Memandang Manusia sebagai Ahsani Taqwim dan Implikasinya untuk Kehidupan Keagamaan
Pengantar Redaksi: Untuk memperingati 40 Hari Wafat Syaikh Nursamad Kamba, caknun.com menerbitkan secara terbatas buku berjudul Yang Terhormat Syaikh Nursamad Kamba. Selama beberapa hari ke depan, tulisan-tulisan dalam buku tersebut kami hadirkan pula melalui rubrik Menek Blimbing.
Pada pertengahan 2018, Cak Nun meminta saya mewawancarai Syaikh Nursamad Kamba. Saat-saat itu, Majelis ilmu Maiyah sedang banyak mendiskusikan ihwal manusia sebagai ahsani taqwim (sebaik-baik makhluk yang dicipta Tuhan). Dalam bahasan seputar manusia dan agama itu, kita mendapatkan salah satu pesan Cak Nun kepada kita agar kita belajar terlebih dulu menjadi manusia, baru masuk ke bagaimana (detail atau rincian) beragama, justru supaya output beragama kita nanti baik dan bijaksana.
Dengan ungkapan lain, sebenarnya kita dianjurkan terlebih dahulu mengerti filsafat manusia, di mana tercakup di dalamnya bagaimana pandangan Tuhan sendiri tentang manusia sebagai ciptaan-Nya. Salah satu pandangan Tuhan tentang manusia adalah manusia dicipta-Nya sebagai sebaik-baik makhluk atau ahsani taqwim. Pada topik ahsani taqwim itulah saya diminta menggali pandangan Syaikh Nursamad Kamba.
Melalui tulisan singkat ini, saya ingin membagikan beberapa butir pandangan Syaikh Nursamad Kamba tentang ahsani taqwim tersebut sekurang-kurangnya menurut yang saya mampu menangkapnya. Paparan tentang ahsani taqwim ini pun sebenarnya baru merupakan sebagian kecil dari yang saya peroleh dari dua jam lebih mewawancarai beliau pada Minggu siang itu di rumah beliau di Jakarta dengan ditemani sahabat Fahmi Agustian Kenduri Cinta.
Sharing ini juga saya maksudkan untuk menambah entri ke dalam daftar deretan gagasan Syaikh Nursamad Kamba yang mungkin sudah teman-teman Jamaah Maiyah dapatkan lewat menyimak uraian-uraian beliau di forum-forum Maiyahan atau Sinau Bareng maupun melalui tulisan-tulisan beliau. Selain itu, tulisan ini juga sekaligus secara pribadi saya maksudkan untuk turut menyadari bahwa sesungguhnya apa yang beliau kemukakan selama ini semakin terasa mencerminkan suatu konstruksi pemikiran keagamaan yang solid, visioner, baru, dan kritikal. Lewat gagasan-gagasan itulah, kita diajak memandang secara lebih jernih bangunan keagamaan yang selama ini kita jalani.
Dari pandangan-pandangan beliau kita mengenal ungkapan seperti, “Tuhan tak bisa dikonsepsikan” dan “agama yang diinstitusionalisasikan”. Dua ungkapan berbobot konseptual ini pun secara pribadi saya baru mendengarnya dari beliau. Dengan perspektif dua ungkapan itu kita mendengarkan kritik-kritik beliau tentang doktrin-doktrin keagamaan yang selama berabad-abad terbentuk yang ternyata menyisakan berbagai persoalan yang perlu dijawab, dan di situ beliau menyadarkan kita akan sejumlah asumsi problematis yang telah tertanam dalam diri kita dan perlu dibenahi.
Demikian pula, hal yang sama (pandangan kritikal) kita peroleh dari penjelasan Syaikh Kamba mengenai manusia sebagai ahsani taqwim. Selain itu, di sini kita mendapatkan wawasan yang menempatkan ahsani taqwim sebagai sudut pandang paradigmatik, dan dalam kaitan dengan kehidupan beragama sehari-hari kita sudut pandang ini sangat berhubungan alias relevan alias dibutuhkan.
