CakNun.com

Membaca Membaca

Fatkhul Amril Azim
Waktu baca ± 6 menit
Image by Luis Quintero from Pexels

Suatu ketika di tongkrongan, dalam obrolan yang serius, ketika saya memberikan argumen dalam menanggapi pemberlakuan undang-undang omnibus law yang masih sangat hangat untuk dibahas — tetapi saya tidak akan membahas hal tersebut — waktu itu saya menanggapi argumen yang salah seorang teman saya kemukakan, menurutnya jika bangsa tidak boleh dipisahkan oleh komponen terkecil seperti rakyat jelata. Tetapi kemudian saya bantah argumen tersebut dengan mengutip pernyataan Hegel yang mengungkapkan bahwa hanya orang-orang besarlah yang dapat menciptakan sejarah bagi sebuah bangsa dan negara. Lalu saya cocoklogi dengan argumen saya, karena setiap manusia memerlukan pemimpin yang dapat mewakili keberadaan mereka, dari adanya pemimpin tersebutlah yang menentukan ke arah mana sejarah sebuah bangsa dapat ditentukan.

Kemudian, teman saya yang lain yang sedari tadi menyimak obrolan langsung menyela, “wah, bahasannya bikin pusing, bisa nggak sih bahasannya yang lebih gampang? Kan kalian hobi baca, harusnya penyampaian kalian harus bisa menyesuaikan dong, jangan hanya pamer konsep ndakik.”

Seketika itu saya langsung terhenyak dan diam, kemudian saya hanya menunjukkan ekspresi tersenyum. Celetukan teman saya tersebut cukup membuat saya terus memikirkan perkataannya tadi yang pada akhirnya membuat obrolan tentang omnibus law tersebut mati dan akhirnya beralih membahas topik lainnya. Akhirnya saya merasa bersalah dan tidak enak kepada teman saya tersebut.

Setelah pulang dari tongkrongan, saya termenung, sebenarnya ini salah siapa? Saya yang ndakik atau teman saya yang cenderung masa bodoh dengan situasi? Atau jangan-jangan saya membaca karena menjadi poser, menjadi orang-orang yang ikut ke dalam satu tren tertentu yang sekadar tahu permukaannya saja, artifisial. Atau jangan-jangan saya membaca hanya untuk kepuasan ego sendiri agar diakui? Apa mungkin saya saja yang terlalu naif dengan hanya mementingkan diri saya sendiri tanpa ada niatan untuk membagi ilmu dan hanya pamer gagasan? Duh, semakin tidak-tidak saja.

Di sini bukan maksud saya untuk meremehkan orang yang membaca, namun seharusnya kegiatan membaca yang bermanfaat untuk menajamkan pikiran dan memperkaya pengetahuan mampu meningkatkan sisi kebijaksanaan dalam diri. Sehingga sebagai orang yang membaca dapat lebih memperhatikan argumennya sendiri, apakah sudah cocok untuk disampaikan. Sebagai orang yang membaca jangan pernah untuk bersikap rumangsa bisa. Pun sebaliknya dari orang yang tidak tahu, sepatutnya untuk tidak menutup diri terhadap pengetahuan baru dan bisa terbuka untuk menerima, bisa ngrumangsani.

Membaca tidak melulu berwujud teks yang dikonsumsi melalui indra penglihatan. Membaca adalah tentang rasa dan merasakan, sawang-sinawang, dan eling lan waspada. Membaca adalah upaya pendayagunaan seluruh indra dalam memahami realitas yang ada: mengamati, mendengarkan, melakukan, merasakan, dan sebagainya. Sehingga dengan membaca akan menjadikan seseorang lebih tahu dan sigap dalam menyikapi fenomena tertentu. Maka tak jarang ketika seseorang sudah berpengalaman “membaca”, ia akan menjadi lebih bijak dalam menganalisis, mengambil keputusan, dan tidak mudah terpengaruhi.

Jadi sebenarnya apa yang salah dengan membaca? Apa yang terjadi dengan orang-orang yang membaca lalu membicarakan dengan konteks terkait dan menuliskannya kembali? Kejadian ini membuat saya berpikir, jika sebenarnya ada yang salah dalam memahami literasi dan dalam menyerap konteks gagasan tertentu. Seperti ada tembok yang membatasi antara orang yang membaca dan tidak membaca.

Mungkin karena tidak adanya mutualisme yang terjalin dengan baik yang menyebabkan adanya “kesenjangan berpikir” ini, dan saya yakin sebagian orang juga pernah mengalami situasi seperti ini, entah sebagai orang yang membaca maupun sebagai orang yang tidak paham konteks. Dan dari kejadian tersebut saya sekarang berusaha untuk lebih kalem, dalam artian sebagai orang yang membaca maka saya berkewajiban untuk bijak dalam menyampaikan gagasan agar lebih memperhatikan orang lain. Saya rasa kapabilitas dari orang yang membaca adalah kemampuan untuk menyerap ilmu dan pengetahuan sekitar, jadi untuk melakukannya, ia harus lebih banyak diam.

