Mempertanyakan Kebenaran Real World Science dan Pengkhianatan Matematika
Esai ini sudah disunting oleh penulisnya menjadi lebih soft dari esai yang diunggah dan dibagikan di akun media sosial – red
Suatu sore, tiba-tiba menyeruak pesan sebaran berisi esai Pakdhe AS Laksana dan Pakdhe Goenawan Mohammad. Tidak berselang lama, menyusul tulisan-tulisan sejenis dari begawan yang lain. Termasuk Pakdhe Ulil Abshar Abdalla. Ini jarang terjadi. Langka sekali ponsel saya diserbu broadcast messages berdaging semacam itu. Biasanya, yang kerap mampir justru iklan-iklan dengan bujuk rayu surgawi.
Satu demi satu saya tekuni. Topik serta sudut pandangnya menarik. Tidak selumrah yang biasa saya baca. Rasanya seperti menyaksikan sebuah arena diskusi yang tenang tapi menghanyutkan. Masing-masing menawarkan pendapat menggoda.
Lalu, sekonyong-konyong, muncul dorongan untuk turut menyahut. Menonton memang menyenangkan, tapi ikut melempar opini, barangkali bakal lebih asyik. Bukan karena saya ingin tampil lebih pandai. Sama sekali bukan! Hanya terlalu sayang apabila tukar pikiran serupa itu tak berlanjut.
Selayang Pandang Percakapan
Beberapa hal yang bisa saya jangkau dari catatan-catatan itu antara lain sebagai berikut.
Penanganan Covid-19 di semua tempat, tak hanya di negeri kita, makin memantik risau. Nyaris tak menyuguhkan harapan berarti. Serba gagap. Keadaan ini lantas menggelitik untuk mempertanyakan kredibilitas Sains. Apakah Sains masih layak disebut sebagai panglima untuk menyelesaikan persoalan dunia, terkhusus wabah ini?
Lalu argumentasi yang menjabar kebenaran mutakhir Sains berhamburan. Termasuk dengan lawannya. Pendapat yang mengungkap kepongahan Sains juga muncul. Bahkan, saya temukan pula gugatan terhadap Matematika, sebab dianggap menjauhkan Sains dari manusia. Amat beragam. Bahkan, tak sedikit yang berbinar-binar menyampaikan bahwa Sains mengusung tugas mulia untuk menunjukkan hakikat di balik kenyataan. Di sisi lain, ada pula kekhawatiran, sebab Sains lebih mengedepankan kepastian, ketimbang membimbing proses pencarian kebenaran.
Dinamis, bukan? Seru!
Hanya saja, terdapat bagian-bagian yang membuat dahi saya berkerut. Yakni, saat Sains dipotret sebagai penyedia kebenaran, bahkan kepastian, terhadap realitas kehidupan.
Serta merta saya bertanya-tanya, “Pernahkah Sains menawarkan kebenaran real world? Atau jangan-jangan, ini hanya epistemic fallacy saja?”
Pada ranah Sains natural, soal ini menarik untuk dilanjutkan.
Namun sebelum jauh, perlu saya sebut di sini, bahwa penggunaan kata Sains pada catatan setelah paragraf ini, merujuk pada maksud Sains natural.
Sengkarut Benar-Salah
Bagi saya, Sains tidak pernah menawarkan kebenaran real world. Apalagi bertugas mencari hakikat kenyataannya. Hal yang dihasilkan Sains adalah narrative reality. Dia menciptakan model realitas. Tapi korelasi one-on-one antara pengetahuan yang ditawarkan Sains dengan real world tak bisa dijamin ada. Begitu pula dengan kebenarannya. Sains bahkan tak mampu menjamin konsistensi dirinya. Simpulan semua, merujuk pada model Sains sendiri.
Begini ceritanya.
Dimulai dari alat utama pencarian dalam Sains, yakni: metode ilmiah. Perhatikan tahapan-tahapan dalam metode ilmiah itu. Masih ingat? Kurang lebih sebagai berikut.