Ahsani Taqwim sebagai Paradigma
Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Allah di dalam surat at-Tiin, laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwim, Syaikh Kamba berpendapat bahwa semestinya kita pun mempersepsikan manusia sebagai makhluk yang sempurna dengan implikasi logis berupa tidak selayaknya kita memandang orang lain tersesat atau kurang mampu.
“Jadi jangan ada orang yang menganggap orang lain tersesat atau kurang mampu. Masalahnya adalah terlalu banyak orang yang ingin memperoleh kekuasaan dengan mengatur orang lain. Padahal Tuhan telah menciptakan manusia sebagai makhluk sempurna,” kata Syaikh Kamba. Rasanya benar peryataan beliau. Bukankah kita suka usil dengan mengomentari, misalnya, ibadah orang lain yang kebetulan secara furu’iyah berbeda dengan kita, atau kita merasa golongan kita lebih tepat dalam memahami agama, atau yang lain lagi kita cenderung gampang menuduh orang lain kurang Islam, atau bahkan sesat, dan sikap lain yang sejenis.
Bila tidak seyogianya relasi antar manusia berlangsung seperti itu adanya, maka di sini kemudian timbul pertanyaan, “Lantas apa yang dikehendaki Tuhan kepada manusia dalam konteks ini?” Menurut Syaikh Kamba, yang diinginkan Tuhan adalah interaksi yang setara di antara sesama manusia. Contoh terapan yang sederhana, misalnya, adalah proses belajar. Di dalamnya tidak perlu ada konsep menggurui, tetap semangat bersama membuka wawasan atau membuka kesadaran diri.
Dalam pandangan Syaikh Kamba, relasi yang tidak setara terjadi karena pelembagaan atau institusionalisasi agama. Untuk memperjelas hal ini, Syaikh Kamba menekankan perlunya kita membedakan antara ‘ agama yang dianut seseorang’ dengan ‘ agama sebagai institusi sosial yang merupakan afiliasinya’ . Pemilahan ini penting, sebab menurut Syaikh Kamba pada institusionalisasi agama inilah banyak terjadi unsur eksploitasi dan manipulasi.
Untuk memberikan gambaran bagaimana sebaiknya manusia dipersepsikan — dan ternyata institusionalisasi agama justru mempersepsikan secara berbeda dari seharusnya manusia dipersepsi — Syaikh Kamba mengajak kita menyusur pelan-pelan dari satu asumsi yang beliau terangkan seperti ini, “Kalau Tuhan menginginkan hidup itu sebagai drama, yaitu di situ ada yang diberi peran yang disebut peran kejahatan dan sebaliknya ada yang memerankan kebaikan, tapi Tuhan pula yang membiarkan itu terjadi.”
Sampai di sini, barangkali kita akan menyangka Syaikh Kamba terseret kepada pandangan fatalisme atau Jabariyah yang mengatakan semua yang dilakukan manusia itu sudah ditentukan Tuhan, dan bahwa manusia tidak punya kedaulatan apa-apa. Tetapi, menariknya, bukan ke situ arah kesimpulan Syaikh Kamba, melainkan ke sini: “Jadi, kesimpulannya begini. Bahwa kalau Tuhan menurunkan wahyu, petunjuk, dan ajaran, itu supaya manusia tertuntun tapi bukan seluruhnya. Yang sudah baik-baik ya sudah, silakan.”