Dari sini mungkin permasalahan yang cenderung dikotomis ini muncul karena perbedaan kesan yang ditampilkan dari kedua kecenderungan orang tesebut. Problematika bahasa juga tidak bisa dipungkiri menjadi masalah ketika tidak dapat disampaikan dengan baik, sehingga untuk menumbuhkan minat baca masih terasa sulit karena kesan dari orang yang membaca masih belum bisa dimengerti, kecenderungannya masih menggunakan bahasa yang tekstual.

Kemampuan Membaca

Agaknya saya terlalu berlebihan dalam menilai kondisi demikian, namun bagi saya adanya fenomena ini harus menjadi semacam tamparan terhadap dunia literasi dalam pengaruhnya bagi masyarakat luas. Ada semacam politisasi yang berkembang dan membentuk tembok memanjang yang sewaktu-waktu dapat berakibat buruk bagi perkembangan pendidikan dan literasi bangsa.

Edward De Bono — seorang psikolog dan pemikir dari Malta — pernah mengatakan bahwa di masa depan, manusia harus bisa berpikir konstruktif, dan untuk berpikir konstruktif, manusia harus jadi kreatif. Dinukil dari salah satu artikel Mbah Nun berjudul Manusia Kreatif, Si Khalik Kecil, dalam berpikir kreatif terdapat semacam kepercayaan yang hampir disepakati oleh cendekiawan, ilmuwan, maupun pembesar suatu bangsa. Karena manusia semakin hari harus semakin dituntut oleh lingkungannya akibat keterbatasan dalam memanfaatkan dari sumber daya yang menopang kehidupan manusia itu sendiri. Manusia harus bisa berpikir secara kreatif untuk mengantisipasi ancaman dan bahaya yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Manusia juga diharuskan dapat berpikir konstruktif karena kerusakan dari hari ke hari semakin besar.

Dari terminologi yang dijabarkan tersebut, jika diselami dan dilihat pada akar “pembangunan” dan pondasi berpikirnya, bisa dipastikan bahwa membaca adalah hal vital yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas peradaban. Manusia membangun maupun merusak karena ada bukti empiris dan keyakinan tertentu yang didapat dari hasil membacanya. Bisa dikatakan membaca juga merupakan aktivitas psikologis sebagai upaya adaptasi manusia untuk bertahan hidup. Hal tersebut juga bukti jika manusia berkembang karena semakin memahami lingkungan dan berkembang kemampuan memilah segala sesuatu.

Sehingga membaca yang dilakukan secara masif akan menghasilkan kesiapan manusia dalam membangun peradabannya melalui mekanisme sosio-kultural dan dilandasi oleh sisi common sense dalam kepribadian tiap individunya. Seperti yang dikatakan Sigmund Freud, peradaban dimulai pertama kalinya ketika orang yang marah mulai melontarkan kata-kata bukan batu. Jadi posisi fundamental peradaban terletak pada kemampuan manusia dalam mendayagunakan akal sehatnya melalui observasi lingkungan sekitarnya secara terus-menerus.

Kemampuan membaca tentunya juga harus terus dikembangkan sebagai kebutuhan pokok, maksudnya bukan serta merta meninggalkan prioritas dan memilih melakukan urgensi yang kurang tepat. Namun, kegiatan membaca dilaksanakan secara kolektif — dilakukan berdasar kemampuan sendiri, berdasar oleh apa yang digeluti dan menjadi lingkungannya dalam bersosialisasi. Tentu tidak mungkin, kita sebagai orang terdidik mendiskusikan masalah kurikulum pendidikan kepada seseorang yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah.

Pergulatan proses pemikiran seseorang akan terbentuk ketika ia belajar mengenali dan berusaha mengembangkan dirinya agar sesuai dengan kondisi lingkungannya. Dan sekali lagi membaca tidak hanya sekedar aktivitas memungut teks; membaca merupakan bentuk upaya manusia berusaha memanfaatkan kemampuan akal dan indrawinya untuk mengukuhkan dirinya sebagai manusia. Makhluk berakal.

Menjadi Objek dan Subjek Bacaan

Terkait dengan membaca, saya amat tertarik dengan sosok Mbah Nun atau Emha Ainun Nadjib yang terkenal sebagai seorang penulis yang sangat produktif dalam menghasilkan ribuan jenis tulisan dan puluhan buku yang beberapa sudah berkali-kali cetak ulang. Bukan tentang tulisannya, tapi pada bagaimana cara membaca dan proses kreatif seorang Mbah Nun dalam menghasilkan karyanya tersebut.

Jadi apa resepnya? Bagaimana cara yang dilakukan Mbah Nun untuk dapat membaca dan memahami berbagai bidang dalam kepenulisannya?