Pertama, melakukan observasi. Kedua, memformulasikan pertanyaan. Ketiga, membuat hipotesis dan penjelasan dengan kebenaran yang bisa dicek. Keempat, pengujian prediksi. Lalu yang terakhir, menggunakan hasil eksperimen untuk mempertajam hipotesis.
Ada yang perlu dicermati di sini, terutama pada tahap ketiga. Dibutuhkan batas yang jelas tentang pengecekan kebenaran. Mana yang bisa dikatakan benar, mana yang bisa dikatakan salah?
Dalam rentang dekade 1920, sekelompok filsuf, saintis, serta Matematikawan di Berlin dan Vienna, menawarkan konsep logical positivism untuk membuat garis demarkasi yang jelas soal benar dan salah. Dinyatakan di dalamnya, hanya ada dua jenis sumber pengetahuan: penalaran atau logical reasoning, dan pengamatan langsung atau empirical experience. Gagasan tersebut berdampak pada validasi atas hipotesis. Artinya, hipotesis dengan kebenaran yang dapat dicek, hanyalah yang bisa diobservasi langsung.
Masalahnya, hipotesis kerap dibangun dari referensi atas entitas teori lain yang tak bisa diobservasi, by definition. Proses perbandingan saat observasi langsung itu pun harus meliputi semua kemungkinan kasus pada hipotesis-fenomena yang diuji. Semua observasi ini juga tak bisa dilakukan, by definition.
Rudolf Carnap, seorang pendukung besar konsep logical positivism berujar,
“At no point is it possible to arrive at complete verification of a law. In fact, we should not speak of ‘verification’ at all¾if by the word we mean definitive establishment of truth¾but only of confirmation.”
Pendapat tersebut tertera dalam bukunya, The Philosophical Foundations of Physics.
Kutipan tersebut jelas menerangkan, bahwa mendirikan kebenaran yang definitif bukanlah hal yang mungkin dicapai oleh verificationism science. Hal yang niscaya diraih hanyalah: derajat kebenaran.
Lalu Karl Popper, satu dari sekian filsuf Sains berpengaruh pada abad 20, membantu menawarkan falsifiability sebagai garis demarkasi atas benar dan salah. Dia bilang, “Hanya pernyataan yang mungkin disalahkan, yang bisa dianggap sebagai bagian dari hipotesis Sains”.
Sekilas, ini menjawab masalah verificationism. Hipotesis tidak lagi perlu diuji pada semua kemungkinan kasus. Jika terbukti keliru pada satu kasus saja, hipotesis bisa dinyatakan salah. Benar seribu kali, amblas karena salah sekali.
Lantas, jika hipotesis belum dinyatakan salah, apakah kemudian dia menjadi kebenaran? Mungkin saja, ini yang dimaksudkan Pakdhe AS Laksana sebagai kebenaran mutakhir. Hipotesis dianggap masih benar, sebelum terbukti salah. Pertanyaan lanjutannya adalah, kebenaran atas apa?
Meneliti Kembali Kebenaran Sains
Bila menilik proses metode ilmiah, atribut benar-salah terdapat pada relasi antara hipotesis dan eksperimen. Anggapan bahwa hipotesis adalah deskripsi dari real world, berarti harus disertai keberadaan relasi one-on-one antara pengetahuan manusia dan real world itu.
Tapi, ada masalah besar di sini. Real world tidak pernah membuat pernyataan apa-apa atas itu!
Correspondence truth antara pengetahuan dan realitas tidak bisa dipastikan kebenaran juga keberadaannya. Sebab, realitas tak bisa ditangkap tanpa tabir bias dan asumsi pengamatnya. Sedangkan realitas sendiri, kita tahu, diam seribu bahasa.
Pada soal ini, falsifiability Popper juga gagal membantu. Tidak mampu mengubah fundamental framework dari Sains. Perannya hanya memberi alternatif metodologi untuk mempertajam proses pengecekan yang lazim digunakan para saintis. Lebih khususnya, untuk menjawab masalah untestable universal case yang dihadapi verificationism tadi.
Coherence Theory of Truth
Mari coba menggunakan pandangan lain. Ambil, Coherence Theory of Truth. Konsep ini menitikberatkan derajat kebenaran pada koherensi pengetahuan di dalam sebuah konstruksi model. Pada konteks ini, tentu saja model Sains.
