CakNun.com

Linus dan Sekitar Pembacaan Bunga Rampai Sastra Indonesia: “Tonggak” Suatu Waktukah

Syahruljud Maulana
Waktu baca ± 10 menit

Sesudah menonton Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) lewat youtube: “Membaca Linus”. Pada sesi ngangsu kawruh, perbincangan tersebut menghadirkan simbah Nun bersama para penyelenggara FKY. Hal itu merupakan obrolan nostalgik yang asyik dan oral histori dengan hikmat.

Tiap mendengar nama Linus Suryadi Agustinus — nuwun sewu untuk selanjutnya disebut Linus, ingat Pariyem, ingat Tonggak. Ingat bahwa ada banyak perbendaharaan kata yang tak dijangkau Kamus Besar Bahasa Indonesia, kecuali tata buku pengalaman dan kamus hidup umat manusia jadi muatan dalam puisi-puisinya.

Mungkin karena sebagaimana simbah Nun mengatakan bahwa kami (maksudnya ia dan Linus) lahir di era 1970-an, artinya aktif di era 70-an; masa keemasan bagi kesenian dan kebudayaan. Itu memang era di mana kita sangat segar, sangat tumbuh sebagai pohon estetika. “Tanpa terkecuali potensi kreatif di sektor puisi Indonesia, yang punya intensitas kegiatan cukup tinggi pada tahun-tahun 1970-an,” tulis Linus dalam Tonggak 1.

Tulisan ini mencoba membaca (sedikit-sedikit) rekam jejak Linus sebagai manusia serbaneka editor, penyunting, redaktur, pengasuh majalah, di samping kerja kepenyairan, kiprah dokumentator, peneliti menggelandang, dan sebagainya. Bertolak dari bacaan dan sumber bahan yang ada dalam kepustakaan alit pribadi.

Yang lalu menjadi pembahasan di sini adalah pembacaan atas puisi-puisinya (terutama dalam Langit Kelabu: buku puisi perdananya terbit tahun 1976), serta uraian sejarah pendek (semacam indeks beranotasi) mengenai bunga rampai sastra Indonesia, atau kita kenal sebagai antologi sastra Indonesia, dan hal ihwal sebelum maupun sesudah terbitnya Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern 4 jilid, Gramedia, 1987.

Sederhananya, upaya ini mungkin sebagai pencatatan (dalam hal bunga rampai sastra) — yang luput dari pembacaan Linus pada waktu itu atau memang tidak sempat ditulis olehnya lantaran ia lebih dulu pergi meninggalkan sastra kita semua. Dan untuk permulaannya nanti mengalir sajalah hingga masa kini.

Sekali lagi, upaya ini sekadar mengedarkan daftar bacaan bunga rampai sastra dari masa ke masa kepada pembaca sastra sekarang, yang mungkin dapat berdaya guna dengan cara terus memperbaharui “olah dan edarkan” untuk masa mendatang sekaligus mengamini harapan Linus sesudah mengumpulkan ‘Tonggak’-nya: semoga kelak tiap kali menyusun bunga rampai sastra Indonesia mestinya tiap sektor sastra mengerjakannya. Sebab, ungkap Linus menambahkan, “Kata ‘sastra’ mencakup keseluruhan sektor: puisi, cerita pendek, esei, fragmen roman, kritik, monolog, minus drama. Mungkin karena monolog tergolong dalam sektor drama, oleh editornya cukup dianggap ‘mewakili’ sektor itu.”

Lalu kita kembali ke era 70-an, masa puisi bergelimang makna. Di mana kerja menyair ialah senantiasa melakukan percobaan demi percobaan ke wilayah pengucapan segar, merimba ke hutan corak dan berkelana variasi khas alam batin pepuisian masing-masing. Sebagai gambaran, hal di atas pernah dilakukan penyair Sutardji, lewat kumpulan puisi O, Amuk, Kapak. Kalau kita sempat membaca — Amuk itu merupakan bagian dokumentasi rohani; bernafas ke-Tuhan-an. Sementara dalam “Kapak”-nya, ia lebih mengakrabi maut. Sehingga tampaklah gerak tema pepuisiannya dari ke-Tuhan-an beralih ke-maut-an, meskipun alam batiniahnya tetap mendarah rohani. Begitulah menyair.

