Mencium Siri-Siri
Omnibus Law menyeruak di tengah pandemi Covid-19 yang sedang kita hadapi. Dan alhamdulillah, Omnibus Law akhirnya mampu menggeser tema Covid-19 yang selama tujuh bulan terakhir menjadi topik perbincangan kita semua. Tiada hari tanpa membahas Coronavirus. Tiada hari tanpa berdiskusi mengenai bagaimana cara menekan angka positif Covid-19 yang setiap hari terus bertambah dan setiap hari memecahkan rekor penambahan. Untungnya ada Omnibus Law yang kemudian mengalihkan perhatian kita dari Covid-19. Dalam sekejap, pembicaraan mengenai Covid-19 tidak seriuh sebelumnya.
Tidak ada satu pun Negara di dunia yang siap menghadapi pandemi Covid-19 kali ini. Semua tersentak kaget, dan benar-benar tidak siap. Korban jiwa berjatuhan, seiring bertambahnya kasus positif setiap hari, bertambah pula jumlah pasien yang meninggal dunia. Mengerikan? Sangat. Siapa yang benar-benar berani menghadapi kematian?
Omnibus Law, yang konon disebut sebagai Undang-Undang Sapujagat, tiba-tiba saja dalam waktu sangat singkat disahkan oleh Bapak dan Ibu yang terhormat para anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan. Seolah tak mempertimbangkan bahwa saat ini seluruh manusia di muka bumi, termasuk di Indonesia ini sedang menghadapi pandemi Covid-19. Perdebatan demi perdebatan mengenai Omnibus Law bermunculan.
Buruh dan mahasiswa turun ke jalan, melakukan aksi penolakan terhadap pengesahan Omnibus Law. Pemerintah pun bergeming. Mereka punya alasan yang menurut mereka Omnibus Law ini adalah vaksin dari segala penyakit yang menghalangi masuknya investor ke Indonesia. Bergeraknya massa turun ke jalan yang dilakukan oleh buruh dan mahasiswa tidak terhindarkan. Tetapi, pemerintah juga tidak bodoh rupanya. Seolah-olah, demonstrasi massa yang dilakukan memang sudah diperhitungkan sangat detail, bahkan sampai perhitungan ada berapa fasilitas umum yang akan menjadi korban pembakaran, sepertinya sudah dipersiapkan sangat detail biaya perbaikannya.
Dalam tujuh bulan terakhir, setiap ada kerumunan massa, di manapun saja, selalu menjadi bahan pembicaraan khalayak ramai. Setiap massa yang berkerumun, selalu disudutkan dan dianggap tidak memperhatikan protokol kesehatan yang sedang diberlakukan. Ada banyak video mengenai acara pernikahan yang dikecam, di lain hari beredar foto-foto orang piknik di sebuah tempat wisata, yang terjadi kemudian pun di-bully. Di lain hari, ada orang-orang nongkrong sembari ngopi-ngopi di sebuah café, pun dinyinyiri. Tetapi, tidak dengan demonstrasi pada 8 oktober 2020 lalu. Tidak ada sindiran, tidak ada nyinyiran, dan juga tidak ada bully-an mengenai berkerumunnya massa yang melakukan demonstrasi.
Tapi sebenarnya itu bukan hal yang aneh, mengingat kita hidup di Indonesia. Kita sudah sangat terlatih untuk melupakan. Terhadap kesalahan orang lain, kita sangat mudah memaafkan. Bahkan, terhadap kesalahan kita sendiri pun kita sudah sangat terbiasa untuk memakluminya. Meskipun kita kembali jatuh terperosok di lubang yang sama, kita tidak pernah kapok.
Adalah satu hal yang wajar, ketika elemen rakyat seperti buruh dan mahasiswa turun ke jalan untuk melakukan unjuk rasa, mengungkapkan protes dan sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang. Bukankah bangsa ini masih menyimpan romantisme bagaimana kesuksesan mahasiswa turun ke jalan, kemudian menduduki Gedung DPR pada tahun 1998 dan berhasil melengserkan Soeharto? Romantisme yang sangat indah bukan?
Apakah dengan lengsernya Soeharto kemudian membuat sila kelima dari Pancasila terwujud? Tidak. Jargon-jargon bertemakan Pancasila, NKRI, Bela Negara dan lain sebagainya selalu bermunculan setiap tahun. Hal yang selalu berulang setiap periode pemerintahan. Namun, rakyat Indonesia tidak pernah kapok untuk meramaikan lagi Pemilihan Umum setiap lima tahun bukan?
Di tengah keriuhan unjuk rasa penolakan Omnibus Law, saya membaca salah satu tulisan Mbah Nun yang berjudul Andalan dan Harapan Rakyat. Sebuah tulisan yang ditulis pada 2017, belum cukup lama. Tetapi memang menggambarkan situasi dan kondisi kita sebenarnya. Sebenarnya, kita semua juga mafhum bahwa sistem politik, tata negara, bahkan sampai Undang-Undang yang ada pun lebih banyak yang merugikan rakyat. Tapi pada akhirnya, pada setiap gelaran Pemilihan Umum pun kita juga tidak kapok untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara. Seolah-olah selalu muncul rasa optimis bahwa PEMILU kali ini adalah pintu gerbang menuju masa depan yang lebih cerah.
Saya jadi teringat anekdot fabel Siri-Siri, yang dulu sering disampaikan Mbah Nun ketika Maiyahan. Seekor Kancil, yang sangat cerdik, selalu menggoda seekor Harimau bahwa ada binatang yang lebih nikmat untuk disantap daripada Kancil, yaitu Siri-Siri. Si Harimau selalu dibikin kesal oleh si Kancil. “Ingin tahu di mana Siri-Siri?”, tanya Kancil kepada Harimau. Kemudian Kancil memberi syarat; “Cium dulu pantat saya!”.
Merasa dibohongi oleh Kancil, si Harimau lari mengejar Kancil. Karena Kancil berlari cukup cepat dan lincah, sehingga mampu untuk selalu menghindar dari sergapan Harimau. Ketika Harimau bertemu Sapi dan menanyakan keberadaan Kancil, syarat yang sama pun diungkapkan oleh Sapi kepada Harimau; “Cium dulu pantat saya!”.
Setiap Harimau bertemu binatang yang lain dan menanyakan keberadaan Kancil, selalu diberi syarat “Cium dulu pantat saya!”, sampai akhirnya Kancil pun tidak pernah berhasil ditangkap oleh Harimau untuk memberitahu di mana keberadaan Siri-Siri itu.
Seolah-olah, kita adalah Harimau yang bodoh itu. Setiap lima tahun, ketika Pemilihan Umum, kita selalu disodorkan janji-janji manis berupa terwujudnya Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tapi dengan satu syarat; “Coblos dulu nama saya.”
Jadi, apakah nanti di tahun 2024 kita juga akan terbuai janji yang sama dengan sayarat yang sama seperti Harimau diberi syarat oleh Kancil; “Cium dulu pantat…..”, eh maksudnya “Coblos dulu nama saya.”