CakNun.com

Mampukah Kita Membangun Emergence Society yang Baik?

Fahmi Agustian
Waktu baca ± 4 menit
Studio Geese, Rumah Maiyah Yogyakarta. Foto: Adin.

Dua episode diskusi Mbah Nun dan Mas Sabrang di chanel youtube caknun.com setidaknya mengobati kerinduan teman-teman Jamaah Maiyah untuk setidaknya bisa kembali mendengarkan dan menyimak paparan Mbah Nun dan Mas Sabrang yang biasanya kita rasakan ketika Maiyahan. Pandemi Covid-19 ini melahirkan banyak hikmah bagi kita semua, baik secara individu maupun komunal. Tidak mesti seragam, tetapi seperti apa yang pernah dipesankan oleh Mbah Nun bahwa apa yang kita alami saat ini jangan sampai kita melewatkan itu semua tanpa hikmah.

Ada satu poin yang bagi saya cukup menarik yang dibahas dalam diskusi Mbah Nun dan Mas Sabrang tersebut, yaitu mengenai Emergence Society. Mungkin istilah ini salah dalam saya menyimpulkannya, tetapi yang saya tangkap dari diskusi tersebut adalah bahwa Agama seharusnya mampu mengantarkan manusia untuk melahirkan Emergence Society demi kemaslahatan bersama.

Beberapa kali Mas Sabrang mencontohkan bagaimana semut membangun koloni mereka, setiap individu mengambil peran masing-masing. Tidak semua menjadi semut yang bertugas mencari makanan. Ada yang bertugas menjaga Ratu Semut, ada yang bertugas membangun rumah, ada yang bertugas mengangkut makanan, dan lain sebagainya. Mengapa manusia dengan kecerdasan sekian kali lipat dari semut tidak mampu membangun kebersamaan seperti yang dilakukan oleh semut?

Salah satu jawaban yang disampaikan oleh Mbah Nun adalah karena sifat dasar manusia adalah berkompetisi. Mas Sabrang menyederhanakan bahwa sifat dasar manusia itu memang nalurinya adalah menang-menangan, ingin lebih unggul dari manusia yang lainnya. Dan hari ini kita menyaksikan bagaimana manusia berusaha untuk selalu unggul dari manusia lainnya. Sayangnya, mayoritas manusia lebih mengutamakan keunggulan materi atas manusia lainnya. Ingin lebih berkuasa, ingin lebih berpengaruh, ingin lebih banyak uang dari manusia lainnya. Tinggal kita mau mengakui atau tidak, bahwa sebenarnya kita juga berada dalam konstelasi persaingan tersebut?

Mas Sabrang dalam diskusi tersebut menyampaikan bahwa ketika kita lahir di sebuah negara, mau tidak mau kita harus mengikuti aturan yang ada (baca: undang-undang). Kalau kita tidak setuju dengan aturan yang berlaku, maka dipersilakan untuk berganti kewarganegaraan. Manusia dengan kecerdasan dan naluri kompetitifnya kemudian beradaptasi, sehingga yang terjadi adalah persaingan bebas. Tidak dapat dipungkiri jika pada akhirnya semua tujuan akhir manusia hari ini adalah menjadi orang kaya secara harta. Karena atmosfernya memang dibangun demikian.

Satu contoh lain mengenai Emergence Society yang digambarkan oleh Mas Sabrang adalah ketika ribuan burung dalam satu komunal terbang secara bersamaan. Beberapa hari yang lalu saya melihat sebuah video pendek di Twitter mengenai sekumpulan burung jalak yang membangun formasi ketika terbang, video ini bisa dicari dengan kata kunci Starlings Flock Murmurations.

Ketika pertama kali menyaksikan video tersebut, saya takjub. Mungkin bukan hitungan ribu, bisa jadi ratusan ribu atau jutaan burung yang terbang bersamaan, kemudian menghasilkan orkestrasi alam yang indah. Kepakan sayap dan cuitan mereka di langit senja adalah keindahan alam. Bagaimana kumpulan burung jalak itu dapat begitu rapi terbang dalam jumlah kawanan yang banyak, tanpa bertabrakan satu sama lain, namun juga menghasilkan pemandangan 3D yang sangat indah.