“Menyair adalah suatu pekerjaan yang serius. Namun penyair tidak harus menyair sampai mati. Dia boleh meninggalkan kepenyairannya kapan saja. Tapi bila kau sedang menuliskan sajak, kau harus melakukan secara sungguh-sungguh, seintens mungkin, semaksimal mungkin. Kau harus melakukan pencarian-pencarian, kau harus mencari dan menemukan bahasa. Yang tidak menemukan bahasa takkan pernah disebut penyair. Saya menyair dan karena itu saya menemukan bahasa saya. Meskipun saya yakin dan sadar, ‘walau huruf habislah sudah/alifbataku belum sebatas Allah’ (sajak Walau),” mengutip Sutardji dalam pengantar bukunya Kapak, 1979.

Uraian di atas bukanlah standardisasi kritik sastra, melainkan untaian pengalaman kepenyairan Sutardji. Sangat mungkin berbeda dengan apa yang diungkapkan penyair kebanyakan. Hanya saja saya lebih ‘klop’ dengan pengalaman berproses membaca kepenyairan seseorang ketimbang pakai mode kritik sastra tertentu. Meskipun kadangkala dalam beberapa hal lain kritik sastra bisa sangat diperlukan, namun kali ini soalnya puisi-puisi Linus—yang entah kapan terakhir saya membacanya.

Lagipula saya memang tidak bermaksud memberi penilaian Langit Kelabu Linus sesuai khas tradisi keilmuan sastra, melainkan demikianlah apresiasi alit bahwa Linus telah menawarkan ‘suatu daripada sajak’ kepada pembacanya dengan cara berdekatan puisi, sebagai kesatuan kehidupan yang berdaya refleksi pengalaman. Sebelumnya juga ada pertimbangan intuitif yang menjadi manajemen perimbangan antara estetik, objektif, dan ekspresif. Tiga poin itu cuma alat, kadang digunakan, kadang tidak.

Pada suatu pernah membaca Langit Kelabu, saya menjumpai pohon kata—agaknya asing dan tak dikenali selain di hutan bahasa puisi Linus itu sendiri. Sebutlah ‘meruah’, ‘lucut’, ‘kuap’, ‘tekongan’, ‘lataku’, ‘hibuk’, ‘menempuruk’, ‘segantang, ‘risik’, ‘guram’, ‘penyap’, ‘nanap’, ‘tangguk’, ‘kanjut’, ‘sasmita’, ‘ngungun’, ‘sesah’, ‘daif’, ‘menyigi’, ‘terbantun’, dan banyak lagi lainnya. Dari sebagian perbendaharaan kata tersebut sudah masuk KBBI, akan tetapi jarang dipakai selain kalau bukan oleh penyair yang memuisi. Atau bisa jadi karena sedemikian minimnya pembacaan saya, sehingga belum merambah ke wilayah ataupun meneroka kata-kata liyan. Dan alangkah menggembirakan pula, bagi pembaca puisi seperti saya ketika mendapati kata-kata baru — yang terpendam dalam kamus tadi disebutkan kemudian menjadi khazanah kata sebagai bekal kepenulisan puisi atau karya apapun saja.

Seandainya kamus kata dalam Langit Kelabu ditelusuri, akan terdengarlah suara-suara bisikan seolah teraniaya, seumpama jerit sisa puisi yang ditulis penyair sebagai korban — entah korban apa dan atas apa. Sementara daya tangkap saya menggambar bahwa Linus bagaikan seorang pelamun yang puitis, begitu kesan polos sesudah membaca puisi-puisinya. Saya pun membayangkan kepak matanya tak pernah diam mengamati, ia ingin masuk ke dalam mata lain, bahkan menuju ke kedalaman mata. Di sanalah perburuan puisinya dimulai, ia jeli mencari, kemudian meladang olahan batin.