Dinyatakan dalam konsep tersebut, semakin tidak ada kontradiksi di dalam sebuah model, kian solid lah model tersebut dalam kebenarannya.
Menarik. Faktor eksternal yang tidak bisa dijangkau, yakni real world, digantikan oleh faktor internal berupa model yang lebih bisa diolah. Sayangnya, pandangan ini juga mengandung masalah.
Jika kriteria kebenaran adalah koherensi internal di dalam model, maka mustahil memastikan keabsahan obervasi atas realitas, telah benar-benar sesuai dengan kesejatian realitas itu sendiri.
Sedangkan yang bisa dipastikan Sains hanyalah representasi real world sekonsisten mungkin, di dalam sistem model Sains tersebut. Karena itulah, hasil dari Sains bukan kebenaran realitas per se, tapi narrative of reality.
Dengan demikian, semua pernyataan yang keluar dari Sains, harus dipahami pada konteks naratif itu. Pernyataan dari para saintis baru dikatakan bagian dari narasi Sains, apabila tidak mengganggu konsistensi model Sains secara keseluruhan. Perlu dicermati lagi, relasinya ada pada model Sains secara keseluruhan. Bukan kepada kebenaran real world.
Efek Samping Tak Terduga
Selain membawa Sains berlangkah-langkah lebih maju, Coherence truth juga berdampak signifikan lain. Ketika truth diletakkan pada konsistensi sebuah sistem, akibatnya Sains tak bisa lagi disebut sebagai hal yang paling mendekati kebenaran realitas. Sebab sistem lain, seperti Agama, juga memiliki derajat konsistensi di dalam sistem, dengan aksioma maupun metode deduksi yang dipakainya.
Dari dulu hingga kini, masalah aksesibilitas terhadap realitas real world, telah menghantui segala model realitas yang pernah digunakan di muka bumi. Persoalan itu diidap Sains, Agama, aliran kebatinan, serta lain semacamnya. Sebab wasitnya, si real world itu, tidak mengeluarkan skor akurasi apapun. Tetap diam seribu bahasa!
Alih-alih mempertajam konsep kebenaran, Coherence truth justru menguak persoalan lain. Yaitu, extreme relativism! Besertanya, semua klaim tentang kebenaran dari sistem model manapun menjadi sama-sama valid, asal konsisten secara internal.
Truth pada real world jadi hilang karena pandangan ekstrem, bahwa semua yang disebut kebenaran hanyalah konstruksi individu. Kebenaran tergantung pada referensi masing-masing individu. Ini bikin susah. Terutama saat truth atau derajatnya, diperlukan untuk mengambil keputusan penting yang menyangkut hajat orang banyak.
Jalan Tengah
Adalah Ram Roy Bhaskar, seorang filsuf asal Inggris yang melahirkan pendekatan Critical Realism. Pemikiran tersebut termaktub dalam bukunya, A Realist Theory of Sains, yang terbit tahun 1975. Bhaskar membuat gebrakan, dengan memisahkan antara real world dan observable world.
Menurutnya, Real world tak dapat diobservasi, bebas, dan independen dari semua perspektif teori, serta konstruksi manusia. Sedang dunia yang lazim kita pahami, disebut observable world, karena dibangun dari perspektif dan pengalaman manusia.
Konsep ini menjawab epistemic fallacy yang sering dipakai. Termasuk dalam polemik ini. Kata ‘real’ sebagai penyataan ontologis, direduksi menjadi ‘real’ dalam pemahaman epistemik.
Pada konteks kebenaran, real world merupakan mekanisme yang mustahil diobservasi, yang menghasilkan peristiwa yang bisa diobservasi. Epistemologi dan Ontologi adalah terpisah.
Terlihat jelas, bahwa real world memang tak tersentuh sedikit pun. Sains hanya membangun model, sedikit demi sedikit, hipotesis demi hipotesis. Masa berlakunya sendiri tergantung dengan tingkat kongruensi hipotesis tersebut pada fenomena yang tengah diuji. Jika ada yang lebih presisi, usanglah dia!
