Maiyah dan Ummat Cendol Dawet
Dalam sebuah kuliahnya, Ali Shariati, ideolog revolusi Islam di Iran yang mati muda ditembak agen Shah Iran itu, pernah mengutarakan bahwa di Yunani kuno, ada banyak sekali jenius besar yang ngumpul di Athena. Ada Sokrates, ada Platon, ada Aristoteles dan ada banyak murid mereka yang juga jenius. Sebenarnya, mereka bukan kelompok Kaum Rebahan yang kerjaannya cuma glundhang-glundhung sambil ngulik HP dan ikut arus milenial ramai-ramai menyanyikan lagu Cidro. Mereka itu pemikir serius. Tapi, kumpulan jenius Athena selama beberapa generasi itu ternyata tidak mampu mengkreasikan teknologi untuk mentransformasikan masyarakat Yunani kuno menuju peradaban yang lebih “maju”.
Hal sebaliknya terjadi dua ribu tahun kemudian, ketika para teknisi biasa di Eropa, yang tak jenius, justru bisa menciptakan perangkat-perangkat yang –walaupun sederhana – menjadi elemen penting dalam mendorong peradaban berkembang. Ditemukanlah mesin uap. Diikuti oleh temuan-temuan lain. Lantas, mengapa hal demikian bisa terjadi? Mengapa orang jenius tak menghasilkan perangkat yang dibutuhkan? Sementara, orang yang levelnya jauh di bawahnya justru menghasilkan inovasi.
Kuncinya, menurut Shariati, adalah metode penalaran yang digunakan. Metode penalaran analogistik Aristoteles yang menguasai Athena dan dunia setelahnya, dianggap oleh Shariati justru menjadikan peradaban stagnan. Tidak berkembang. Yang dibutuhkan adalah penalaran yang berbeda. Maka, setelah cara berpikir, cara memandang objek-objek, rumusan pertanyaan tentang kehidupan berubah: masyarakat dan kehidupan ikut berubah. Teknologi sederhana diciptakan. Temuan-temuan sederhana terus dikembangkan, sedikit demi sedikit, berjalan pelan-pelan, hingga sampai ke tingkat yang rumit, mencapai tapal di mana kita berada saat ini: zaman Google Meet dan Zoom merajalela tanpa bisa dihentikan.
Masalahnya kemudian adalah, apakah analisis Ali Shariati ini bisa digunakan sebagai kacamata untuk memandang situasi ummat Islam – di Indonesia khususnya atau bahkan di seluruh dunia Islam? Maka, tulisan ini akan mengambil satu petak kecil saja dalam kekayaan khazanah kehidupan orang Islam, yaitu: seperti apa keadaan ummat Islam di “tanah Jawa-Nusantara” dan bagaimana “intelektual muslim” merespons situasi tersebut.
Islamisasi yang Mangkak dan Gelombang Modernisasi
Sebagian kalangan berpendapat bahwa sebenarnya proses Islamisasi di Jawa-Nusantara ini belum tuntas ketika kemudian kolonialisme menggulungnya. Salah satu gejala yang bisa dikemukakan sebagai justifikasi adalah Kesultanan Demak yang notabene secara formal disebut kerajaan Islam di Jawa, berumur pendek. Masa singkat kekuasaan Kesultanan Demak belum sempat memberikan fasilitas yang memadai bagi tumbuhnya Islam di tanah Jawa, apalagi memproduksi karya-karya bernapaskan Islam yang bisa dijadikan indikator bahwa Islam sudah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Ibaratnya, Kesultanan Demak baru membangun masjid dan belum sempat memakmurkannya. Sementara, kerajaan-kerajaan penerus Demak dianggap kerajaan sinkretis. Proses Islamisasi pun menjadi mangkak, setengah matang.