Linus, dengan puisi-puisinya, merupakan potret diri ‘melamun’ kemungkinan gambaran ‘pelamunan’ ilahiah. Nuansa puisinya serupa mosaik dengan suasana yang tenang dan lembut — yang mungkin bisa fatal kemudian kalau ia meninabobokan atau justru melenakan. Apalagi citraan puisinya kerapkali menyerupai lanskap; suatu pemandangan yang indah hanya saat itu saja, lalu menikam dalam, atau seketika redup lenyaplah.

Hal demikian terlepas dari kehidupan Linus yang mungkin dibilang introvert menyimpan beragam kegelisahan sendiri. Akan tetapi bagi saya itu tanda bahwa ia seorang pemikir juga, artinya kegelisahan menjadi semacam pijakan utama dan dorongan sekaligus agar ia senantiasa berpikir. Karena begitulah manusia berakal ciptaan Allah, yang mampu menggerakkan akal dan mengembangkan pikiran untuk mencari segala sesuatu. Memikirkan banyak hal. Merenungi secara utuh menyeluruh: mendalam, meluas dan melebar.

Walau pada kenyataannya tetap saja ketidakmengertian itulah apa yang sebenarnya terjadi dan dihadapi. Mungkin juga demikianlah satu pokok pikiran Linus tentang ngelmu krasan, sebagai pendirian budayanya, yang dituang dalam karyanya. Sebagai ajakan untuk pembaca menuju krasan, suatu daerah kebudayaan harmoni lewat tradisi masing-masing.

Dengan puisi, Linus menjelajahi ruang batin dan badan yang terdiri dari penampungan hayati jiwa orang-orang sekeliling melalui lirik-lirik yang serba repertoar sekaligus reportatif nan syahdu. Alam puisi Linus laiknya panorama dengan sapuan imajiner padu padan kenyataan yang melukiskan gelora. Dengan puisi, Linus bagaikan pengembara tak tahu jalan maupun pulang, ia terlanjur berada dalam belukar fenomena sosial dan kehidupan suatu masyarakat, mau diapakan lagi kalau bukan jalani.

Ia terus berjalan tanpa harus membabati apapun agar terlihat jalannya atau menebangi segala supaya tahu ke mana jalan. Dalam puisi Linus, kekerasan dari nada sosialnya bersifat elastis, kelembutan menjadi pelaksanaan plastisitas. Dengan format puitisasi yang beraneka pula: kerapkali repetitif bukan untuk menegaskan melainkan berdaya kejut, kadangkala retorisnya halus dan stilistikanya lembut. Kita pakai contoh sebaris akhir puisinya, “maut aku, muat aku, dalam dekapan!” (Surabaya, 1973) misalnya.

Corak puisinya mungkin tak bisa membebaskan dari ataupun melupakan jejak asah-asih-asuh Umbu Landu Paranggi sewaktu ia menempa diri dan memulai kepenyairannya melalui Persada Studi Klub (PSK). Biarpun begitu dalam “Langit Kelabu”-nya kentara sekali bahwa Linus dengan sadar mendobrak konvensi bunyi yang sudah mapan, baik dalam kehidupan maupun puisi, ia juga mengoyak sistem gramatikal yang baku dengan saling menyambung mengena di hati. Berikut bunyinya “raga-jiwa”, “dendam-rindu”, “larat-larut”, “dansa-dansi”, “rusuh-resah”, “gaung-gema”, dan seterusnya. Itulah sumbangan Linus lewat torehan puisi tak tepermanai, dengan cara pengucapan lain dan cara bertutur yang tak biasa, yang lalu menjadi benih dan tersebarlah ke mana-mana di alam pepuisian Indonesia.

