Mengubah Perkosaan Menjadi Kemesraan
Saya ulang kalimat terakhir tulisan yang kemarin: “bahwa hidup di hadapan Allah yang utama bukanlah kehebatan, melainkan kebersahajaan. Bukan kecanggihan, melainkan kemurnian. Bukan prestasi, tapi keikhlasan. Bukan kekuasaan dan kegagahan, melainkan kepatuhan dan kerendahan hati”.
Sebaliknya yang berlaku di dunia sekarang, di peradaban rintisan Hijrah Renaissance hingga Globalisasi: “bahwa yang utama dalam hidup adalah kekuasaan, kehebatan dan kecanggihan, bukan kemurnian, kebersahajaan atau kerendahan hati”. Maka ummat manusia sedunia dibagi-bagi menghuni “Al-Hujurat”, kamar-kamar, bilik-bilik, segmen-segmen, ideologi-ideologi, golongan-golongan, Sunni-Syiah, parpol ini parpol itu, Muhammadiyah atau NU atau LDII atau MTA, kelompok-kelompok, gang-gang, gerombolan-gerombolan.
Bahkan dalam peta kesenian sejak era 1980-an muncul kubu Utara dan kubu Selatan. Yang di tengah dianggap utara oleh selatan dan dianggap selatan oleh utara. Anda harus bersaing, saling dengki, bermusuhan, ultra-subjektif, menange dewe, curang dari soal nilai hingga keuangan. Setiap orang bergerak untuk menggapai kekuasaan, menguasai aset-aset, birokrasi, otoritas dan sumber dana. Setiap orang wajib mengidentifikasi diri sebagai pengikut Kadal atau Tekèk. Kalau Anda tidak mau, akan dipaksa oleh pendapat mainstream bahwa Anda Kadal atau Anda Tekèk.
Nasib komunitas nDipo, Dinasti, KiaiKanjeng, sejak era Dipowinatan, hingga Patangpuluhan kemudian Kadipiro adalah tidak punya tempat karena memilih manusia secara keseluruhan dengan nilai-nilai kemanusiaannya, memilih bangsa Indonesia secara keseluruhan dengan nilai-nilai nasionalismenya. Memilih “ummatan wasathan”, “Khairul umuri ausathuha”. Sejak lahir sampai besar, sejak bersemai hingga menyiram dan berbuah, komunitas nDipo Dinasti KiaiKanjeng tetap tidak punya tempat dalam sejarah. Karena yang berkuasa giliran setelah Utara, gantian Selatan, kemudian bergeser ke Utara lagi. Siapapun pemimpin kesenian dan kebudayaan, tak ada posisi bagi komunitas ini.
Terlebih lagi Dipowinatan dulu Kampung Abangan berkembang atau berubah menjadi Kampung Santri. Itulah salah satu penjelasan tentang apa yang dialami oleh KiaiKanjeng di Finlandia pada tulisan yang sebelum-sebelum ini.
Seluruh dunia memang berkembang menjadi “Al-Hujurat”, kamar-kamar itu. Ya dunia sosial budaya, apalagi politik dan Agama. Sialnya wajah Dipowinatan, Patangpuluhan dan Kadipiro berlumuran wajah saya, yang sejak awal dikesankan sebagai wajah Islam. Padahal dalam peta Islam sendiri saya tidak diakui, dan saya sendiri punya banyak alassn untuk tidak mengakui diri saya sendiri. Cukup bagi saya bersyahadat kepada Allah, dengan harapan semoga Allah yang mensyahadati saya, mengakui saya, melihat, mendengar dan meneliti sampai sangat lembut apa saja yang saya lakukan selama di dunia, sampai pun ke sudut-sudut hati saya yang paling dalam dan rahasia. Wa kafa billahi Wakila, wa kafa billahi Nashira.
Tapi masalahnya komunitas itu sejak akhir 1970-an sampai sekarang kecipratan aura wajah saya, berlumuran prasangka orang terhadap koordinat sejarah saya, tanpa sedikit pun bisa diberi pemahaman, tabayyun atau konfirmasi. Sekali salah paham, pantang mundur sepanjang zaman. Bahkan ketika kompleks salah paham itu bertumpuk menjadi fitnah zaman, sepertinya akan permanen dibawa sampai ke kuburan dan kemudian ke neraka.
Demikian jugalah Pak Harto harus lengser karena Indonesia boleh menjadi macan Asia asal jangan berwajah Islam. Pak Harto direstui Amerika dan sekutu serta prinsip nilai Renaissance-globalisasi asalkan Suharto asli yang Jawa-kebatinan. Suharto boleh Muslim, tapi mainstream perilakunya harus Jawa. Islam-Jawa boleh, tapi kalau Jawa-Islam, lain soal. Harus diturunkan dia dari tahta.
Demikian perang dingin global. Demikianlah Palestina-Israel akan abadi konfliknya. Demikianlah Arab Spring di mana Afganistan, Irak, Libya dan Syria harus dihancurkan. Target utamanya malah Iran, meskipun gagal menghancurkannya sampai hari ini. Hanya “kecamatan” Yaman saja yang bisa disiksa oleh kumpulan musyrikun-munafiqun yang dulu menghancurkan Ottoman.
Adapun Arab Saudi justru menjadi markas rekayasa global regional itu, karena toh Arab sudah patuh kepada Sekutu sejak awal. Sebab berdirinya bukan kebangunan Islam, melainkan pendirian Kerajaan Saud disokong oleh Wahabisme. Sedangkan Indonesia, tidak perlu diagendakan sampai ke tingkat penghancuran seperti Irak atau Lybia, karena Indonesia sudah canggih menghancurkan dirinya sendiri. Untuk Indonesia cukup disebarkan penjajahan cara berpikir, pendidikan, kebudayaan, kecanggihan dan hedonisme. Manusia Jawa sendiri sudah lupa “Ojo gumunan, Ojo kagetan, Ojo Dumeh”. Maka “Wong Jowo kari separo, Cino Londo kari sakjodo”. Kejawaan bangsa dan manusia Jawa sudah terkikis tinggal separuhnya saja. Cino-Londo, Amerika Serikat dan Sekutu-sekutunya serta RRC tinggal mengatur giliran memperkosanya. Apalagi bangsa kita punya ilmu tinggi yang sangat canggih. Pemerkosaan bisa dipupus menjadi kemesraan, dengan cara menikmatinya.