CakNun.com

Maiyah, dari Aula Alhamdulillah Hingga Lingkaran Kebangsaan

Eko Tunas
Waktu baca ± 3 menit
Eko Tunas, Mocopat Syafaat (Foto Adin, Dok. Progress)

Ingat nama Maiyah, ingat saat Cak Nun memberi nama aula di rumahnya di Kasihan Bantul, Aula Alhamdulillah. Saya merasa ada semacam surprise saat Mbak Via menyampaikan nama aula itu kepada saya.

Seperti saat awal saya mendengar nama Maiyah, yang bagi saya bukan sekedar arti katanya, tapi ada rasa keindahan seperti saat saya mengucapkan atau melafal ayat kala sholat. Ternyata Maiyah memang bukan sekedar persaudaraan dalam satu lingkaran, tetapi lingkaran ribuan persaudaraan.

Saat saya pernah mengikuti awal rombongan KiaiKanjeng 1990-an, misalnya di alun-alun Lamongan, di samping panggung seorang event organizer memperkirakan jumlah pengunjung: ini lebih dari limabelas ribu orang. Saya pikir inilah buah dari estetika alhamdulillah itu. Disamping jamu kuat dari kerja atas niat baik tak lelah-lelah.

Bayangkan kala saya mengikuti perjalanan bus besar rombongan KiaiKanjeng. Dari Yogya ke Banten saat acara Presiden Gus Dur. Dari Banten ke Bekasi, dekatlah. Kemudian dari Bekasi ke Surabaya. Begitu sampai sore itu, malamnya harus manggung. Bayangkan.

Itu sebabnya saya menyerah, saya berhenti mengikuti tur Cak Nun dan KiaiKanjeng yang bagi saya absurd — mana ada tur musik segila Cak Nun dan KiaiKanjeng, sampai subuh pakai kehujanan segala. Anehnya hingga sampai pada saat ini jadwal Cak Nun dan KiaiKanjeng tiap bulannya makin padat. Justru saat usia makin menua, dan tenaga berkurang — beberapa personel KiaiKanjeng bahkan telah tutup usia.

Saya menggunakan teori pribadi tentang teater. Bahwa untuk naik ke panggung, seorang aktor harus mempunyai niat baik. Sebab panggung pada hakikatnya miniatur kehidupan. Sebagaimana kita hidup di kehidupan nyata mesti punya niat baik, kalau yang ada niat buruk maka engkau akan sakit. Saya menyaksikan niat baik demi kebahagiaan bermaiyah ini terbangun sejak awal. Terbukti simpul dan jamaah makin ribuan.

Itu sebabnya pula saya paling suka bermonolog di acara Maiyah. Di Gambang Syafaat Masjid Baiturrahman Semarang. Di Majelis Gugur Gunung Kabupaten Semarang. Dan terutama di Mocopat Syafaat Yogyakarta yang jumlah lingkaran persaudaraannya ribuan.

Di situ saya bermain monolog dengan riang gembira dan mendapat surprise estetika tak terkira. Betapa saya monolog ditonton ribuan orang yang mereka adalah masyarakat umum. Bukan seperti biasa saya monolog di gedung kesenian hanya disaksikan puluhan orang, dan itu para teman seniman sendiri — nggak banget tahu ga siih!

Ya sampailah hari itu Cak Nun WA saya, “Ek, ngetok Ek, kowe main monoplay yo, sakarepmu, nggeguyu kahanan”.

“Siyaap,” sahut saya.

“Wulan ngarep siap yo, ngko kebutuhanmu runding karo Zaki,” tambahnya, “apik neh nek kowe ngko genti-genti kostum main watak opo wae.”

“Insaawooh,” sambut saya, “April yo.”

Jadilah monolog saya main di Macapat Syafaat. “Kowe ngerti, piro penontonmu,” cetus Cak Nun sembari ngopi dan udad-udud, “ora kurang seko petangewu, Zaki sing pasang patang layar kae.”

Terus terang saya keder, baru kini saya monolog dengan penonton sebanyak itu. Tapi saya kemudian sadar dan berhibur diri. Bukankah Cak Nun juga bermonolog, dan berapa jam setiap dia ceramah. Bisa lima jam dari hari ke hari, bahkan dengan topik atau tema berbeda di setiap Maiyah. Lha bukankan saya hanya sekali di bulan ini, hanya 30 menit, juga saya sudah menyiapkan diri serta latihan berhari-hari.

Monolog, monoplay, ceramah, apa pun istilahnya selama lima jam di panggung, di hadapan ribuan orang itu bukan hal biasa. Apalagi dilakukan dari hari ke hari, berbeda topik. Tanpa latihan, dan barangkali tanpa persiapan pula. Bahkan bukan fiksi, sungguh ini non fiksi. Sebab di sini kehidupan tidak sekadar dibicarakan, tapi ada penghiburan dan penyegaran kreatif dari Kiai Kanjeng, serta ada pencerahan dan pencerdasan dari sang monoplayer: Cak Nun.

Bukan saya berlebihan, tapi di mana lagi kita bisa menemukan lingkungan dalam suasana akal budi — untuk tidak sekadar menyebut kebudayaan — di dunia yang sudah serba dol-tinuku, lu jual gua beli, kerennya dunia kapitalis-liberalis. Entah di negara republik atau kerajaan. Tidak ada lagi ruang itu, ruang sempit sekali pun.

Tapi kita masih bisa menemukannya di lingkaran kebangsaan Maiyah.

Eko Tunas
Sastrawan Indonesia. Seniman serbabisa. Menulis, melukis, dan berteater sejak masih duduk di bangku SMA. Lahir di Tegal tahun 1956. Saat ini tinggal dan menetap di Semarang.
Bagikan:

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version