Manakah Bunga Rampai Sastra Indonesia

Sebelum Linus menulis Pengakuan Pariyem, ia lebih dulu mempertanyakan adakah puisi Indonesia yang panjang? Mungkin karena belum ada, maka ia menuliskannya. Begitu pula sebelum menyusun ‘Tonggak’, ia mengungkapkan: “pada tahun 1977 saya menerima sebuah nomor bukti bunga rampai sastra Indonesia susunan Ajip Rosidi, Laut Biru Langit Biru, namun sejumlah nama penyair Indonesia yang saya ketahui dan saya anggap bagus puisinya tidak bisa tersua di buku itu.” Katanya pula menambahkan, “belum pernah ada antologi puisi Indonesia yang meliputi rentang waktu dari awal bangkitnya sampai masa mutakhir: 1920-1985-an.” Oleh karena itulah, ia segera mengerjakan penyusunan.

Dalam Tonggak 1, sebagai editor, Linus memberi kata pengantar cukup panjang dan penting untuk pelacakan bunga rampai sastra Indonesia. Ia menginformasikan secara detail hal-hal terkait buku antologi sastra yang pernah terbit berdasar timbangan macam dan pengklasifikasian. Sebagaimana dalam menyusun antologi sastra, lazimnya memakai stress periode waktu. Seperti sudah dikerjakan Sutan Takdir Alisjahbana, HB. Jassin, Ajip Rosidi, Korrie Layun Rampan — sekadar menyebut beberapa nama.

Sejarah, menurut Kuntowijoyo, salah satunya ialah ilmu tentang waktu. Maka untuk kebutuhan mendasar saya pakai Metodologi Sejarah penjelasan Kuntowijoyo begini: “Dalam waktu terjadi empat hal yaitu perkembangan, kesinambungan, pengulangan dan perubahan… Agar setiap waktu dapat dipahami, sejarah membuat pembabakan waktu atau periodisasi. Maksud periodisasi ialah supaya setiap babak waktu itu menjadi jelas ciri-cirinya, sehingga mudah dipahami.”

Kalau Linus dalam pengantar Tonggak membeberkan kepustakaan bunga rampai sastra Indonesia melalui catatan kakinya, sedangkan saya mencoba menambah sedikit indeks beranotasi kekaryaan masing-masing. Dengan cara pengulangan itulah saya membaca apa yang belum sempat terbaca olehnya, yang mungkin ini sekadar bagian alit melengkapi bahan bakar kesusastraan kita. Pengulangan, bagi saya, tawaran untuk meneliti perkembangan bunga rampai sastra Indonesia yang beragam mempunyai motif kesinambungan secara terus-menerus mengalami perubahan dari masa ke masa.

Namun pembagian periode di sini, tidak bermaksud untuk masa angkatan—yang sampai kini masih bermasalah, lantaran beberapa pemikir sejarah sastra saling berbeda pendapat. Oleh karena itu periodisasinya terarah pada tahun terbitan antologi sastra tersebut. Bertolak dari rujukan daftar kepustakaan pribadi dan referensi bacaan tergantung pada koleksi yang tersedia. Meskipun pendokumentasian yang diwartakan Linus melalui catatan kaki Tonggak cukup lengkap pada waktu itu, akan tetapi belum menyeluruh sampai masa kini.

Pada permulaan bunga rampai sastra Indonesia sementara Poeisie Baroe (1946), terbitan Kebangsaan Poestaka Rakjat, kerja pertama dikumpulkan dan diuraikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Sebelumnya mungkin juga ada Poeisie Lama (1941), namun saya belum mempunyai bukti cetak yang sah, barangkali karena buku tersebut sangat langka. Sementara yang saya punya Puisi Lama (1961) cetakan kelima, terbitan Pustaka Rakjat. Buku ini hendak memberi pengertian tentang ciri-ciri khas aneka ragam puisi “masa lampau” secara gamblang. Sedangkan kalau Puisi Baru merupakan salah satu contoh awal bunga rampai sastra Indonesia. Di dalamnya memuat uraian tentang Puisi Baru itu apa, lebih terutama karena penyusunannya terdiri dari biografi ringkas para penyair era “Poedjangga Baroe” beserta sajak-sajaknya, yang editornya pun menerangkan sumbernya dari mana.