Sampai di sini pula, mungkin kita terjebak untuk menggugat dengan mengatakan bahwa berarti yang baik-baik tidak memerlukan wahyu? Lagi-lagi, bukan ke sana arah kesimpulan lebih lanjutnya. Syaikh Kamba kemudian memberikan contoh, “Misalnya begini, yang sederhana saja. Ada orang hidup di tengah-tengah tradisi dan kebudayaan yang sudah bagus sejak dia lahir. Kemudian dia menempuh pendidikan sekolah dan bagus pula prestasi pendidikannya. Lantas setelah itu dia berhasil mencapai taraf hidup yang juga bagus. Terus nanti datang “ustadz” kepada dia yang membuat dia merasa belum beragama sepanjang hidupnya. Akibatnya, sepanjang hidup sukses itu tidak dipaham bahwa dia hidup dalam agama yang diinginkan Tuhan. Dia harus menunggu “ustadz” itu “membaptis” atau mendidiknya, baru dia merasa beragama, baru dia bisa merasa dekat kepada Tuhan, padahal sepanjang hidupnya dia dekat dengan Tuhan. Ini terjadi karena ulah institusionalisasi agama.”
Selain menggambarkan proses institusionalisasi agama yang jarang kita sadari, penjelasan Syaikh Kamba di atas juga mengingatkan kita bahwa hal-hal baik dan positif yang ada dalam diri seseorang (kerja keras, berprestasi, dll) atau masyarakat yang tidak kita anggap sebagai bagian esensial dari agama. Padahal semua karakter atau kondisi semacam itu adalah bagian substansial yang diharapkan Tuhan untuk berlangsung di dalam kehidupan manusia di dunia ini.
Syaikh Kamba lebih jauh mengatakan, orang tidak pernah berhenti didekati oleh “ustadz-ustadz” itu sekadar untuk mengejar supaya orang yang didekati itu mau melakukan apa-apa yang berkaitan dengan ajaran agama sesuai pandangan atau kecenderungan kelompok di mana “ustadz-ustadz” itu berafiliasi.
Lebih lanjut, merefleksikan situasi institusionalisasi agama seperti itu, Syaikh Kamba membayangkan Tuhan berkata, “Biarin saja. Yang perlu kamu lakukan adalah mengajarkan interaksi yang setara di antara manusia. Jadi, tak ada yang namanya menggurui satu orang ke orang lainnya apalagi menjadikannya sebagai gembala yang digiring ke sana ke sini.”
Tepat pada titik ini, Syaikh Kamba menguraikan bahwa persepsi bawah sadar institusionalisasi agama terhadap manusia sama seperti peradaban modern yang menciptakan kapitalisme di mana paradigmanya adalah ada kelompok orang yang bodoh dan ada kelompok lain yang cerdas, kemudian yang cerdas menggiring yang bodoh sehingga terjadilah manipulasi dan eksploitasi.
Di situ Syaikh Kamba menangkap ironi, bahwa jika sekelompok orang masih menjalankan paradigma superioritas atas orang lain — mereka tak layak bicara tentang manusia sebagai makhluk terhormat, karena kenyataannya mereka merendahkan manusia, dan parahnya pada saat bersamaan mereka bicara tentang kehormatan manusia.
Makhluk Ketuhanan
Menurut Syaikh Kamba, fitrah atau kondisi dasar manusia adalah Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk sempurna. Manusia adalah makhluk ketuhanan. Syaikh Kamba mengajak kita merunut ke belakang. Di situ, ada beberapa versi mengenai asal-mula penciptaan, tetapi yang lebih universal atau umum adalah pandangan yang menggambarkan bahwa pada mulanya hanya ada Tuhan, sebelum segala yang lain diciptakan-Nya.
Seluruh ciptaan yang ada ini sesungguhnya merupakan ide-ide yang ada dalam diri Tuhan, termasuk manusia. Tentang hal ini, Syaikh Kamba menerangkan dua jenis wujud: wujud potensial dan wujud aktual. Pada kasus manusia, wujud potensial adalah sesuatu yang tergagas oleh manusia dan gagasan itu ada dalam pikiran. Umpamanya, gagasan tentang kursi. Jika kita hendak membuat kursi, maka di dalamnya terlibat unsur-unsur yang dibutuhkan, mulai dari kayu sebagai bahannya hingga alat-alat pendukung yang dibutuhkan.
