatan). Pada jam berapapun setiap kali Beliau selesai mengikuti suatu kegiatan, Beliau tetap membuka komputer menuangkan hasil pemikirannya atas kegiatan tersebut menjadi sebuah tulisan. “Temukan What yang unik. Imajinasi dan intuisi adalah alat untuk menghasilkan kreativitas dalam menemukan angle yang unik,” ujarnya.

Sekitar pukul 18.00 WIB, acara bersama ketiga sastrawan ternama tersebut diakhiri agar peserta workshop dapat melakukan sholat Magrib yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan hasil evaluasi tugas praktikum terbaik pilihan Tim Redaktur Caknun.com. “Belajarlah pada tulisan orang lain sebanyak-banyaknya, bacalah ungkapan-ungkapan mereka dengan kesungguhan batin,” demikian Cak Nun menutup sesi sore tersebut. Terlihat jelas menulis bukanlah perkara gampang, dan betapa penting melestarikan nilai-nilai Maiyah kepada masyarakat luas melalui tulisan yang bermutu, sebagai salah satu bagian dari upaya mencerdaskan bangsa.

Lainnya

Mosok Dijajah Terus Ker?

Mosok Dijajah Terus Ker?

21 April 2015, dinginnya kota Malang tak mengurungkan niat dulur-dulur Maiyah Rebo legi untuk tetap berkumpul di beranda masjid An-Nur Politeknik Negeri Malang.

Nafisatul Wakhidah
Nafisatul W.