Artinya, suatu “kerja pendokumentasian” akan dikatakan sebagai bunga rampai sastra Indonesia kalau di dalamnya terkandung biodata dan karyanya yang ‘jelas’ sumbernya.

Dalam pengertian lain, bunga rampai sastra Indonesia adalah upaya mengenalkan pengarang maupun penyair sekalian karya-karyanya kepada pembaca sastra khalayak luas. Saya kira soal demikian sudah cukup terang paparan Linus, kalau kita baca rekaman jejaknya sebagai editor Tonggak.

Daftar selanjutnya ada Gema Tanah Air Prosa dan Puisi: 1942-1948 (Balai Pustaka, 1948) susunan HB. Jassin, seorang manifestan yang tekun dan telaten di sastra. Kumpulan ini merupakan pendokumentasian pertamanya selama menggeluti sastra. Semula terbit sebuku menyeluruh, alih-alih kemudian di tahun 1975 hingga 1993-an mengalami cetak ulang terus terbit dalam dua jilid. Dari sekian buku dengan judul yang sama itu, kepolosan saya menyebutnya sebagai antologi sastra bimbang. Entahlah siapa yang bimbang: editorkah atau penerbitkah.

Dalam buku tersebut kebimbangannya tampak antara haruskah menghilangkan karangan lama lalu mengganti dengan karangan baru—yang berbeda pengarang maupun penyair. Bimbang lainnya terletak pada perubahan sana-sini dalam bentuk daftar isi. Seketika pula mengalami perubahan secara isi: ada penghilangan, pergantian atau penambahan, mungkin pembaharuan.

Hal itu mungkin terjadi karena adanya desakan penerbit, juga tak bisa dilepaskan dari ketegangan kehidupan sosial politik pada masanya ketika buku tersebut dicetak ulang. Mengambil contoh, Jassin sempat menghadirkan beberapa pengarang/penyair Lekra — tanpa perlu menyebutkan nama, namun kemudian pada cetakan ulangnya justru malah menjadi hilang lagi jejaknya.

Tentu berbeda dengan susunan Jassin lainnya, Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (Gunung Agung) cetakan pertama, 1963. Maupun Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (Balai Pustaka) cetakan ketiga, 1969. Dalam catatan Linus, ada yang tanpa biodata untuk “Pujangga Baru” dan tanpa biodata tanpa sumber kutipan untuk “Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang”. Sebab apa? Tentu kita mafhum tentang proses Jassin sewaktu menyusun kedua buku tersebut ketika itu masih berlangsung revolusi fisik, era ketegangan dalam dimensi sosial, politik, maupun kebudayaan. “Justru mengundang sikap simpati pada H.B. Jassin yang tetap tekun dan setia berusaha mengumpulkan karya para penyair yang tentunya tercerai-berai dan tak terurus oleh para penyairnya sendiri,” kenang Linus mengapresiasi.

Karena pengabdian Jassin pada pendokumentasianlah, maka kerjanya seolah wajib menyusun demi menyusun. Lalu ia mengumpulkan Angkatan 66: Prosa dan Puisi (Gunung Agung, 1968) semula terbit sebuku utuh, namun setelah dicetak ulang jadi bentuk dua jilid. Selanjutnya kita menapaki jejak penyusunan Ajip Rosidi, antara lain: Djakarta Dalam Puisi Indonesia (Dewan Kesenian Jakarta, 1972), Laut Biru Langit Biru: Bunga Rampai Sastra Indonesia Mutakhir (Pustaka Jaya, 1977), Sajak Sunda (Kiblat Buku Utama, 2007), dan mungkin lebih banyak lagi.

