CakNun.com

Memasuki dan Menghidupkan Rest Area Sejarah

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 7 menit
Photo by Tom Fisk from Pexels

Tradisi Memasuki Rest Area Sejarah

Bagi aktivis pengajian atau ngaji bareng model Maiyahan, kegiatan memasuki rest area sejarah sudah menjadi tradisi yang menyegarkan jiwa dan menggembirakan hati. Aktivis pengajian Mocopat Syafaat, misalnya, setiap tanggal 17 mereka selama paling tidak 7 jam keluar dari jalan tol sejarah tempat manusia-manusia abad ini membalapkan kendaraan kepentingan pribadi dan kelompok menuju ke arah depan tempat finish bernama sukses duniawi ditargetkan.

Aktivis pengajian Mocopat Syafaat itu, demikian juga aktivis pengajian Padhangmbulan, Kenduri Cinta, Gambang Syafaat, Bangbang Wetan, dan lainnya yang tumbuh di banyak titik kordinat kebajikan di tanah air, selama tujuh jam itu keluar dari tol sejarah memasuki rest area sejarah. Mereka keluar dari arus sejarah yaitu arus waktu dan arus ruang, arus media, arus hiburan, arus kerja, arus pergunjingan, arus intai-mengintai orang lain dan arus kepentingan duniawi untuk masuk ke dalam rest area sejarah bernama Ngaji Bareng, melingkar dalam kebersamaan dengan menu hidangan lezat rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Kanjeng Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam dalam bentuk sajian lagu, pujian, nada, dialog segar dan kadang hangat yang sepertinya tanpa tema karena menyangkut semua tema yang biasa dirumuskan oleh manusia.

Ketika berada di rest area sejarah ini, yang dilakukan bukan berarti mengistirahatkan atau menonaktifkan dan meng-offline kesadaran, masalah, ilmu, hikmah, hasrat menjelajah ke dalam kedalaman pengahyatan rohani dan sebagainya. Di dalam resta area ini para aktivis dan penggiat pengajian Maiyahan justru gembira, asyik, dan aktif melakukan kerja-kerja spiritualisasi hal-hal yang selama ini tampak fisik sekali, melakukan transendensi hal-hal yang selama ini hadir di ruang profan dan sangat berwajah sekuler, melakukan humanisasi yang religius atas peristiwa sehari-hari dan melakukan liberasi atau memerdekakan kembali kata dan makna serta simbol-simbol yang selama ini telah dipenjara, dijajah, dan ditelikung oleh rezim kuasa bahasa, kuasa ekonomi atau kuasa politik atau kuasa hukum dan kuasa sejarah itu sendiri. Selain itu teman-teman juga melakukan penganyaman kembali pengetahuan yang selama ini dipisah-pisah menjadi serpihan pengetahuan, nglumpukke balung pisah nilai untuk dikonstruksi kembali menjadi bangunan nilai yang utuh. Dilengkapi dengan upaya menggosok dan menjernihkan kembali rasa cinta dan rindu kepada Tuhan dan Rasul-Nya bagai menggosok intan permata dan mutiara-mutiara bermakna dalam kehidupan.

Setelah pengajian berakhir, para aktivis Ngaji Bareng Maiyahan ini sadar atau tidak sadar sudah bertambah luas wawsannya, bertambah matang emosinya, bertambah dewasa beragamanya, dan bertambah seimbang dalam memandang segala persoalan yang mampir dalam kehidupannya. Mereka, ketika setelah bersalaman dengan Mbah Nun dan para sahabatnya kemudian menuju tempat parkir sesunguhnya telah menjadi manusia baru. Rest area sejarah bernama Ngaji Bareng betul-betul hadir sebagai the real rest area. Menyegarkan, menggembirakan, menambah stamina batin dan menggemuruhkan spirit dan daya hidupnya juga daya mengabdinya kepada Tuhan dan kemanusiaan. Ini yang menyebabkan ketika mereka kembali memasuki jalan tol sejarah mereka telah siap dan percaya diri. Mereka menjalani dan menjelajahi rute kehidupan di jalan tol sejarah itu dengan santai dan tidak terpegaruh oleh bersliwerannya para pembalap kehidupan di sekitarnya. Mereka tidak lagi gumunan dan tidak lagi kagetan dan tidak lagi mumetan melihat kahanan di sekitarnya.