Di sisi lain, sebelum Islam diperkenalkan, baik melalui jalur pedagang maupun jalur ulama’, penduduk Nusantara sudah memeluk Hinduisme dengan segala variannya serta Budhisme dan variannya selama ratusan tahun. Bahkan, ada juga pemeluk agama-agama lokal yang sebagian masih bertahan hingga saat ini. Memang, semua itu bukan agama samawi. Tapi, ada koneksitas tertentu yang membuat penduduk Nusantara begitu mudah terserap ke dalam Islam yang dibawakan kepada mereka dengan pendekatan yang unik pada masa itu.
Maka, tidak heran jika kemudian ada beberapa lapisan peradaban yang menguasai alam pikiran orang Jawa-Nusantara. Ada lapisan Hindu-Budha dan agama lokal, ada lapisan Islam, dan disusul lapisan modern yang dibawa oleh kolonialisme. Gejala-gejala itu menjadikan generasi Zoom ini menjadi generasi yang umumnya mengalami dan atau memiliki 2 hingga 3 lapisan sekaligus.
Di dunia Islam, dalam proses Islamisasi yang setengah matang itu, yang kemudian digulung oleh gelombang modernitas yang menekankan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, melahirkan beragam respons pemikiran Islam terhadap budaya modern yang akhirnya memproduksi aliran-aliran sungai pemikiran baru dalam Islam. Sungai-sungai itu – untuk menyebut beberapa-, misalnya: pemikiran Islam yang bercorak tradisionalis, modernis, fundamentalis, atau mahdiis. Juga ada corak yang berciri esensialis, skripturalis, akulturalis, normativis, juga posmodernis.
Masing-masing sungai itu diarungi oleh ummat Islam, dengan rakit, perahu mesin atau kapal mesin. Malangnya, sebagian penumpang rakit dan perahu itu memiliki anggapan bahwa sungai yang sedang diarunginya-lah yang paling jernih, bersih, bebas dari racun, airnya paling sehat untuk dikonsumsi, tempat hidup yang nyaman bagi ekosistem sungai, dan membawa manfaat yang paling besar bagi para pengarung sungai dan warga di kanan-kiri sungai. Jika hanya anggapan seperti itu, mungkin masih bisa ditolelir. Tapi, ketika sebagian penumpang menyatakan bahwa bukan saja sungai yang dia arungi yang paling baik, tapi sungai yang lain adalah sungai racun, ini yang kemudian menimbulkan masalah.
Elitisme dan Ekslusivitas “Islam”
Begitulah dunia Islam saat ini, berada pada sungai-sungai yang berbeda dengan asumsi yang dibangun masing-masing. Setiap kelompok membangun argumentasinya masing-masing, memperkuatnya, dan berusaha mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Malangnya, proses mencari pengikut – yang biasa disebut dakwah – ini menjalankan model penalaran yang tampaknya agak kurang efektif.
Misalnya begini, kelompok- kelompok tersebut melakukan rekrutmen dengan menyebarkan poster, video, mengirimkan pesan whatsapp, mengajak ikut kajian di masjid, mendatangi ke rumah atau kos, bahkan mengajak berdiskusi dalam kelompok-kelompok kecil. Ada juga yang berdakwah dengan pengajian-pengajian yang besar atau membangun stasiun radio dan channel youtube demi menyebarkan “ilmu Islam” yang sesuai dengan tafsirannya. Tampaknya, tidak ada yang salah dengan cara yang ditempuh ini. Tapi, benarkah tidak ada yang salah?
Baiklah, kita uji. Pertama, apakah Anda mau membuka dan mendengarkan kiriman pesan video dari seseorang jika Anda sudah bisa menduga isi video tersebut tidak sesuai dengan selera Anda? Atau bahkan mengolok Anda? Apakah Anda sengaja akan memilih siaran radio, channel youtube, menghadiri pengajian, menghadiri kajian di masjid yang Anda – secara sengaja atau pun tidak – sudah membangun persepsi tentang kelompok itu tidak sesuai dengan minat Anda?