Gagasan (wujud potensial) tentang kursi akan menjadi atau menjelma benar-benar kursi (wujud aktual) manakala oleh ‘penciptanya’ gagasan tadi dicahayainya. Begitulah Syaikh Kamba menggunakan istilah yang dirasa sangat mewakili dan lebih pas itu: mencahayai. Yakni, mengalihkan wujud potensial menjadi wujud aktual. Hakikatnya seperti itu pula penciptaan makhluk oleh Tuhan.
Syaikh Kamba menjelaskan bahwa pada mulanya Tuhan memiliki ide paling awal, yakni Dirinya adalah Tuhan. Kesadaran Diri sebagai Tuhan pada gilirannya berimplikasi pada ide tentang ciptaan. Tuhan menciptakan ciptaan-Nya. Logikanya, buat apa Dia punya ide tentang Tuhan kalau tidak ada ciptaan-Nya.
Seluruh ide tentang penciptaan ada dalam Diri-Nya. Di sinilah, menurut Syaikh Kamba, terletak Nur Muhammad yang menjadi sebab bagi semua keberadaan, di mana konsepsi tentang Nur Muhammad ini sering pula disebut dan diuraikan Cak Nun dalam berbagai forum Maiyah.
Demikianlah, menurut Syaikh Kamba, seluruh yang aktual ini ada karena Tuhan mencahayai ide-ide-Nya. Itulah yang terjadi di seluruh alam semesta. Apapun yang terjadi itu adalah ide yang ada dalam diri Tuhan yang dicahayai-Nya. Analoginya seperti ruang yang gelap. Begitu masuk cahaya matahari, mata kemudian bisa melihat ada dinding, meja, kursi, dll. Tuhan mencahayai wujud-wujud potensial atau ide-ide-Nya dengan Nur Muhammad.
Dalam cara dan konteks seperti itulah Tuhan menciptakan manusia. Malahan manusia dicipta dengan memiliki ‘kelebihan’ dibanding ciptaan lainnya. Hal itu bisa dilihat dari implikasi proses penciptaan manusia, yaitu ketika Tuhan ingin bercermin melihat diri-Nya yang aktual, dia memandang kepada manusia dan bukan yang lain. Sebab, menurut Syaikh Kamba, dalam diri manusia terserap seluruh intisari keberadaan yang ada, baik yang menyangkut jiwa, yang bergerak, dan sistem jaringan yang ada di alam semesta. Semua unsur itu ada pada manusia. Artinya, ketika Tuhan ingin melihat alam semesta dalam kedahsyatannya, Dia memandang manusia. Bahwa ketika Tuhan hendak bercermin melihat diri-Nya yang aktual maka Dia melihat manusia dapat kita pahami pula melalui Hadis Qudsi yang mengatakan: Khalaqal Insana ‘ala shuratihi (Tuhan menciptakan manusia dalam image diri-Nya). Alhasil, menurut Syaikh Kamba, manusia sebagai ciptaan Allah bukanlah makhluk sembarangan.
Nurani, Dua Cahaya dalam Satu Diri
Setelah menguraikan posisi penciptaan manusia di hadapan Tuhan, selanjutnya Syaikh Kamba membawa kita kembali kepada adanya peran baik dan buruk. Pertanyaannya, mengapa semua yang buruk-buruk terjadi dan apa implikasi atau kelanjutannya. Syaikh Kamba menggambarkan kelanjutan tersebut, “Karena Tuhan membikin peran-peran yang sudah kita sebut di awal (yaitu peran baik dan jahat), maka kemudian Allah menurunkan Kitab Suci untuk menunjuki orang-orang yang kurang baik itu (perannya). Artinya, ada orang-orang pilihan, seperti Nabi dan para wali, yang mereka semua dari sononya sudah terjaga. Sementara di luar Nabi dan wali terdapat orang-orang yang menjadi contoh dari apa yang saya sebut sebagai kebangkitan nurani. Sebab, pada akhirnya Tuhan menginginkan supaya nurani manusia itu muncul dan bangkit.”
