Melacak “Episteme” Metodologi Esai Cak Nun
Sejumlah lebih dari 80-an buku lahir dari tangan Cak Nun (Progress, 2019). Mayoritas buku bergenre kumpulan esai, selebihnya antologi puisi, cerpen, maupun naskah drama. Produktivitasnya telah dimulai sejak tahun 1968 dan kian meroket hingga sekarang.
Dari sisi kuantitatif membuktikan betapa tak ada esais seradikal Cak Nun di Indonesia, di tengah kesibukannya di pelbagai tempat—bersama KiaiKanjeng — yang rerata Maiyahan bisa empat kali dalam seminggu.
Persoalan mendasar yang kerap diajukan jamak orang antara lain bagaimana Cak Nun membagi waktu antara menemui masyarakat begitu banyaknya dan meluangkan kesempatan demi menulis.
Tipe pertanyaan dikotomis semacam itu dibatalkan Cak Nun karena pandai manajemen waktu. Ia mampu menuliskan esai dengan gawai pintar manakala Maiyah berlangsung, setidaknya mencatat poin-poin apa saja yang mungkin dikembangkan lebih lanjut menjadi tulisan.
Pada suatu kesempatan Cak Nun pernah menuturkan, “Kalau Umbu Landu Paranggi adalah manusia puisi maka saya manusia esai.” Idiom “manusia esai” tersebut menginformasikan ketakberjarakkan antara individu dan esai. Keduanya luruh, membangun sebuah dialektika, bahwa manusia dan esai di dalam diri Cak Nun merupakan satu kesatuan yang utuh, konstruktif, maupun harmonis.
Dimensi demikian mengantarkan pada sisi kualitatif bangunan esai yang diproduksi Cak Nun yang melintasi disiplin-disiplin ilmu, mengkerangkakan genre-aku-lirik sebagai gaya kepenulisan, hingga menandaskan kekhasan literer bernuansakan kritis-reflektif.
Orang yang terbiasa berpikir parsial, terjebak pada perspektif disiplin ilmu tertentu, sejauh pembacaan saya, akan sukar mengikuti alur pemikiran Cak Nun di dalam esai-esainya. Metode pembacaan yang tepat bukan berpretensi menggunakan salah satu pisau dedah keilmuan tertentu, melainkan menerima keutuhan esai sebagai informasi interdisiplin.
Hal ini mengingat partikularitas gaya kepenulisan Cak Nun bersifat universiter dengan merefleksikan gejala sosial-kemanusiaan sebagai tema besar dan mengkontemplasikan wacana secara dialektis.
Posisi dialektis inilah yang khas pada tiap argumen yang acap tersisip di balik narasi tekstual Cak Nun. Ia serupa mengajak dialog kepada pembaca luas untuk merevisi pandangan dominan yang terselubung di benak jamak orang melalui penyodoran sejumlah argumen alternatif—tanpa menggurui karena terkadang diungkapkan tak bergaya deskriptif tapi cenderung berbasiskan hikmah.
Dengan begitu Cak Nun seakan menjernihkan syak-wasangka pembaca luas terhadap topik tertentu dengan sudut pandang, resolusi pandang, maupun jarak pandang yang relatif baru, sehingga yang terucapkan sekaligus tertuliskan pada tiap esainya mengindikasikan autentisitas gagasan.
Teori Esai Cak Nun
Melepaskan dari gaya konvensional kepenulisan, Cak Nun mengajukan teori esai versinya sendiri. Teori tersebut belum terjelaskan secara tertulis, setidaknya sengaja dituliskan Cak Nun menjadi diktat akademis. Namun, sejauh dilacak bagaimana gaya kepenulisan sampai konstruksi argumen yang disodorkan pada tiap buah tangan Cak Nun, terbaca pola tertentu yang sering muncul secara repetitif.
Bahwa esai berdasarkan corak tekstualnya selalu mengakomodasi dual hal, yakni berada di antara posisi “ilmu” dan “puisi”. Bagaimana keduanya beroperasi dalam sebuah esai?
Pertama, esai mengartikulasikan dimensi keilmuan tertentu, baik secara multidisiplin maupun interdisiplin. Corak multidisiplin menegaskan kombinasi pelbagai disiplin ilmu yang tak terintegrasi serta terkoordinasi dalam upaya memecahkan persoalan pokok melalui (multi)-sudut pandang yang memiliki relevansi dengan problem yang hendak dipecahkan.
Setarikan napas dengan multidisiplin, interdisiplin memiliki perbedaan yang terletak pada “keterkaitan” antardisiplin untuk mewacanakan topik yang diperbincangkan. Kata kunci interdisiplin adalah integrasi konsep demi mempertajam analisis untuk menjawab permasalahan. Kecenderungan dominan di dalam tulisan Cak Nun berada pada dimensi ini karena untuk membahas mengenai manusia, semisalnya, dibutuhkan multi perspektif.