Apakah semua orang enjoy dengan masjid sehingga dengan ringan kaki masuk ke masjid atau tempat-tempat yang didesain untuk pengajian? Apakah tidak ada orang yang merasa enggan berkunjung ke masjid dan merasa tersisih dengan cara berpakaian yang mengikuti budaya tertentu yang “dianggap merepresentasikan” Islam? Bahkan pun, ketika mereka mengaku sebagai ummat Islam.
Kedua, bukankah orang yang sudah dengan sukarela mau datang ke masjid, mengikuti pengajian, membuka channel youtube “dakwah”, mencari gelombang radio Islam, dsb, itu sudah dalam level “masuk Islam” dan tak perlu “didakwahi” lagi? Atau pendek kata, siapakah sebenarnya sasaran dakwah Islam?
Masalahnya adalah sebagian besar kelompok-kelompok Islam yang berusaha menyebarkan “Islam versi tafsirnya” masih menggunakan logika seperti kasus yang disampaikan Shariati di atas. Berdakwah di dalam masjid untuk orang yang masih enggan dengan masjid. Mengajak orang ikut dia dengan bahasa kelompoknya, bukan dengan bahasa orang yang akan diajak. Bahkan, memasang pagar sosial lebih dulu, misalnya dengan cara gaya berpakaian yang berbeda dibanding objek dakwah, menuduh orang lain kafir, sesat atau bid’ah. Kesan yang timbul kemudian adalah orang bukan merasa dirangkul, tapi didorong, bahkan dicampakkan. Apakah demikian Baginda Nabi berperilaku?
Narasi-narasi yang dibangun pun kurang peka terhadap kondisi sosial. Misalnya, memperkuat anjuran untuk berbuka puasa dengan 3 biji kurma dalam kondisi masyarakat yang lebih akrab dengan es dawet dan tak mampu membeli kemewahan kurma. Juga, menekankan anjuran makan dengan menggunakan 3 jari ketika menu makanan lokal lebih banyak berkuah. Atau, mengkampanyekan poligami ketika masih banyak anak muda yang jomblo. Ini merupakan kekeliruan berpikir karena membawa Islam menjadi elitis dan eksklusif.
Ummat Cendhol Dawet
Pasca reformasi 1998, Kuntowijoyo, sejarawan asal Bantul itu, menulis sebuah artikel yang bisa dianggap masterpiece karena layak menjadi tonggak bagi pisau analisis sosial di masa itu dan masa-masa berikutnya. Judulnya adalah “Muslim tanpa Masjid”. Kuntowijoyo menguraikan tentang lahirnya generasi Islam yang tidak belajar di masjid-masjid, tidak melulu sholat di masjid, pendek kata, mereka kurang memiliki aroma masjid. Tapi, mereka adalah ummat Islam yang juga ingin dekat dengan Tuhan. Buktinya, dalam tulisan itu Kuntowijoyo memaparkan tentang sekelompok anak muda yang nggak beraroma masjid tapi berusaha mendirikan sholat tarawih di tengah demonstrasi menuntut reformasi. Maka, mereka melakukan tarawih bukan di masjid, tapi di salah satu lokasi di dalam kompleks Universitas non Islam.
Kelompok masyarakat yang disebut oleh Kuntowijoyo dalam artikelnya kebetulan berasal dari kalangan kelas menengah. Mereka mahasiswa, atau anak-anak muda perkotaan. Sementara ada kelompok lain yang lebih luas, yang tak ikut disebut oleh Kuntowijoyo. Mereka adalah orang-orang dari kelompok menengah ke bawah, terpinggirkan secara ekonomi, dihinakan secara sosial, disingkirkan secara politik dan diremehkan secara budaya.