Dengan demikian, apakah Sains menjelaskan fakta? Menawarkan kebenaran realitas kehidupan yang definitif? Tentu saja tidak.
Suara dari Dunia Matematika
Jika derajat kebenaran Sains observable world berhubungan langsung dengan konsistensi Sains secara keseluruhan, rasanya mudah berasumsi, jika Sains makin berkembang dan tetap konsisten, kian dekatlah ia dengan kebenaran dari observable world tersebut.
Tapi tunggu dulu. Coba kita tanya Matematika!
Sejak zaman baheula, Matematika telah menjadi alat utama komunikasi di dunia Sains natural. Baik dengan kuantifikasi-kuantifikasinya, maupun lewat kemampuan merangkum relasi logis menggunakan simbol-simbolnya.
Richard P. Feynman berpendapat, “Mathematics is a language plus reasoning; it is like a language plus logic. Mathematics is a tool for reasoning.”
Pernyataan tersebut sulit terbantahkan. Matematika memang istimewa, sebab memiliki presisi logis yang sangat akurat, bebas dari bias, dan perspektif manusia. Matematika sangat cocok dijadikan alat pembedah persoalan yang membutuhkan objektivitas maksimal. Maka tidak berlebihan jika Matematika disebut sebagai jantung Sains natural.
Ranah Matematika tak melulu tenang. Para pemikirnya juga berdebat, melebur dalam taburan kapur-kapur penulis rumus, demi meramu temuan-temuan baru. Seperti yang terjadi pada tahun 1931. Meletup drama ‘pengkhianatan Matematika!’
Seorang Matematikawan berdarah Austria, Kurt Godel, menggebrak keheningan dengan melahirkan Godel’s incompleteness theorem.
Di dalamnya terdapat dua komponen penting. Pertama, pada sebuah sistem yang aksiomatis dan cukup ekspresif, pasti memiliki properti, bahwa sistem tersebut tidak komplit atau tidak konsisten. Kedua, kalaupun konsisten, sistem tersebut tidak akan bisa menyediakan bukti bahwa dirinya konsisten.
Lalu bagaimana dengan Sains? Apakah Sains adalah sistem aksiomatis? Tentu saja. Sains memiliki aksioma seperti Principle of finality, of causal closure, of sufficient reason, of contradiction, of noncontradiction, dan lain sebagainya.
Apakah Sains cukup ekspresif? Sebentar! Ini tidak mudah dijawab tanpa simplifikasi. Saya akan coba menggunakan generalisasi. Sebutlah broad stroke.
Jika ekspresif didefinisikan sebagai kemampuan sebuah model untuk melakukan operasi dasar aritmatika, seperti penambahan dan perkalian, maka kita bisa mengambil relasi, bahwa submodel Sains yang menggunakan Matematika, telah mengandung properti ekspresif ini.
Hampir semua cabang Sains natural mengandalkan Matematika untuk mengekspresikan hipotesis maupun mengolah datanya. Dengan begitu, syarat aksiomatis dan cukup ekspresif sudah terpenuhi oleh Sains.
Lalu, bagaimana bila simpulan tersebut dirasukkan dalam teorema bangunan Kurt Godel? Maka sistem Sains selalu tidak komplit, dan tidak akan bisa membuktikan konsistensinya sendiri. Artinya, Sains tak akan pernah mampu membuktikan kebenarannya terhadap real world!
Predictive Power of Science
Dengan rangkai pemahaman tadi, apakah berarti Sains tidak lagi berlaku sebagai panglima? Apakah dia tengah istirahat saat pandemi covid-19 merebak, seperti yang dituturkan dalam tulisan Pakdhe Goenawan Mohammad?
Nanti dulu.
Sains memang mengidap kelemahan. Demikian juga dengan beragam model kebenaran real world yang lain. Tapi, jangan sampai juga kita menutup mata pada kelebihan-kelebihannya.