Contoh relevan dapat dikemukakan di sini. Pada tulisan Cak Nun bertajuk Dakwah Penggalan dalam buku Sedang Tuhan pun Cemburu (2015) tercatat sebagai berikut.
“Kita sudah tak mungkin melihat hidup ini secara ‘monodimensional’. Kalau kita hendak menghentikan moral buruk sopir bus yang ngebut, kita mesti ngomong soal ekonomi makro negara. Kalau mau memberantas habis para pelacur, jangan sodorkan ayat-ayat tenteng haram zina, sebab yang mendekatkan para pezina itu kepada perilaku zina pada mulanya bukan persoalan mereka tak paham esensi ayat zina yang ada dalam diri dia, melainkan sesuatu yang datang dari luar dirinya yang tak bisa dielakkannya…”
“…kalau dalam lakon drama ‘Dakwah’ tokoh Fulan yang ‘jahiliah’ mendadak insyaf sesudah dipetuahi Ustaz Karim dengan beberapa ayat dan hadis, itu berarti sutradaranya tak memahami sifat gerak psikologi manusia, tak menguasai ilmu perubahan hidup, dan kurang mengamati ‘dialektika’ batin mental seseorang dengan lingkungan yang memberinya pengalaman-pengalaman.”
Secara eksplisit Cak Nun mengatakan sebuah kemustahilan melihat dunia secara monodimensional semata. Persoalan yang diperbincangkan Cak Nun, berangkat dari penggalan tulisan di atas, begitu meluas sehingga diperlukan pertimbangan-pertimbangan etis untuk memahami sebuah kejadian bukan secara dangkal, melainkan menukik ke dalam, menyelidiki persoalan secara kritis — Cak Nun menyebut “dialektika mental seseorang dengan lingkungan yang memberinya pengalaman…”
Paparan Cak Nun tersebut mengungkapkan betapa pentingnya komprehensi informasi dalam melihat fenomena sosial-kemasyarakatan. Tulisan Cak Nun mengangkat topik itu secara jernih dan analitis. Praktis kalau kekhasan gaya tulisan Cak Nun mengangkat topik-topik besar secara interdisipliner, namun kenyataannya diuraikan secara sastrawi.
Alih-alih rumit, tulisan Cak Nun justru mengakomodasi gaya bahasa tertentu yang menimbulkan kesan estetis. Hal ini kemudian beralih ke dimensi kedua: bagaimana konstruksi tulisan Cak Nun, selain mengartikulasikan sisi-sisi interdisiplin yang kompleks, juga mengakomodasi stilistika yang niscaya ditemukan di dalam puisi: diksi, matra, pola rima, majas, maupun citraan.
Esai berjudul Zaman Sedang Memuisi (Madubronto, Minggu, 6 Januari 1991) dapat menjadi contoh baik untuk memahami pokok kedua. “Engkau saksikan perdamaian dan peperangan direkayasa dalam ketidakmenentuan sumber nilai. Engkau saksikan demokrasi, agama, moralitas, ilmu, dan cinta kasih, diboros-boroskan tanpa kamus. Engkau tidak bisa lagi menyaksikan ‘seseorang’, ‘sebuah pihak’, ‘sebuah kubu’. Engkau hanya menyaksikan cabikan-cabikan yang tak bisa engkau rumuskan dengan ilmu apa pun: engkau hanya menemukan puisi.”
Kata atau frasa apa yang menimbulkan kesan indah, ironi, atau gaya bahasa lain? Bahkan sejak diksi “engkau” di atas telah menimbulkan nuansa kedekatan jarak yang privat antara penulis dan pembaca. Bayangkan jika pilihan kata tersebut diganti dengan “Anda” atau “Kita” barangkali akan tak lebih intim ketimbang “Engkau”. Cak Nun sengaja memilih subjek “orang kedua-tunggal” untuk menyebut pembacanya sebagai rekan dialog, sehingga keberjarakan antarkeduanya terbatalkan dengan diksi tersebut.
Belum lagi pilihan kata “cabikan-cabikan” yang bermakna “mencabik, robekan, dan sobekan” untuk mengantarkan anak kalimat “rumuskan dengan ilmu apa pun” benar-benar tak mungkin lahir dari pena seorang esais bila “tuna-puisi”. Cak Nun menyadari benar efek diksi terhadap nuansa, sehingga tulisan-tulisannya melampaui informasi-deskriptif: membangun sebuah keutuhan argumen yang terfondasikan nilai-nilai sastra. Di sinilah letak kekuatan teori esai menurut Cak Nun yang berada di persimpangan antara ilmu dan puisi.