Mengkonstruksi Pendidikan Fungsional Organis
Pandemi membuat dunia pendidikan menderita. Menderita kebingungan, sistem serta ekosistem pendidikan menjadi kurang atau sama sekali tidak efektif. Yang kemudian terjadi adalah pendidikan berada di bawah kendali protokol kesehatan dan ikut-ikutan menerapkan pendidikan di rumah saja. Dalam konteks ini pendidikan mengalami reduksi makna fungsionalnya menjadi sekadar metode proses belajar mengajar dalam konteks persekolahan. Pendidikan dipahami sebagai proses pengajaran lewat sekolah. Di masa pandemi, sekolah atau bersekolah dilakukan di rumah murid. Guru menjadi pemandu dan fasilitator jarak jauh, dengan memanfaatkan teknologi komunikasi. Beban belajar lengkap dengan prosesnya ditanggung oleh orangtua bersama anak sebagai murid sekolah itu.
Ini tentu menimbulkan masalah baru berupa ketidakpastian atau kebekuan orang tua atau wali murid berikut sang murid sendiri. Selain itu pihak sekolah dan para guru juga tidak semua siap menghadapi perubahan proses belajar mengajar jarak jauh ini. Mengapa? Karena pendidikan lewat lembaga dan mekanisme persekolahan kita tidak dipersiapkan untuk menghadapi perubahan besar seperti yang dipaksakan oleh pandemi ini. Bahkan rasa-rasanya tidak ada cadangan pemikiran yang disiapkan untuk mampu mengakses perubahan radikal yang dipaksakan pandemi ini.
Selama ini dunia pendidikan kita berada di zona aman, di rel yang dibuat sendiri untuk dilewati, dimanjakan atau dipenjara oleh kurikulum yang berlaku secara nasional. Tidak ada bayangan sama sekali kalau pada suatu saat ada kemacetan proses, ada clash dan crash dengan kenyataan pandemi atau krisis kelas berat lainnya. Pemikiran pendidikan yang berada pada tataran strategis fungsional sudah agak lama terhenti atau berhenti. Yang bergerak dan gaduh adalah pemikiran pendidikan yang menempati atau asyik dengan masalah yang bersifat ornamental, bersifat artifisial. Atau kadang khusyuk dan sanggup gaduh untuk hal-hal yang bersifat teknis belaka. Terobosan taktis pun kadang dilakukan terbatas. Protokol kesehatan tidak bisa ditawar dengan risiko kurikulum bisa ditawar dan dinegosiasikan.
Para orang tua atau wali murid juga tidak punya bayangan kalau proses pengajaran menjadi berpusat di rumahnya. Mereka gagap dan merasa terbebani dengan sangat berat karena ini. Tetapi tidak mungkin protes dan disarankan untuk tidak banyak mengeluh agar suasana pendidikan tidak bertambah gaduh. Sambil menunggu datangnya vaksin sebagai satu-satunya penolong keadaan, dunia pendidikan meneruskan penderitaannya dari hari ke hari.
Sesungguhnya tersedia ikhtiar terobosan bermakna yang bisa dilakukan. Yaitu dengan membayangkan dan mempraktikkan sebuah pendidikan fungsional yang sekaligus organis. Bukan sebuah pendidikan yang setengah fungsional serta mekanis seperti yang kita saksikan sebelum pandemi. Lantas seperti apa sosok pendidikan fungsional yang sekaligus organis itu? Pendidikan yang kompatibel terhadap pandemi dan pasca pandemi nanti.
Re-formulasi Pendidikan
Sebelum sampai pada pembahasan tentang pendidikan fungsional yang organis kita perlu memperbaiki (mengubah dan merombak, menyusun kembali) kesadaran, pemahaman, dan pemikiran kita tentang pendidikan itu. Kita perlu menyadari bahwa pendidikan bukan sekadar kotak ajaib kurikulum dan sistem persekolahan yang klasikal, juga bukan sekadar kotak-kotak penjenjangan dan pemisahan ekstrem antar kotak pendidikan dengan kotak kehidupan. Kita perlu menyadari, dengan kesadaran baru bahwa pendidikan adalah sebuah semesta yang mengawal semesta kehidupan manusia itu sendiri.