Tilik lagi jabaran mengenai metode ilmiah. Kekuatan Sains bukan pada pernyataan kebenarannya. Melainkan pada kekuatan prediksinya. Model terhadap observable world yang dibangun natural Sains, mampu melakukan prediksi yang luar biasa akurat sekaligus presisi pada observable world yang kita alami. Belum pernah tingkat ini dicapai oleh manusia sebelum zaman modern ini.
Pernyataan soal kepongahan Sains, sebagaimana diungkapkan Pakdhe Ulil pada sebaran pesan digital yang mampir ke ponsel saya, boleh jadi berakar dari ketidakpahaman pada itu.
Jika dua sistem Agama dan Sains saling dihadapkan dalam lapangan kebenaran, tentu mereka memiliki narrative of reality berbeda. Masing-masing punya aksioma, metode deduksi, dan konklusi sendiri. Satu sama lain tidak akan pernah bisa saling membuktikan kebenaran sistemnya kepada sistem yang lain. Ataupun membuktikan kebenaran sistem lain dengan sistemnya sendiri.
Karena itu, keduanya mustahil bertaut. Dan masing-masing penganut sistem akan pongah dengan asumsi kebenaran sendiri. Wajar saja. Bukankah saintisme, juga fideisme, lahir dari kesetiaan yang naif terhadap pilihan narrative of reality?
Titik Temu: Best of Many Worlds
Titik temu untuk kemaslahatan manusia dari sistem yang berbeda, demi mencapai hasil optimal masih bisa dilakukan.
Pertama, iseng-iseng kita perlu menyadari, bahwa debat Agama versus Sains mirip debat orang rabun jauh lawan orang rabun dekat. Kok bisa? Coba geser lapangannya. Bukan lagi pada soal-soal kebenaran, melainkan ke tataran kekuatan serta konteks prediksi.
Sains natural mempunyai kekuatan prediksi nan akurat pada observable world hingga jangkauan tertentu. Kemajuan teknologi hari-hari ini menjadi buktinya.
Tapi sehebat apapun Sains, tetap gagal membuat prediksi yang melewati batas kematian manusia. Paling tidak in relation to conscious experience. Sains tak punya hipotesis pada ranah itu, sebab metode deduksinya memang tidak memungkinkan menjangkau. Sementara model Agama punya depiksi dan prediksi yang sangat jelas terhadap alam pascamaut.
Sains ibarat penderita rabun jauh, sedang Agama bak penyandang rabun dekat. Gambaran ini sekaligus menunjukkan, bahwa masing-masing area punya panglima berbeda.
Kegusaran Atas Wabah
Jalan pemecahan masalah, mesti diawali dengan mengakui serta mendefinisikan terlebih dahulu masalah tersebut. Ini pemahaman mendasar yang sudah lazim kita mengerti. Dan ketika pandemi Covid-19 meledak, definisi masalah lahir dari model Sains.
Karena itulah, Sains menjadi pilihan paling tepat untuk berdiri sebagai panglima dalam perang menghadapi Covid-19. Jangan sampai dia istirahat. Dorong hingga solusi ditemukan! Beruntung, ternyata Sains terus berjalan tanpa disuruh.
Beda cerita kalau pandemi ini dideklarasikan pertama oleh model Agama. Bisa-bisa, pandemi ini disebut Jin Merah atau Setan Pocong. Jika itu yang tempo hari terjadi, maka panglima yang paling tepat untuk menghadapi adalah model Agama.
Perjalanan pencarian kebenaran tidak akan pernah berhenti, sebab masalah-masalah muncul silih berganti. Kita perlu rendah hati terhadap semua kemungkinan sistem model. Mereka pasti punya sesuatu yang ditawarkan. Model mana yang bakal dipungut untuk memecahkan masalah, itu pertimbangan berikutnya.
Bulan Maret 2020 lalu, saya pernah menawarkan metodologi menghadapi Covid-19 di Indonesia. Termasuk di dalamnya menghitung pertimbangan yang diolah dari sistem model Sains, Agama, ekonomi, dan kebatinan. Tapi tentu saja tidak digubris.