Bagi Syaikh Kamba, nurani sangat penting posisinya, sebab melalui nurani terjadi apa yang beliau sebut sebagai pencerminan-pencerminan. Jika Tuhan hendak bercermin melihat diri-Nya, Dia melihat manusia, kemudian bila manusia ingin bercermin melihat dirinya, dia akan melihat nuraninya. Karena itulah, menurut Syaikh Kamba, “Nurani adalah dua cahaya, yaitu cahaya Tuhan dan cahaya dalam diri manusia yang bertemu dalam satu wadah. Pentingnya nurani bisa dilihat dari filosofi cermin, yaitu manakala seseorang memandang ke cermin, bukan cermin itu sendiri yang tampak, melainkan diri orang itu apa adanya. Bukan hasrat-hasrat, keinginan-keinginan, dan bukan kumulasi dari seluruh sifat-sifat yang muncul dari diri yang bersifat fisik. Nurani adalah cermin di mana manusia atau seseorang melihat dirinya secara sejati. Mengapa? Karena dia sedang bercermin kepada Tuhan.”
Demikianlah posisi manusia di hadapan Tuhan, mulai dari manusia sebagai cermin bagi Tuhan, manusia dicipta dengan image-Nya, manusia sebagai makhluk yang pada dirinya terserap unsur-unsur keberadaan hingga manusia sebagai pemilik nurani, yang seluruhnya menempatkannya sebagai ahsani taqwim.
Paradigma Mendahului Penafsiran
Sesudah menyelami manusia sebagai ahsani taqwim, Syaikh Kamba membawa kita melihat Al-Qur’an dalam cara lain, tentu saja tanpa bermaksud menegasikan cara-cara yang sudah ada. Titik tolaknya adalah asumsi atau paradigma bahwa Tuhan memandang manusia sebagai ciptaan atau makhluk yang sempurna itu sendiri. Menurut Syaikh Kamba, implikasi asumsi yang demikian itu adalah ketika Tuhan menurunkan Al-Qur’an, maka pesan-pesan Tuhan di dalamnya, misalnya pesan berupa perintah, juga mesti dibaca sesuai perspektif asumsi tersebut.
Artinya, perintah-perintah itu, dalam pemahaman Syaikh Kamba, sejatinya bukanlah perintah, melainkan ajakan. Mengapa selama ini “kata perintah” dipahami sebatas perintah? Tidak lain disebabkan oleh pandangan kita bahwa Al-Qur’an yang berbahasa Arab pasti dengan sendirinya tunduk kepada kaidah bahasa Arab. Menurut Syaikh Kamba Al-Qur’an yang memang berbahasa Arab itu tidak sepenuhnya tunduk dan terikat kepada kaidah bahasa Arab. Biar bagaimanapun kaidah-kaidah kebahasaan adalah rumus yang dibuat manusia, sedangkan Al-Qur’an adalah Kalamullah sehingga kurang makes sense jika firman-firman Allah terbatasi oleh sesuatu yang dibuat oleh manusia.
Sebagai contoh, kaidah ushul fikih menetapkan al-Amru lil-wujub (rumus dasar dalam Al-Qur’an: jika ada teks kata perintah di dalamnya, maka ia menunjuk kepada hukum wajib) adalah turunan dari pemahaman kata perintah dalam Al-Qur’an yang menggunakan kaidah bahasa. Bagi Syaikh Kamba hal ini kurang bisa diterima dalam memahami posisi pesan-pesan Allah. Lebih jauh, beliau mengungkapkan jika memang Allah memerintahkan (mewajibkan), mengapa bisa ada orang yang tidak menjalankan atau mematuhinya. Sementara, di sisi lain Allah menegaskan bila diri-Nya memerintahkan sesuatu (amr/kun), maka pasti akan terlaksana (fayakun).