Saya agak terkejut ketika membaca artikel Mas Rony K. Pratama yang berjudul Dari Membaca ke Menulis, Menangkap Jejaring Tanda? Mbah Nun mengakui jika beliau hanya membaca lima buah buku saja, apalagi buku tersebut beberapa di antaranya adalah cerita silat. Tentu agak mengejutkan mengingat bagaimana tulisannya yang sangat luas cakupannya pada berbagai bidang ilmu, berbanding terbalik dengan apa yang dibaca. Tidak cukup sampai disitu, beliau juga sangat kreatif dalam menulis, bahkan dalam kondisi apapun. Pernah suatu kali beliau menulis dengan mesin tik di pangkuannya sambil mengobrol bersama seseorang, lalu berselang beberapa jam lahirlah tiga hingga lima esai yang ditulisnya dengan kondisi pikiran terbagi tersebut.

Dari pengalaman beliau dapat ditangkap bahwa dalam proses riset, observasi, dan produktif dilakukan secara giat dan terus-menerus. Ada permasalahan yang tanpa disadari kerap terjadi, bagi orang yang membaca buku mungkin akan masuk ke dalam setiap untaian kalimatnya, untuk kemudian ikut arus agar mengetahui bagaimana seluk-beluknya dari tiap-tiap halaman.

Tanpa pernah kita sadari, sebenarnya dari hal tersebut juga yang menentukan pikiran kita untuk selalu berkonteks pada textbook, yang mana dalam cara membaca demikian kita lupa cara untuk keluar dari suatu buku tersebut. Lupa bagaimana pengaplikasiannya, menerapkan sesuai proporsi, memilah, atau bahkan menilai mana yang perlu dan tidak perlu. Sebagian besar yang dilakukan adalah dengan hanya sekilas proses menilai atau membandingkan dengan buku yang serupa, tanpa pernah dilihat bagaimana korelasi yang terdapat dalam kenyataannya.

Ternyata yang dilakukan bagi sebagian orang ketika membaca adalah tidak pernah keluar dari konteks untuk menyocok-nyocokan ke dalam kehidupan nyata, paling yang didapat adalah gagasan abstrak yang masih menjadi konsep yang tidak bisa dielaborasikan maupun diaplikasikan ke dalam realitas sesungguhnya, hanya berhenti di kepala saja.

Hal tersebut disebabkan Mbah Nun selalu mengamati fenomena sosial dengan saksama, sebagaimana dijelaskan dalam artikel di atas; …definisi membaca kita selama ini, yang bukan sekadar membaca dalam pengertian tertulis, melainkan juga membaca “jejaring tanda” yang terhampar di sekitar kita. Kategori tanda ini bermacam-macam: gerak, visual, oral, tulisan, tubuh, perabaan, emosional, rasio, rasa, spiritual, dan lain sebagainya.”

Saya menangkap bahwa ketika membaca sebagian dari pikiran kita menutup akan potensi untuk menjamah informasi lain secara acak sebagai proses penjamahan akal. Ketika membaca kita mencegah hal tersebut terjadi dengan alasan menjadi tidak fokus, bacaannya tidak akan cepat selesai, atau bahkan keluar konteks bacaan. Dari sini jelas terlihat bahwa masih terjadi konservatisme yang menyekat bacaan dan mencegah imajinasi bekerja.

Pola pikir demikian adalah salah, sebagian orang lebih mengejar sebanyak mungkin informasi agar dapat mengetahui berbagai banyak hal. Padahal jika ditelaah lagi, informasi adalah benda sporadis yang terkadang tidak terikat satu dengan yang lain, sehingga dengan terlalu banyak informasi tanpa ada instalasi dalam mengolahnya justru akan membingunkan sendiri, atau bahkan menyesatkan. Sebaliknya kita melupakan proses penjamahan akal untuk bekerja menjamah setiap hal yang berkorelasi dengan bacaan terkait, sehingga dengan penggunaan akal yang terarah sesuai fakta dan bacaan akan menuntun pada informasi yang lengkap.

Informasi bersifat seperti air, jika terlalu sedikit maka pikiran akan kerontang, tetapi jika terlalu banyak maka akan menenggelamkan. Maka dari itu, membatasi diri dari informasi penting perananannya dan bebaskan diri untuk mendayagunakan akal yang terarah dan step by step itu perlu.

Penting untuk mengerti bagaimana posisi ketika membaca, apakah sebagai subjek atau objek. Posisi tersebut menentukan perspektif dan implikasi terhadap bacaan. Tergantung penempatannya bagaimana, yang jelas membaca haruslah dikondisikan dengan tidak menjadikannya hanya berhenti pada teks saja. Masih banyak bagian lain setelah membaca; menulis, mengamalkan, menyampaikan, memperdebatkan, mendiskusikan, dan lain sebagainya.

Satu hal yang perlu dicermati, tidak “membaca” berarti menuntun diri pada dekadensi akal dan moral. Ketika kita berhenti “membaca”, secara tidak langsung kita telah beranjak meninggalkan eksistensi makhluk berakal.

Lainnya