Berikutnya Korrie Layun Rampan yang gemar mendokumentasikan di antaranya: Wanita Penyair Indonesia (Balai Pustaka, 1997), Angkatan 2000 Dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2000), Balikpapan Dalam Sastra Indonesia (Araska, 2008), Sumbangan Borneo Kalimantan Terhadap Sastra: Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia (Araska, 2011), Kalimantan Dalam Prosa Indonesia (Kalimantan Timur, 2011), Kalimantan Dalam Puisi Indonesia (Pustaka Spirit, 2011) Kalimantan Timur Dalam Sastra Indonesia 2 Jilid (Pustaka Spirit, 2011), Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern (Narasi, 2013).

Di wilayah puisi ada Manifestasi susunan M. Saribi Afn (Tintamas, 1963). Seserpih Pinang Sepucuk Sirih: Bunga Rampai Puisi Wanita Indonesia (dwibahasa), susunan Toety Heraty dan terjemahan John. M. McGlynn (Pustaka Jaya, 1979). Sajak-Sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air susunan Oyon Sofyan (Obor, 1995). Antologi Puisi Indonesia 1997 susunan Slamet Sukirnanto (Angkasa, 1997). Matinya Seorang Petani susunan Lembaga Kebudayaan Rakyat (tanpa tahun terbit). Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Susunan Asahan Alham, Sobron Aidit, dkk (Lontar, 2002).

Seandainya pencatatan sedemikian rupa diteruskan tentu akan berkepanjangan. Sedangkan dari sebagian yang telah disebutkan itupun sedikit di wilayah puisi dan prosa—yang sama sekali belum menyeluruh pula, apalagi jika ditambah sederetan esei, kritik, cerpen, maupun drama.

Tonggak Sesuatu

Bagi pembaca sastra, Tonggak itu sesuatu. Ia terus diburu meski sulit diketemukan. Kayaknya kita sedang mengulang apa yang pernah diungkapkan Linus, “keadaan ini mempersulit banyak pihak; terutama kalangan guru dan dosen sastra, siswa dan mahasiswa, para peninjau dan pengamat, bahkan juga bagi pencinta dan peminat puisi Indonesia; orang setanah air maupun bangsa manca negara.” Untuk mengetahui bagaimana puisi Indonesia modern itu. “Antologi Tonggak dimaksudkan untuk merangkum puisi-puisi para penyair Indonesia dari dahulu sampai sekarang. Dengan harapan, antologi ini dapat mencerminkan Indonesia dalam bidang puisi,” begitu catatan dari penerbit. Tetapi sayangnya Tonggak tak pernah mengalami cetak ulang, buku perlu ini dibiarkan langka dan terbengkalai.

Begitulah gejala di luar Tonggak, sedangkan di dalam Tonggak sepencatatan penerbit: “ganjalan pertama ialah—meminjam istilah editor—segel merah yang dikenakan pada sejumlah penyair Indonesia. Di antara mereka yang terkena segel ini adalah Rivai Apin, Hr. Bandaharo, S. Rukiah, dan Agam Wispi. Itulah sebabnya, puisi-puisi keempat penyair ini tidak ditemukan dalam Tonggak, meski Editor ingin memasukkannya,” tambahnya kemudian, “ganjalan kedua datang dari penyair sendiri. Ternyata tidak semua penyair—yang dipilih Editor—mengizinkan puisi-puisinya diikutsertakan dalam Tonggak. Di antara penyair yang tidak memberi izin ini adalah Sutardji Calzoum Bachri, Ikranegara, Abdul Hadi W.M. dan Emha Ainun Nadjib. Kedua ganjalan tadi tentu berada di luar kekuasaan Editor maupun Penerbit.”