Pandemi sebagai Rest Area Sejarah

Munculnya pageblug Coronavirus di tahun ini sesunguhnya dapat dihayati dan dipahami sebagai rest area sejarah. Bagi aktivis dan penggiat Ngaji Bareng Maiyahan ini tidak mengejutkan dan tidak membuat mereka gumun, karena secara periodik mereka telah melakukan simulasi memasuki rest area sejarah semacam ini. Perlu dipahami bahwa rest area dalam konteks ini adalah tempat istirahat sejenak dari perjalanan jauh yang gaduh dan menegangkan di jalan tol sejarah. Di jalan tol sejarah tempat manusia beradu cepat saling menyalip saling meneriakkan klakson kebenaran masing-masing kadang saling mensabotase kendaraan yang berada di belakang atau di samping sambil beradu tinggi bendera kelompok masing-masing sambil terus tancap gass pol dengan penuh semangat dan keyakinan bahwa masa depan yang benar adalah masa depan yang ditempuhnya sendiri.

Tidak mengherankan jika dalam jalan tol sejarah banyak terjadi kecelakaan sejarah karena salah konsep salah kata salah perbuatan dengan korban sejarah yang sering merangkap menjadi pelaku sejarah itu sendiri. Selain banyak terjadi kecelakaan sejarah yang bundet ruwet tumpang tindih sulit sering disederhanakan dengan cara kanak-kanak yaitu menyalahkan orang lain dan alpa menyalahkan diri sendiri, sementara itu polisi sejarah tidak mengusut atau mengadili adanya kecelakaan sejarah ini, malahan kebanyakan polisi sejarah ikut bermain menjadi pelaku dan korban sejarah.

Dengan banyaknya kecelakaan sejarah di tengah perlombaan adu cepat menuju garis finish yang dibayangkan sebagai garis sukses dirinya sendiri bersama kelompok yang menumpang kendaraan sejarahnya sendiri-sendiri semisal partai atau asosiasi atau kartel usaha atau semacam yang lain, maka sepanjang jalan tol sejarah ini jelas atau malahan wajar kalau yang muncul adalah kegaduhan, kebisingan, kehirukpikukan kadang disertai kehirukpikunan dan byar petnya kesadaran sejarah itu sendiri. Sejarah diri sendiri dan kelompoknya menjadi sesuatu yang memabukkan dan lucunya sambil berpacu melaju ke depan di jalan tol sejarah malahan banyak yang justru menjadi pemuja masa silam dan menjadikan masa silam sebagai sumber kebenaran sendiri dan kelompoknya (beneré dhewe dan beneré wong rada akéh) dan ini yang menyebabkan arah kendaraan sejarahnya menjadi ora tau pener akeh lupute.

Bayangkan betapa kisruh dan semrawut suasana ingar-bingar yang terjadi dalam jalan tol sejarah yang dihuni pelaku dan korban sejarah yang seperti ini. Benturan (clash), tabrakan (crash), pertarungan (konflik dalam wajah game play fight combat battle dan wajah war) di tengah jalan tol sejarah membuat makin tidak berbentuk, lomba adu cepat karena disharmoni, anomali, saling mendekonstruksi, saling mendestruksi, saling tuduh intoleransi, saling meneriakkan battle cry sepenuhnya. Kawasan ladang energi yang kaya potensi diperebutkan, dipertaruhkan di meja judi politik dan ekonomi sambil menawarkan gagasan alam lingkungan hidup yang terjaga dan damai. Dan semua kebohongan wacana menjadi bahasa sehari-hari dalam lomba adu cepat di jalan tol sejarah ini.