Setidaknya ada dua alasan mengapa kawanan burung jalak itu terbang bersama; untuk menghangatkan tubuh mereka saat musim dingin, kedua untuk menghindari burung predator yang sedang mengincar mereka. Dengan terbang bersama, mereka mendapatkan kehangatan dalam tubuh yang dibutuhkan saat musim dingin. Kemudian, ketika mereka diincar oleh burung predator, dengan terbang secara bersama-sama dan terbang dengan kesadaran frekuensi yang sama, terbukti mampu mengalihkan fokus burung predator. Seekor burung predator yang mengincar burung jalak tidak akan mampu mengunci salah satu target dari burung jalak yang terbang secara bersamaan dalam jumlah ribuan ini.

Saya kemudian ingat salah satu contoh social experiment yang pernah dilakukan di Jakarta beberapa tahun lalu adalah Flashmob Dance yang dilakukan saat Car Free Day. Dari satu video tutorial dance yang diupload di Youtube, kemudian ditonton oleh beberapa orang, lalu dengan informasi sekadarnya bahwa tarian itu akan dilakukan secara Flashmob di pusat keramaian, terwujud sebuah orkestrasi tarian yang dilakukan oleh orang-orang yang sebelumnya tidak pernah mengenal satu sama lain. Hanya dipantik dengan sebuah lagu yang memang sudah mereka hafal, mereka kemudian ikut menari bersama-sama. Mereka kompak, padahal tidak mengenal satu sama lain. Dengan durasi sekitar 3 menit, mereka menari bersama, bergembira bersama. Setelah lagu selesai, mereka bubar, kembali suasana seperti biasa.

Beberapa waktu lalu, di Indonesia sempat hits, budaya membagi-bagikan nasi di hari Jum’at. Banyak masyarakat ter-influence, dan ini terjadi sebelum Pandemi Covid-19. Ketika Pandemi dinyatakan dimulai oleh Pemerintah, beberapa masyarakat kemudian mengubah menjadi membagi-bagikan bahan makanan mentah. Hal lain yang juga ditularkan selama Pandemi Covid-19 adalah budaya bertanam di rumah dengan memanfaatkan lahan yang ada. Yang kemudian sedikit banyak menjadi roda perputaran ekonomi di tingkat lokal. Artinya, manusia sangat mungkin di-influence dengan sesuatu yang baik.

Agama sendiri memiliki rumus: Fastabiqu-l-khairot. Allah sudah menciptakan makhluk hidup dengan naluri berkompetisi, tinggal bagaimana kompetisi itu dijalankan fungsinya. Jika agama memiliki pakem Fastabiqu-l-khairot, tapi pada faktanya dunia secara luas memiliki pakem Fastabiqu-l-fulus, Fastabiqu-l-popularitas, Fastabiqu-l-kekuasaan dan lain sebagainya.

Esai Mbah Nun yang terbaru “Bercocok Tanam Kepemimpinan” seolah menegaskan bagaimana seharusnya posisi kita sebagai manusia menyikapi fenomena dan konstelasi dunia hari ini. Apakah kita akan terbawa arus yang ada, berkompromi dengan situasi, atau juga berani membangun arus yang baru, yang tidak disukai oleh banyak orang. Pilihan ada di tangan kita masing-masing.

Tetapi, seperti ditegaskan oleh Mbah Nun, beruntungnya kita oleh agama dibekali konsep Tawakkal dan Taqwa yang menenteramkan hati kita. Dan kedua bekal tersebut sangat cukup menjadi bahan bakar kita untuk membangun Emergence Society yang baik dan bermaslahat untuk semua makhluk.

Lainnya

Refleksi Pandemi Buat Negeri

Refleksi Pandemi Buat Negeri

Bicara tentang Covid-19, rasanya sudah tidak ada lagi orang yang hidup di masa sekarang yang tidak mengenalnya.

dr. Ade Hashman, Sp. An.
Ade Hashman