Kemudian, kita perlu memahami (dengan pemahaman baru) bahwa pendidikan bisa berlangsung di mana saja, kapan saja oleh siapa saja. Pendidikan bisa dan boleh bahkan kadangkala harus bergerak untuk memperbaiki kehidupan manusia dan beroperasi di ranah publik, ranah domestik, dan ranah privat sekaligus.
Kita pun perlu memasuki pemikiran (dengan pemikiran baru) bahwa proses intelektualisasi manusia bisa dipicu dan diinspirasi oleh proses humanisasi dan spiritualisasi. Maksudnya ketika manusia melakukan ikhtiar spiritual maka dia akan mendapatkan pendalaman untuk mengasah kecerdasan kemanusiaan dia, sekaligus mendapatkan pendalaman untuk mengasah kecerdasan intelektual dia. Sebab spiritualitas, humanitas, dan intelektualitas saling terhubung secara fungsional. Selain itu kita perlu mengintegrasikan hal-hal yang selama ini dipisahkan oleh pendidikan. Misalnya antara bermain dengan belajar, antara bekerja dengan belajar, antara beribadah dengan belajar, antara mengabdi dengan belajar, antara berpikir-bekerja-belajar.
Dengan kesadaran, pemahaman, dan pemikiran baru pendidikan maka kita bisa melihat dan memandang pendidikan secara baru. Pendidikan yang fungsional dengan kehidupan itu sendiri. Pendidikan yang prosesnya berlangsung secara organis, tidak secara mekanis seperti yang selama ini terjadi.
Patogen Pendidikan Mekanis
Mengapa pendidikan kita bisa berlangsung secara mekanis dan bukan organis? Karena mekanisme dan mekanisasi pendidikan yang diselenggarakan dengan basis standardisasi-regulasi-otorisasi industrial diperlukan untuk kepentingan industri yang bersifat massif. Yaitu industri kehidupan dan industri pendidikan itu sendiri. Bukti bahwa sekarang menteri pendidikan dan kebudayaan dipegang oleh industriawan transportasi dan transmedia, bukan dipegang oleh pendidik dan budayawan. Mengapa? Karena kalangan pendidik mungkin dianggap tidak siap dengan keputusan untuk memproses dunia (semesta) pendidikan menjadi industri pendidikan. Dan budayawan yang biasanya humanis, religius, dan intelektual organis juga dianggap tidak siap (terlalu cerewet) untuk memproses kebudayaan memasuki era industrialisasi kebudayaan yang dampaknya bagi kemanusiaan sering kali mengerikan.
Dan dalam proses industrialisasi pendidikan dan kebudayaan dalam makna industrialisasi kehidupan sekarang ini yang namanya manusia, pribadi, seseorang, individu, diri, nama-nama, nasab, bahkan sejarah individu dan keluarga hilang, dilenyapkan, didisfungsi menjadi sekadar tubuh dan angka-angka. Maka industrialisasi kehidupan, di dalamnya termasuk industrialisasi pendidikan dan kebudayaan menghasilkan orang yang tidak otentik tetapi menghasilkan orang (bukan manusia) yang ‘obyektif’ dalam arti hanya siap menjadi objek industrialisasi kehidupan, industrialisasi pendidikan, industrialisasi kebudayaan, industrialisasi politik, industrialisasi agama, industrialisasi hukum, industrialisasi sosial, industrialisasi ekonomi keuangan, industrialisasi ilmu dan impian manusia.
Maka risikonya, pendidikan dan kebudayaan mengalami disfungsi akut atau malah cenderung mendekati absolut ketika menjalani dan menjalankan tugas mulia kemanusiaannya, yaitu tugas spiritualisasi, tugas humanusasi dan tugas intelektualisasi kehidupan yang seharusnya dilakukan secara kontinu dan permanen.
Mengarahkan Pendidikan Organis
Pendidikan dan kebudayaan yang hakiki sesungguhnya dipersiapkan, diarahkan, dan dioperasionalkan untuk melakukan spiritualisasi, humanisasi, dan intelektualisasi kehidupan manusia. Maka materi atau hal-hal yang perlu dididikkan adalah nilai (nilai agama dan nilai budaya), ilmu (termasuk ilmu kemanusiaan), keterampilan (keterampilan hidup dan keterampilan kerja dan kerjasama).
