Maneges Qudroh dan Realitas Besarnya
Hari ini teman-teman penggiat dan jamaah Maneges Qudroh (MQ) Magelang sedang mensyukuri ulang tahunnya yang ke-9. Untuk merayakan momen khusus ini, sejumlah rekan dari beberapa simpul maupun dari koordinator simpul Maiyah turut mangayubagyo dengan menulis esai tentang Maneges Qudroh. Silakan teman-teman membacanya di website manegesqudroh.com. Tilik pula akun IG Maneges Qudroh untuk melihat foto-foto persiapan ultah MQ ke-9 ini.
Wa ba’du, di antara kita yang pernah hadir dalam majelis rutin mereka serta berinteraksi dengan para penggiatnya, kiranya akan merasakan dan mendapatkan impresi yang kuat bahwa teman-teman MQ ini adalah pribadi-pribadi yang ringan melangkah dan bahagia dalam menyungguhi paseduluran dan silaturahmi.
Mereka rajin menjalin silaturahmi dengan orang-orang di sekitar Magelang. Apakah itu kyai, sejarawan, seniman, ataupun yang lain-lain. Juga dengan masyarakat sekitar basecamp mereka di Muntilan. Mereka menyatu, dan memang sejak semula adalah bagian dari kesatuan di dalam masyarakat tersebut.
Ghirrah menjalin silaturahmi itu makin menguat apabila silaturahmi yang mereka jalankan itu adalah amanat Mbah Nun, misalnya agar mereka sowan kepada Mbah Nomo (Nomo Koeswoyo) dan Pak Tanto Mendut (yang mereka jadikan salah satu orang tua bagi MQ). Berdirinya Maneges Qudroh bahkan berlangsung di Pondok Pesantren Pabelan Muntilan yang berarti mereka juga berjalin silaturahmi yang baik dengan Pak Yai Ahmad Najib Hamam sebagai pengasuh pondok Pabelan tersebut.
Silaturahmi dengan sesama jamaah Maiyah jangan ditanya. Pernah dalam salah satu hajatan “besar” di Menturo Jombang, yakni saat Padhangmbulan ulang tahun Mbah Nun, yang mempertemukan jamaah Maiyah dari berbagai tempat, mereka datang bagaikan rombongan kloter bedhol deso.
Berombongan dua atau tiga mobil dan di kaca mobilnya ditempeli entah poster atau kata rombongan MQ. Nanti turun mobil mereka akan bergerak bersama sambil di tangan mereka tertenteng aneka macam bawaan berupa hasil-hasil bumi. Mereka juga pernah menjadi tuan rumah Silaturahmi Nasional Jamaah atau Penggiat Simpul Maiyah pada 2015.
Dan tentunya masih ada lain-lain contoh yang memberikan ilustrasi bahwa mereka adalah penggiat paseduluran dan silaturahmi. Dalam bahasa yang lain, paseduluran dan silaturahmi menjadi realitas besar bagi Maneges Qudrah. Maksudnya?
Di luar makna kamusnya, kata ‘realitas’ dapat dipakai dalam konteks seperti ini: jika berlangsung suatu nilai, keyakinan, cara dan laku hidup yang terus-menerus dilakukan seseorang atau sekelompok orang, nilai-nilai itu menjadi hal penting dan utama buat mereka, mendominasi keseharian mereka, mereka utamakan, maka nilai-nilai itu bisa disebut sebagai ‘realitas’ besar bagi mereka.
Mengapa demikian? Sebab, apa yang mereka utamakan sehingga menjadi realitas besar bagi mereka itu, mungkin saja tidak merupakan sesuatu yang diutamakan bagi sebagian atau sekelompok orang lain sehingga menjadi realitas yang kecil, dan malahan lama-lama bukan realitas lagi, bagi sekelompok orang yang lain itu.
Setarikan dengan ihwal realitas itu, bisa dijumpai beberapa nuansa misalnya orang menempatkan agama sebagai realitas besar bagi mereka, namun titik tekan, cara, atau maksud yang menyertainya kurang proporsional, untuk tidak menyebut tidak tepat.
Misalnya, kita beragama namun lebih banyak mempolitisasi agama buat kepentingan diri atau kelompok kita sendiri. Kita beragama namun lebih mengutamakan agama sebagai lembaga atau identitas dan kurang menghidupkan jiwa agama yang penuh kebajikan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam asuhan dan taburan nilai-nilai kehidupan yang disemaikan oleh Mbah Nun melalui majelis ilmu Maiyah, sahabat-sahabat kita yang tergabung dalam Maneges Qudroh adalah salah satu dari bagaimana satu kelompok atau community anak-anak muda yang mencoba memilih nilai-nilai mendasar dari ajaran agama yang kemudian dijadikan sebagai realitas besar bagi mereka dan dijalankan dalam cara-cara yang sebenar mungkin.
Dalam realitas besar mereka berupa paseduluran dan silaturahmi yang gigih itulah kita melihat berbagai aktivitas mereka, rutinan sinau bareng, dzikir dan shalawatan rutin Selasanan, kegiatan sosial mereka, dan juga kebahagiaan berelasi satu sama lain di antara mereka, misalnya dalam bentuk nglumpuk di markas mereka untuk ngobrol, diskusi, atau saat persiapan-persiapan kegiatan mereka. Kebetulan di situ salah satu pentolannya buka angkringan, angkringan 17 namanya, walau sekarang sedang libur. Wedang jahenya cukup enak. Saya pernah mencicipinya.
Buat saya, mereka adalah contoh dari lingkaran teman-teman yang pandai memilih nilai hidup yang selanjutnya dijalankan, diperkental, dan diperbesar menjadi realitas besar bagi mereka.
Kemudian saya pun yakin, mereka juga piawai menempatkan nilai-nilai kehidupan lain dalam porsi yang seimbang dan pas. Hal-hal yang cukup menjadi realitas kecil akan mereka tempatkan sebagai realitas kecil.
Demikian pula sebaliknya hal atau nilai yang selayaknya menempati posisi realitas besar akan mereka tempatkan sebagai realitas besar.
Selamat berulang tahun ke-9, teman-teman Maneges Qudroh.
Yogyakarta, 5 Februari 2020