CakNun.com

Mata Uang Maiyah

Corona, 20
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Salah seorang dari entah berapa jumlah Ashabul Kahfi diminta oleh teman-temannya untuk keluar Gua menuju pasar membeli sejumlah keperluan hidup. Allah wanti-wanti dua hal. Satu, walyatalaththaf, hendaklah selalu berlaku lemah lembut. Kedua, jangan kasih tahu siapapun tentang Ashabul Kahfi.

Jamaah Maiyah adalah Ashabul Kahfi yang disembunyikan oleh Allah di Gua yang publik, Negara dan mainstream menganggapnya sebagai “sarang anjing”, sehingga tak seorang pun berani atau berminat mendekatinya.

Si Utusan pergi dengan memegang teguh pesan Allah, tapi sesampainya di Pasar mata uang yang dibawanya sudah tidak berlaku, sehingga tidak bisa membeli apa-apa di pasar. Jamaah Maiyah silakan memaknai konteks dan peristiwa ini di tengah Indonesia dan dunia global saat ini.

Saya cuma nambahi satu optimisme: mata uang Maiyah yang tak laku di pasar global itu punya dua sisi mata uang. Pertama, nilai dan sistem bebrayan Maiyah adalah sesuatu yang sudah ditinggalkan dan dibuang oleh masyarakat modern abad 20. Kedua, ia adalah suatu pandangan dan cara hidup yang semua penghuni dunia global merindukannya kembali, membutuhkan dan esok hari akan membangunnya untuk keselamatan masa depan mereka. Wallahua’lam. Insyaallah.

Wajib ada positioning “insyaallah”, supaya Allah tidak murka: “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi. Kecuali (dengan menyebut): Insya-Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini” (al-Kahfi 23-24).

Saya memonitor keadaan Jamaah Maiyah di seluruh Simpul dan area. Sejauh ini menggembirakan hati saya yang sangat mencintai mereka. Tetapi saya berpesan: “Tuntaskan dulu kekhusyukan shalat dan semedi puasa hingga salam tahiyat terakhir beberapa bulan lagi. Jangan GR dan omong apa-apa supaya tidak terpeleset takabbur”.

Jamaah Maiyah sudah lumayan terlatih oleh riyadlah-riyadlah Maiyah untuk menahan diri dan mengutamakan kesabaran dan ketabahan. Jamaah Maiyah punya landasan, keberanian, iman dan taqwa untuk tetap berkumpul rutin Maiyahan. Ketika hujan deras mengguyur seluruh area Maiyahan, Jamaah Maiyah tidak pernah bergeming, tidak lantas bergeser atau mencari tempat yang terlindung dari derasnya hujan. Karena mereka tidak percaya pada “klaim sesaat” yang tidak memberi ruang kepada kemungkinan esok pagi atau berikutnya.

Sebab “mata uang” Maiyah tentang hujan berbeda, bahkan mungkin agak bertentangan dengan pandangan mainstream atau masyarakat umum tentang hujan. Jamaah Maiyah “membeli” hujan sebagai barokah, rahmat dan kasih sayang Allah. Juga apabila hujan deras itu bernama Coronavirus. Jamaah Maiyah terbiasa berpikir waspada: bisa jadi salah satu tetes dari air hujan yang menimpa keningnya, kepala atau badannya itu ternyata adalah petugas Allah yang mengantarkan solusi masalah, kesembuhan dari penyakit, kemudahan dari kesulitan, atau apapun saja yang merupakan jawaban cinta Allah kepada masalah-masalah yang sedang dirundung oleh Jamaah Maiyah.

Jamaah Maiyah berkumpul Maiyahan dengan 10.000 hingga 30.000 orang tanpa formasi dan security system, konsep keamanan dan pengamanan — karena justru sejak dari rumah masing-masing, yang membuat mereka hadir dan berkumpul di Maiyahan: hati mereka sudah aman dan siap mengamankan. Keamanan diri dan keamanan bersama tidak dipahami oleh Jamaah Maiyah sebagai tata sosial, melainkan sebagai kenikmatan batin, yang kemudian membuat semua jasad dan seluruh kehadirannya bersiaga untuk menjaga keamanan bersama.

Kalau sampai ada satu orang saja mencederai rasa aman, maka semua Jamaah Maiyah merasa dilukai ke-Maiyahan jiwanya ke Allah dan sesama manusia, dan itu membuat mereka siap membayar tunai dengan seluruh jiwa raganya untuk menegakkan keamanan. Jamaah Maiyah adalah Kaum Mu`minun; golongan orang yang hatinya aman, silaturahminya aman, dialektika sosial budayanya aman, percaturan kehendak-kehendaknya saling mengamankan, peta pengetahuan dan ilmunya aman dan saling mengamankan. Jamaah Maiyah bukan hanya golongan dari ummat manusia yang sumeleh kepada Allah, tapi juga pejuang millitan untuk mengamankan seluruh keadaan Bumi yang berada dalam jangkauannya.

Dalam perspektif yang lebih luas dan tidak langsung, bahkan Jamaah Maiyah adalah suatu pergerakan Satuan Pengaman Semesta yang mengamankan Negerinya. Salah satu caranya adalah dengan mengikhlaskan diri tidak menjadi kompetitor bagi siapapun dalam bidang apapun. Maiyah sumeleh untuk tidak menginstitusionalisasikan dirinya, sebab institusionalisasi Islam, kelompok Muslimin, Kiai, Ulama dan Ustadz, madzhab, aliran dan golongan — dilihat sebagai salah satu sumber utama dari perpecahan Kaum Muslimin dan ummat manusia.

Jamaah Maiyah melarang Maiyah untuk menjadi madzhab Agama, menjadi Ormas atau Parpol atau formula padat apapun saja – dengan prinsip kedaulatan, kemerdekaan, serta kesadaran bahwa kepada Allah swt, tidak ada pertanggungjawaban institusional, golongan, aliran, kenegaraan atau formalisme apapun lainnya.

Jamaah Maiyah bahkan sangat sadar untuk menghindari sikap mental “benarnya sendiri”. Tidak egois dengan pendapatnya dan tidak egosentris dengan penafsirannya. Jamaah Maiyah membiasakan diri untuk tahu diri bahwa posisi hamba Allah adalah nisbiyah, dhonniyah atau relatif. Kemutlakan pendapat, absolutisme pandangan, hanya ada pada Sang Maha Subjek yang memperkenalkan diri kepada kita sebagai Allah swt. Jamaah Maiyah adalah pejuang pengikut Rasulullah saw, bukan pengikut Mbah Nun sehingga memutlakkannya, bukan ummatnya Emha Ainun Nadjib sehingga menabikannya.

Posisi ummat manusia dan Jamaah Maiyah permanen tidak berdaya di hadapan Allah. “bismillahi tawakkaltu ‘alallahi la haula wala quwwata illa billah. Allah Allah ma lana Maulan siwallah, kullama nadaita ya Hu, qala ya ‘abdi Anallah”.

Lainnya

Lingsem dan Bangkai

Lingsem dan Bangkai

Suatu kelompok tokoh pecinta bangsa Indonesia berkumpul dan merencanakan suatu deklarasi yang temanya adalah “menyelamatkan Indonesia”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Mengembara Model Anak-Anak

Mengembara Model Anak-Anak

Sebagai generasi yang lahir di tahun 1950-an saya mengalami zaman Orde Lama, Orde Baru, dan zaman Orde Pasca Orde Baru yang sulit diberi nama ini.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.
Exit mobile version