Risiko, dampak, dan implikasinya adalah banyak yang lupa dengan dirinya sendiri dan misi mulia dia diciptakan sebagai manusia. Para pembalap dan pelaku balapan di jalan tol sejarah yang tanpa pintu tol ini hampir seratus persen memerankan dirinya menjadi sekadar makhluk tujuan makhluk target makhluk kepentingan sempit temporal dan makhluk linier mono-dimensional.

Terlihat dan terasa betapa jahanam suasana dalam tol sejarah ini. Dan ini semua baru disadari ketika kita dipaksa oleh Tuhan sebagai pengendali sejarah untuk memasuki rest area sejarah bernama pandemi atau pageblug Coronavirus ini. Begitu pandemi muncul semua terpaksa menarik rem darurat, masuk rest area sejarah. Sebagian manusia yang memiliki sisa kecerdasan sejarah menggunakan rest area sejarah ini untuk melakukan refleksi dan recovery lahir batin. Mirip kalau kita setelah capek dan tegang membalapkan kendaraan di jalan tol kemudian mampir rest area. Yang pertama dilakukan adalah mencari toilet untuk membuang kotoran yang dihasilkan oleh metabolisme pencernaan tubuh. Kemudian cuci muka, cuci tangan, dan cuci kaki. Setelah itu ada yang memilih berdialog dengan Tuhan (sembahyang dan berdoa), ada yang memilih berdialog dengan lidah, kerongkongan dan perutnya dengan makan minum merokok serta berdialog santai dengan orang lain, ngobrol tanpa tema atau ngobrol dengan tema seadanya atau kalau manusia serius ngobrol dengan tema serius.

Demikian juga yang terjadi dengan pelaku dan pembalap jalan tol sejarah yang dipaksa Tuhan masuk rest area sejarah bernama pandemi atau pageblug Coronavirus ini. Kecerdasan dan kesadaran yang muncul macam-macam. Ada yang langsung memilih menghidupkan kecerdasan dan kesadaran ekonomi. Mereka sambil makan minum dan merokok memikirkan kebutuhan perutnya. Ada yang memilih menghidupkan kesadaran dan kecerdasan kesehatannya. Mereka membuka stok obat pusing atau membeli obat di depot obat, atau sekadar membeli koyo atau minyak gosok atau Antangin atau sekadar permen Davos, atau mencari madu atau jamu herbal dan minuman penyegar tubuh semacam beras kencur, kencur jahe, atau kunir asem. Waktu ngobrol pun mereka ngobrol tentang kesehatan dan bagaimana melakukan recovery kesehatan. Adapun mereka yang sehabis ke toilet ingat dan sadar kalau di dekat toilet ada mushola atau masjid yang sengaja dibangun di rest area untuk mengistirahatkan pikiran yang kemrungsung dan hati yang galau. Di mushola atau masjid ini mereka menghidupkan kecerdasan dan kesadaran spiritual mereka.

Mereka ada yang serius melakukan refleksi atas perjalanan mereka melewati jalan tol sejarah tadi. Kemudian mencoba mengukir nasibnya rencana kegiatan pasca kegiatan di rest area sejarah usai.

Agenda Pemikiran dan Agenda Kegiatan

Yang menjadi masalah bagi semua pembalap jalan tol sejarah ini adalah kalau misalnya mereka dipaksa berada di dalam rest area sejarah ini selama dua tahun. Kalau berada di rest area sejarah selama satu dua jam tidak terlalu masalah, mereka pasti mudah menghidupkan dan menggunakan instrumen kesadaran dan kecerdasan mereka masing-masing. Lha kalau misalnya, jangka waktu berada di rest area sejarah ini dua tahun misalnya, apa yang harus diperbuat setelah instrumen kesadaran dan kecerdasan masing-masing berhasil dihidupkan dan dipulihkan kembali? Kan tidak mungkin selama dua tahun berada di toilet, dua tahun makan Indomie rebus, bakso atau lotek dilengkapi minum kopi, teh atau jus dan mengobrol hal yang remeh-remeh. Juga tidak mungkin membahas soal kebutuhan perutnya, kebutuhan kesehatannya, kebutuhan untuk menambah kecerdasan, dan kesadaran kemanusiaannya, dan menyegarkan kesadaran dan kecerdasan spiritualnya sendiri-sendiri.

