Mencatut Nama Cak Nun di Kubangan Medsos
Sekitar dua jam menjelang penghujung Mocopat Syafaat, Cak Nun menyodorkan topik aktual yang sedang dihadapi beberapa hari belakangan. Masalah itu seputar pencatutan nama Cak Nun di media sosial. Namanya digunakan untuk kepentingan tiap kubu yang sedang berseteru.
Media sosial memang serupa pisau bermata dua. Di satu pihak menguntungkan, di lain pihak merugikan. Semuanya tergantung para pengguna di belakangnya. “Saya membayangkan internet itu seperti suplai air minum yang menyebar ke dunia. Kalau era 70-an, PDAM-nya itu majalah, koran, televisi, radio, dan lain sebagainya. Sekarang suplainya semua orang. Semua bisa menyebarkan,” terang Cak Nun.
Ia membandingkan kecenderungan infromasi di media dari tahun ke tahun. Bila dahulu sumber informasi tersentralisasi, sementara sekarang terdesentralisasi. Cak Nun bukan berarti anti terhadap pola penyebaran sekarang.
“Saya yakin kalau yang bikin internet itu orang yang berjasa. Membuat silaturahmi orang se-dunia makin erat dan memudahkan seluruh orang bersilaturahmi. Masalahnya kalau dahulu ada sistem kontrol. Sekarang tidak. Airnya sekarang ada peceren, taek, dan lain sebagainya ik,” kritiknya.
Cak Nun menyayangkan banyak pihak di media sosial memanfaatkan dirinya untuk kepentingan politik maupun golongan.
Mas Penyo, staf Progress, mengamati problem di jagat maya itu beberapa minggu terakhir. “Di Twitter, Instagram, Facebook, dan YouTube. Grafiknya naik sangat tajam. Menjelang kepulangan Habib Rizieq banyak video atau meme yang salah satunya menyambut dan tiap kubu menggunakan nama Mbah Nun,” jelasnya.
Pemicunya ada salah satu akun yang memotong video Cak Nun berdurasikan satu menit saat menyampaikan materi di Philadelphia, Amerika Serikat, sekitar tahun 2015. Kutipan video itu jelas melepaskan konteks keseluruhan isi di dalamnya. Oknum yang melakukan itu hanya mengambil beberapa kalimat Cak Nun dan kemudian digunakan untuk menyerang Jokowi dan Megawati. Belakangan dipakai pula untuk merespons Habib Rizieq ketika kembali ke Indonesia.
Menurut analisis Mas Penyo, di kalangan warganet sendiri ada anggapan bahwa di Indonesia ada dua orang yang mempunyai massa melimpah: salah satunya Cak Nun. Isu yang dilemparkan juga bergeser. Jika momentum Pilpres tahun lalu hanya salah satu kubu, namun menjelang akhir tahun ini malah keduanya.
“Saya kira ini menjadi sangat menarik. Karena menurut saya, Mbah Nun secara mainstream sudah tidak ada di koran-koran, tetapi secara natural beliau bisa merasuk ke teman-teman di dua kubu ini. Dalam imajinasi saya ke depannya, salah satu peluang yang bisa diambil: Mbah Nunlah yang bisa ngakurke mereka,” ujarnya.
Dilihat dari geliat tiap kubu, lanjut Mas Penyo, mereka sama-sama mempunyai media, baik berskala besar maupun abal-abal. “Soal HR bukan habib. Itu kubu A memotong video Mbah Nun untuk menyerang status HR. Sedangkan kubu B mengcounter dengan mengambil video yang sama tapi disertai penjelasan, bahwa pendapat Mbah Nun justru menjadi legitimasi bahwa HR benar-benar keturunan Rasulullah,” imbuhnya.
Selain bermotif nabok nyilih tangan karena kepentingan politik tiap kubu, mereka juga memanfaatkan momentum itu sebagai ajang jualan. Beberapa hari terakhir jamak video yang sebetulnya isi dan sumbernya sama, namun judulnya sangat umpan klik (clickbait) mengorbankan kualitas dan akurasi sehingga sekadar mengobral sensasi.
Yai Muzammil mencari afirmasi kejadian itu di Qur’an. Ia mendapatkan keterangannya di Surah Al-Hujurat Ayat 6. “Saya kira di sana sudah dijelaskan kalau datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka lakukanlah konfirmasi. Maka saya kira di sini tabbayun itu sangat penting,” tuturnya.