Di antara orang-orang ini misalnya, pedagang kacang rebus asongan, penjual di warung kaki lima, pedagang rokok di perempatan, tukang bangunan, kuli angkut, guru honorer, anak-anak petani di desa-desa, anak-anak buruh pabrik dan pekerja rendahan di kota, para pengangguran, para makelar, orang-orang yang dirinya sendiri merasa tidak jelas profesi dan statusnya, anak-anak punk di perempatan jalan, dan lain-lain. Mereka lebih akrab dengan “senggak-an” Cendol Dawet dibanding mendengarkan lantunan ayat-ayat al Qur’an atau tausiyah ustadz-ustadz yang isinya berjarak, bahkan jauh dari kehidupan sehari-hari mereka.
Sebagai manusia, orang-orang ini juga membutuhkan momen dekat dengan Tuhan. Kedekatan yang simple, tidak rumit, tidak bertele-tele. Juga kedekatan yang hangat, yang bisa dirasakan merasuk ke lubuk hati. Bukan kedekatan yang mengancam.
Kiranya, disitulah Cak Nun dan Maiyah hadir. Di tempat-tempat yang setiap orang bisa mengakses dengan tanpa rasa enggan. Di taman budaya atau di lapangan terbuka. Orang tidak segan hadir meskipun pakaiannya sudah lama tidak ganti. Juga tak perlu enggan ketika di hidungnya ada tindikan anting atau tato di badan.
Cak Nun datang dengan pakaian biasa, dengan bahasa mereka. Tidak meletakkan diri pada posisi menggurui. Seperti ketika mendadak Cak Nun butuh melampirkan ayat-ayat al-Qur’an yang dia sampaikan secara lisan di luar kepala untuk menjadi dasar jawaban atas satu pertanyaan dari anak-anak muda yang ikut Maiyahan, Cak Nun tidak meletakkan diri sebagai orang yang pandai dalam agama. Tapi, justru mengatakan dengan humor dan seperti kaget terhadap dirinya sendiri: “Sepurane yo Rek, jebule aku apal Qur’an (Maaf ya, Rek. Ternyata aku hapal ayat-ayat al-Qur’an).”
Betapa dekatnya, betapa hangatnya, seperti persahabatan biasa. Sebagaimana Baginda Nabi juga tidak meletakkan diri sebagai ustadz, tapi sebagai sahabat. Sahabat yang merangkul dan mengayomi, yang diyakini bisa dianggap Bapak. Bapak sandaran ruhani bagi orang-orang yang kalah atau sengaja menyingkir, yang kiranya sengaja dipilih oleh Cak Nun, ketika menyatakan diam-diam “kita mengangkat apa yang diremehkan, memungut apa yang terbuang”, dulu, ketika sebutan Maiyah belum lagi diperkenalkan. Cak Nun membawakan Islam dengan ikon terkuat Tuhan: Rahman dan Rahim. Bukan al Muntaqim.
Cak Nun juga menjadi kurir cara ber-Islam yang simple, tidak rumit, tidak bertele-tele, dengan Maiyatullah: bersama Allah. Bersama Allah adalah koneksi sinyal yang terus-menerus kepada Allah dimana pun, kapan pun, tanpa dibatasi ruang dan waktu. Dengan jaminan Base Transceiver Station (BTS) yang selalu ready: Baginda Nabi. Untuk bisa bermaiyatullah, tidak harus – meskipun akan lebih baik pandai berbahasa Arab, tidak harus pintar membaca kitab, tidak harus paham luar kepala ilmu fiqih yang dibangun para ilmuwan Islam, tidak perlu terlibat dalam perdebatan “bismillah” diucapkan keras atau rahasia -sekali lagi- meskipun jika menguasainya, itu lebih baik. Seapes-apesnya, jika masih mampu mendekat ke Baginda Nabi, maka akan selalu ada peluang terkoneksi kepada Allah.
Sugeng Milad Cak Nun!
Catatan: Esai ini diolah dari artikel berjudul “Maiyah, Ummah and Floating Mass” yang sedianya akan disampaikan dalam “Academic Sharing” di Departemen Malay Studies, National University of Singapura, 7 April 2020. Agenda tersebut ditunda karena pandemi Covid-19.