Waktu dua tahun adalah waktu yang memadai bagi pembalap jalan tol sejarah ini untuk melakukan refleksi yang optimal sekaligus maksimal. Misalnya mereka membangun kesadaran dan kecerdasan bahwa ketika Tuhan melempar mereka di rest area sejarah ini sesungguhnya terkandung maksud agar mereka berpikir dan berbuat untuk melampaui kepentingan dirinya sendiri memasuki alam kepentingan bersama, bersama manusia lain, bersama alam semesta yang tengah memulihkan dan memurnikan diri saat pandemi Coronavirus dan bersama Tuhan sebagai pengendali sejarah (innallaha ‘ala kulli syaiin qodiir).

Dengan demikian kalau kita sadar tengah berada dan telah memasuki rest area sejarah maka kalau kita benar-benar memiliki kecerdasan dan kesadaran sejarah yang penuh maka kita akan paham bahwa tugas kita adalah menghidupkan rest area sejarah ini dengan hal-hal positif.

Waktu dua tahun cukup untuk menanam dan menyirami benih ide-ide besar dan ide mulia dalam diri kita. Waktu dua tahun cukup untuk melakukan dialog terbuka dan jujur untuk kepentingan bersama dengan merumuskan kebijakan yang bijak bagi semua. Waktu dua tahun cukup untuk melakukan refleksi historis bangsa ini dengan penuh kerendahan hati dan memproduksi langkah perbaikan sebagai kelanjutan taubat kita semua atas kesalahan dan kekhilafan kita di masa silam. Waktu dua tahun cukup untuk merundingkan semua, waktu yang cukup untuk memasak kesepakatan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara secara dewasa dan bermartabat. Waktu dua tahun cukup untuk menyeimbangkan kesadaran dan kecerdasan kita terhadap masa silam, masa kini, dan masa depan nanti. Dengan demikian kita nanti bisa berbagi tugas sesuai dengan kemampuan dan kompetensi masing-masing. Kalau perlu koridor jalan tol sejarah ini kita buka dan kita perlebar selebar mungkin sehingga pasca adegan di rest area sejarah ini semua kebagian tempat sesuai jalur masing-masing tanpa harus memaksakan clash, crash, dan konflik yang tidak perlu.

Jalan tol sejarah pasca rest area sejarah ini akan terasa dan tampak lebih indah, lebih damai, lebih toleran, lebih produktif dan kreatif bagi semua.

Yang agak mencemaskan dan menggemaskan saya adalah, setelah dua tahun ini kita akan memasuki awal tahun 2023. Jegagik, jebulane hampir pemilu dan pilpres lagi. Kalau begitu rest area sejarah ini bisa sia-sia sebagai rest area sejarah kalau diperlakukan sebagai busy area sejarah, area kegaduhan sejarah seperti yang terjadi di jalan tol sejarah selama ini. Godaan yang menghadang di tengah rest area sejarah ini bisa diatasi atau malah menjadi alat manipulasi kepentingan politik, kita tidak tahu pasti. Kita hanya perlu mengingat bahwa gempa bumi dan tsunami di Aceh tahun 2004 dulu pada hakikatnya adalah rest area sejarah, yang ternyata bisa dimanfaatkan oleh para negarawan untuk menciptakan perdamaian permanen lewat perundingan.

Yogyakarta, 17 September 2020

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Fenomena Emha

Fenomena Emha

Ketika kondisi sosial  politik dan birokrasi menjadi begitu angkuh dalam menghadapi manusia, kita akan terkenang kepada puisi-puisi Emha, seperti juga kita mengingat karya-karya Rendra atau Taufiq Ismail.

Halim HD
Halim HD