Melepas Salah Satu Pujangga Jawa
Ijazah Maiyah 2019 adalah satu-satunya momen perjumpaan saya dengan Pak Iman Budhi Santosa. Sebelumnya, saya hanya mengenal beliau melalui karya-karya dan juga cerita dari Mbah Nun, yang notabene merupakan eksponen Persada Studi Klub asuhan Umbu Landu Paranggi di Malioboro. Tentu teman-teman semua sudah banyak pula mendengar cerita mengenai Persada Studi Klub dan juga Malioboro dari Mbah Nun. Kisah-kisah para Sastrawan yang sangat menggairahkan. Betapa kata demi kata begitu indah disusun oleh mereka untuk menjadi sebuah karya sastra yang melegenda. Pada masanya, Malioboro adalah salah satu episentrum Sastra di Indonesia. Hari ini, orang mengenal Malioboro sebatas tempat jalan-jalan semata.
Kesan pertama ketika menjemput Pak Iman di Stasiun Gambir adalah bahwa beliau sosok yang sangat sederhana. Meskipun baru pertama kali bertemu, beliau langsung mencairkan suasana, sehingga tidak ada rasa canggung. Pun ketika saya ajak untuk sekadar mampir di sebuah restoran sebelum menuju ke Hotel, Pak Iman tidak ribet untuk memilih menu makanan. Sembari menunggu pesanan tiba, Pak Iman ngobrol banyak hal mengenai kebudayaan Jawa. Memang agaknya budaya Jawa adalah perhatian utama Pak Iman. Dari hal yang seringkali kita anggap remeh sekalipun, bahkan jarang terpikirkan oleh kita.
Saat itu, Pak Iman bercerita bahwa di rumah beliau, di bilangan Dipowinatan, sering anak-anak muda yang ingin belajar sastra dan puisi berkumpul di rumah beliau. Diskusi berlangsung sejak malam hingga menjelang pagi hari. Bisa dikatakan apa yang dilakukan oleh Pak Iman di kediamannya adalah menyelenggarakan kelas sastra. Satu hal yang sekarang ini sangat jarang ditemui.
Beberapa bulan lalu, kita kehilangan sosok Sapardi Joko Damono, sekarang kita kehilangan Iman Budhi Santosa. Bangsa ini semakin jauh dari kehidupan puisi ketika para legenda puisi meninggalkan kita hanya dengan legacy berupa karya-karya puisi, namun tidak mengamanahkan estafet perjuangan kehidupan puisi kepada generasi selanjutnya.
Pada saat momen makan sore itu, Pak Iman bercerita bagaimana beliau meninggalkan karier sebagai PNS Departemen Kehutanan saat itu, yang kemudian memutuskan untuk menggelandang. Trully menjadi gelandangan. Seperti yang dikisahkan Mbah Nun di tulisan Keindahan Namanya adalah Kemuliaan Hidupnya. Sebuah keputusan radikal yang tidak mungkin semua orang berani melakukannya. Kita semua mafhum bahwa PNS hari ini adalah sebuah karier yang diidam-idamkan banyak orang. Tetapi tidak dengan Pak Iman Budhi Santosa.
Mbah Nun pernah menyampaikan bahwa peradaban manusia saat ini begitu rumit dengan segala konstelasinya; salah satu sebabnya adalah karena semakin berjarak dengan puisi. Dalam salah satu tulisannya, Pak Iman menyebut puisi sebagai salah satu sarana pencerahan spiritual bagi jiwa manusia. Keindahan kata-kata, pesan bahkan penyampaian puisi itu sendiri bisa menjadi salah satu self healing bagi setiap orang. Mestinya demikian.
Tetapi, hari ini kita begitu jauh dari puisi. Terlebih dari dunia sastra.
Mungkin itu sebabnya kenapa kita saat ini sangat mudah terpancing untuk lebih mengedepankan ego kita. Menganggap orang lain yang tidak sependapat dengan kita adalah pihak yang salah, dan menganggap bahwa kita dalah pihak yang benar. Lihatlah atmosfer media sosial yang kita buka setiap hari. Yang disuguhkan adalah konten-konten yang hanya memacu kita untuk mengedepankan ego kita. Tidak mengherankan jika masyarakat kita hari ini sangat mudah dibentur-benturkan satu sama lain. Tidak ada kehidupan puisi di dalamnya. Tidak ada keindahan yang lahir dari pergaulan manusia hari ini.
Jamaah Maiyah sudah sepantasnya bersyukur karena pernah dipersambungkan oleh Mbah Nun dengan Pak Iman Budhi Santosa. Majalah Sastra Maiyah Sabana menjadi hadiah terakhir yang juga adalah kenang-kenangan dari Pak Iman untuk kita semua.
Tahun 2020 benar-benar menjadi ‘Ammul Huzni bagi kita khususnya Jamaah Maiyah. Setelah kepergian Syeikh Nursamad Kamba yang merupakan ahli Tasawuf, kemudian Bunda Cammana yang merupakan pejuang Sholawat, kini kita kehilangan Pak Iman Budhi Santosa yang merupakan seorang legenda Sastra di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu kita juga kehilangan Pak Soegiono yang merupakan salah satu pakar bisnis dan seorang profesional yang berintegritas. Dan kita sudah kehilangan momentum untuk menggali banyak ilmu dari beliau-beliau yang telah pergi ini.
Di tengah hiruk-pikuk situasi hari ini yang secara nasional maupun internasional kita sedang terombang-ambing dalam ketidakpastian, entah akan sampai kapan kita harus terkurung oleh Coronavirus, sementara situasi politik nasional pun tak kunjung reda, selalu muncul prahara demi prahara yang semakin meruncingkan perpecahan bangsa.
Tulisan ini coba saya pungkasi dengan satu contoh lain betapa bangsa ini sudah semakin jauh dari sastra. Ketika kita berada di Bandara, kita berhadapan dengan para petugas di Bandara yang bekerja seperti robot. Mereka memeriksa semua barang yang kita bawa dengan cara yang membuat kita tidak nyaman. Saat mereka mengingatkan para calon penumpang untuk melepaskan jaket, benda-benda logam hingga ikat pinggang, tidak dengan cara yang halus, seolah-olah seperti robot yang menyampaikan pesan dengan narasi yang sudah tersusun rapi. Padahal, andaikan mereka mau mempelajari puisi, mungkin mereka mampu berlaku lebih halus; mohon maaf bapak, ibu, agar jaket, tas dan juga ikat pinggang serta benda-benda logam agar dilepas terlebih dahulu.
Selamat jalan Pak Iman.