Wajah Indonesia
Jauh sebelum pandemi, negara ini sudah terjangkit wicked problem. Frasa yang menurut C. West Churchman, filsuf dan saintis sistem dari Amerika, diartikan sebagai masalah yang tidak mungkin dipecahkan. Karena komponen persyaratan jalan keluar yang kita ketahui tidak komplit, kontradiktif, juga berubah-ubah. Interdependensi komponen di dalamnya begitu kompleks, sehingga upaya-upaya pemecahan masalahnya pun malah melahirkan masalah baru.
Kemudian datang Covid-19. Bila dikawinkan dengan wicked problem yang sudah lebih dulu mendera, wabah tersebut telah menjelmakan keruwetan Indonesia menjadi monster nggegirisi.
In Respect to Wicked Problems
Barangkali kita perlu mencoba metodologi yang baru. Coba perhatikan semua model. Lalu tanyakan definisi kepada masing-masing model: ada masalah apa?
Formulasi masalah dari sebuah model tak akan lepas dari aksiomanya. Formulasi prediksi akan terlokalisasi pada area terkuat, tempat aksioma tertata menjadi teorema. Keragaman ini menyediakan probabilitas lebih tinggi untuk mengenal wicked problem pada kerangka yang lebih koheren antar-model. Tidak hanya intramodel.
Dengan begitu, mudah-mudahan, diskusi tidak akan lagi berkutat pada urusan kebenaran belaka. Melainkan lebih menuju jalan pemecahan masalah. Urusan benar atau salah, efektif atau tidak, kelak observable world akan bereaksi sendiri. Waktu akan membuktikan. Segaduh apapun perdebatan soal kebenaran, tetap saja tak membangunkan real world dari kebisuannya. Kita hanya perlu memformulasi hipotesis selengkap mungkin dari semua model yang tersedia.
Keruwetan bangsa ini bisa dihadapi bersama menggunakan berbagai model. Tak ada yang ditinggal, semua ikut serta. Masing-masing pihak masih bisa melakukan upaya sesuai kapasitas. Ada yang riset, sementara yang lain wiridan, berdoa sembari bakar menyan, serta yang lain-lain. Jika ini terjadi, tidak mustahil, monster wicked problem bisa dikalahkan Kalaupun masih gagal, paling tidak kita telah mendapat laba berupa keindahan. Itu jadi modal kekuatan untuk melanjutkan perjuangan.
Eksplorasi Posibilitas
Apakah cara-cara tadi terasa utopis? Bisa jadi!
Mari belajar sedikit dari sistem yang sampai saat ini memiliki koherensi paling solid, yakni Matematika. Simbol-simbolnya mampu membawa kita ke tempat-tempat sukar dijangkau pengalaman. Kerumitan dimensi hasil prediksi fisika yang sulit dibayangkan, akan mudah dialami melalui simbolisme Matematika.
Bahasa Matematika tidak menghilangkan esensi manusia pada Sains. Ketidakpahaman pada bahasa Matematika formal, sama seperti kepelikan kita memahami bahasa orang-orang dari negeri-negeri yang tidak terekspos media massa kelas internasional. Dan itu tidak menghilangkan kemanusiaan, bukan?
Matematika menyediakan dunia yang berbeda. Bukan real world, ataupun observable world. Melainkan symbolic world! Dunia abstrak, imaji, tapi memiliki properti koherensi logis yang tinggi. Tingkat konsistensinya tak diragukan. Pantas disebut sebagai bahasa untuk berkomunikasi dengan jagat raya. “Mathematics is the language with which God has written the world,” ujar Gelileo Galilei berabad-abad silam.
Kita sudah membedakan real world dan observable world. Tapi sudahkah kita efektif mengeksplorasi symbolic world? Bukan berarti semua harus tahu Matematika. Tapi menyadari keberadaan dunia imaji yang penuh kemungkinan, dibingkai dengan konsistensi dan keistiqomahan.
Coda
Real world mungkin akan terus diam. Tapi dia tak pernah gagal mengikuti apapun yang kita jogetkan. Untuk kita yang hidup bersama, mungkin nada memang berbeda, tapi simfoni tetap harus ditembangkan. Barangkali bisa membawa kita ke tempat yang belum pernah terbayangkan.
-10 Juni 2020