Artinya, hal itu merupakan pembelajaran bagi siapapun saja yang hendak melakukan penyusunan antologi sastra. Sebab perizinan pemuatan karya si pengarang maupun penyair sudah menjadi salah satu syarat terutama dalam menyusun antologi sastra. Adapun syarat lainnya tergantung pada Editor itu sendiri. Di sini kita akan membaca proses Linus sebagai Editor, juga apa dan bagaimana pertimbangan suatu karya layak dimuat.

Dalam susunan antologi puisi Indonesia modern, Linus tidak memakai suatu kriteria tertentu, malahan justru hendak merangkum semua kriteria yang umum dipakai berdasar pada pertimbangan masing-masing Editor. Linus pakai timbangan periodisasi karena antologi jenis ini mungkin masih langka. Kalaupun ada itupun hampir menyerupai, tetapi susunannya tidak terpisah-pisah. Mestinya setiap sektor sastra sastra masing-masing mengerjakannya. Mengenai bagaimana sikap dan pandangan, alih-alih penilaian ketika ia mempertimbangkan dan memilih puisi, tentu kembali tergantung pada Editornya. Posisinya mesti terletak pada kesimbangan antara tata nilai, konvensi sastra dan klasifikasi yang nantinya akan membentuk suatu model.

Dalam pengantar Tonggak, Linus telah menjelaskan apa dan bagaimana kerja Editor, ia mengumpulkan dan menguraikan segala macam antologi sastra. Membahas dan mengoreksi sekaligus kerja para Editor dengan susunannya. Saya kira melalui pengantarnya itulah pelajaran pertama bagi seorang Editor yang hendak mengerjakan suatu bunga rampai sastra Indonesia. Mula-mula menyusun niat dan tujuannya, juga sebisa mungkin lengkap sumber-sumber bahan yang dipakai editor, serta bagaimana timbangannya dan kriteria apa sesuai kehendak sekarang—yang mungkin bagi publik sastra. Seandainya kalau bisa secara utuh dan menyeluruh di sektor sastra yang ditekuni.

Toh, garapan masing-masing orang niscaya saling berbeda, itu artinya ketidaksamaan merupakan penerimaan hasil akhir sebuah bunga rampai sastra Indonesia, dalam hal ini antologi puisi. Itulah mengapa Linus tak mau menempuh jalan yang sama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan H.B. Jassin: pola susunannya asal ada karya dan nama penyair, tetapi minus biodata. Ia bukannya menampik, melainkan justru mengafirmasi ketiga pola itu sebagai rumusan dasar penyusunannya.

Sementara, bagi saya, inilah keistimewaan Tonggak, Linus menempatkan biodata ‘selengkapnya’ di awal, baru kemudian sepilihan puisinya. Tampilan yang mungkin jarang sekali ditemukan dalam antologi sastra manapun, karena sepembacaan saya umumnya para penyusun hanya mengumpulkan seadanya biodata penyair (semacam biografi singkat) dan selalu menempatkannya di akhir.

Pasalnya, kata Linus, “bahkan tidak aneh bila antar para penyair Indonesia satu generasi atau dari generasi berbeda tidak (baca: belum) lagi saling kenal karya puisinya.” Maka pertimbangan Linus sebagai Editor Tonggak lebih memakai pola periodisasi dengan mengutamakan kelengkapan biodata dan ketentuan jumlah puisi. Sebab titik tolaknya sebagai pengenalan antar penyair dan untuk mengenalkan puisi-puisi lintas generasi baik kepada segenerasinya maupun generasi mendatang.

Lain daripada itu, Linus juga berupaya memberi gambaran tentang para penyair yang dimuat dalam antologi ini paling tidak mewakili citranya dengan sekian judul puisi: beragam corak dan variasi kualitasnya. Dengan demikian bunga rampai sastra Indonesia diharapkan dapat menjadi sumber acuan dan tumpuan pokok bagi pembaca puisi Indonesia. Tinggal bagaimana pembaca berdekatan dengan puisi yang terdapat dalam buku ini, lalu menyerap proses kreativitas yang bersumber di dalamnya.

27 September 2020

Lainnya