Dalam pandangan Syaikh Kamba, kata-kata perintah di dalam Al-Qur’an yang selama ini diartikan sebagai kewajiban yang harus dilakukan setiap orang atau setiap Muslim lebih pas diartikan sebagai ajakan. Allah mengajak manusia. Penafsiran ini konsisten atau sejalan dengan asumsi bahwa Tuhan menjadikan manusia sebagai makhluk yang sempurna, ahsani taqwim, di mana selayaknya manusia diberi kebebasan untuk memilih. Allah menawarkan ajakan, menyampaikan petunjuk, menginformasikan konsekuensi atas pilihan-pilihan yang ada di hadapan manusia, karena Allah telah menetapkan kodrat atau fitrah manusia sebagai makhluk sempurna yang layak dipercaya mampu memilih dan menggunakan nuraninya untuk merespons ajakan Allah.
Menurut Syaikh Kamba ayat-ayat Al-Qur’an sangat banyak mengisyaratkan bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna. Selain itu, ayat-ayat Al-Qur’an juga memberikan contoh bagaimana Allah sendiri menempatkan manusia dalam relasi interaksi yang enak dan lebih banyak diwarnai sikap memuliakan manusia, seakan Allah selalu menjaga asumsi manusia adalah makhluk sempurna.
Bila hal itu dikaitkan dengan penafsiran Al-Qur’an, pemahaman Syaikh Kamba tentang kata perintah yang dimaknai sebagai ajakan bukan perintah, menyodorkan satu contoh tentang lebih dahulunya paradigma ketimbang penafsiran. Benar, penafsiran harus dipandu oleh paradigma. Penafsiran bukan semata mengandalkan ilmu bahasa, melainkan melibatkan paradigma-paradigma yang lebih luas dan mendasar tentang Tuhan, agama, manusia, penciptaan, dan lain-lainnya.
Bagaimana Tuhan memandang dan menempatkan manusia itulah yang menurut Syaikh Kamba selayaknya ditiru manusia saat memandang sesama manusia, serta menjadi cara pandang yang mendasari manusia membawakan pesan atau ajakan Tuhan kepada sesamanya. Jika Tuhan memuliakan manusia, maka manusia pun jangan merendahkan manusia lainnya. Penafsiran terhadap teks-teks Al-Qur’an dan penciptaan interaksi antar anggota komunitas di dalam masyarakat pun hendaknya juga ditempuh melalui paradigma yang sama.
***
Dengan sebab-sebab yang telah diuraikan di atas, kini kita sadar telah terperosok jauh dalam keadaan yang oleh surat at-Tiin digambarkan sebagai asfala saafilin, lanjutan ayat laqad khalqnal insana fi ahsani taqwim. Barangkali itu terjadi karena kita memandang rendah manusia yang lain tersebab oleh terlalu besarnya fokus kita kepada kepentingan (golongan) kita sendiri, padahal Tuhan mengasumsikan dan menciptakan manusia sebagai ahsani taqwim. Keberagamaan kita tidak diwarnai oleh interaksi yang setara, enak, dan asik, melainkan dikendalikan oleh sejumlah otoritas yang menjauhkan kita dari bangkitnya nurani. Melalui relasi yang diimpresikan di dalam Al-Qur’an, Tuhan menghendaki nurani manusia bangkit. Kehidupan beragama kita, utamanya dalam konteks hubungan antar personal atau relasi sosial, seyogianya dibangun dengan nurani yang hidup.
Bila kita meyakini dan memandang manusia sebagai ahsani taqwim, maka yang kita bangun adalah interaksi yang setara, interaksi yang tidak mengandalkan kesombongan, interaksi yang tidak memperlakukan orang lain secara lebih rendah.
***
Apa yang disampaikan Syaikh Kamba mengenai manusia sebagai ahsani taqwim ini, selain merupakan paradigma yang perlu kita gunakan dalam berinteraksi dengan sesama manusia, juga merupakan sumbangan penting dalam menafsirkan firman Allah surat At-Tiin ayat 4 dan 5. Lebih dari itu, tulisan ini adalah satu ikhtiar untuk mendokumentasikan warisan pemikiran beliau yang perlu dilakukan pula oleh teman-teman semua.
Yogyakarta, 19 Juli 2020