Untuk melangsungkan pendidikan fungsional dan organis seperti ini maka instrumen kelembagaan yang memenuhi syarat minimal adalah keluarga dan pondok pesantren (masyarakat) dengan pendidik dan peserta didik yang saling kenal mengenal serta intim relasi antar sesamanya. Maksudnya, lembaga pendidikan dalam bentuk mikro, kecil tetapi efektif untuk menjalankan fungsi makro pendidikan, yaitu memproses dalam arti melakukan transfer-transmisi-transformasi nilai-ilmu-keterampilan dan semua berproses secara ‘non industrial’.
Dalam praktiknya bisa saja parenting (tarbiyah) menggantikan schooling menjadi proses home scholing dimana lembaga home lebih dominan dilengkapi dengan proses ta’limul ‘ilmi dan ta’dibul fi’li wal ‘amali dengan guru atau pendidik yang menemani dan memfasilitasi proses pembelajaran yang berlangsung intensif, komunikatif dan menggembirakan.
Pendidikan fungsional dan organis seperti ini ada kemungkinan cocok dipilih dan dipraktikkan selama pandemi belum usai dan ketika pandemi masih mengancam kehidupan kita. Tentu masalah terbesar adalah terletak pada kesiapan kualitas dan kuantitas pendidik, kesiapan kualitas dan kuantitas orang tua dan kesiapan kualitas dan kuantitas para murid serta kesiapan kualitas dan kuantitas masyarakat bersama tokoh masyarakatnya. Sebab melakukan proses deindustrialisasi pendidikan dan deindustrialisasi kehidupan dengan menawarkan kelebihan spiritualisasi, humanisasi, dan intelektualisasi organis akan berhadapan langsung dengan pendukung industrialisasi kehidupan dan pendukung industrialisasi pendidikan yang menawarkan ilmu, nilai, dan keterampilan praktis untuk menjadikan murid menjadi objek industrialisasi kehidupan dan industrialisasi pendidikan yang berlangsung secara mekanis dan artifisial. Ini dia masalah yang sebenarnya kita hadapi bersama.
Masalah yang mendasar berupa reorientasi pendidikan, remotivasi, dan refungsionalisasi dalam arti reposisi aktor pendidikan bukanlah langkah yang ringan. Tetapi juga bukan langkah yang tidak mungkin dilakukan. Sebagai alternatif pendidikan dan pendidikan alternatif hal ini selalu mungkin dilakukan.
Pendidikan Proporsional
Bagi yang salah paham dan salah duga terhadap esai kritis terhadap praktik pendidikan kita akan menyangka kalau esai ini menentang industri dan industrialisasi. Sebenarnya tidak demikian, menggunakan parameter Ki Ageng Suryomentaram, dalam menempuh dan menjalani kehidupan, agar selamat, adalah dengan cara sak madya, sak cukupe, sak butuhe dalam arti proporsional dan terukur.
Industri dan industrialisasi asal proporsional dan terukur sak madya boleh saja. Dalam banyak kasus, industri dan industrialisasi bisa menjadi solusi. Yang kurang bagus adalah kalau industri dan industrialisasi dilakukan secara berlebihan, apalagi kalau ada yang membablaskan menjadi industrisme, menjadi ideologi industri. Semua serba industri dan harus terindustrialisasi. Pendidikan, agama, hukum, dan nilai budaya sebaiknya diberi wilayah aman atau zona aman dari terkaman industri dan industrialisasi. Apalagi kalau sampai level berlebihan, sehingga pendidikan, agama, hukum, nilai budaya berada pada titik subordinat dari konfigurasi realitas industri dan industrialisasi itu.
Pendidikan fungsional dan organis yang dimaksud di sini tentu tidak mengabaikan industri perbukuan, industri media dan multimedia, juga industri transportasi serta industri fungsional terbatas lainnya, semisal industri finansial yang dapat memperlancar proses edukasi dalam dunia pendidikan.
Demikian esai ini ditutup dengan doa dan harapan semoga dunia pendidikan di masa pandemi dan pasca pandemi tetap fungsional dan menjadi alah satu faktor transformasi kehidupan kita bersama. Aamiin.
Agustus 2020
Mustofa W Hasyim, Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin