Kritik Kepada Maiyah
Sejumlah orang dari masyarakat dan tokoh di luar Maiyah melontarkan kritik: “Mau apa itu Maiyah? Sinau Bareng terus, kapan berbuat nyata. Diskusi terus, omong terus, kapan aplikasi nyatanya untuk bangsa?”
Bahkan kalau ditambah “Om Do`”, “Maiyah itu Jarkoni”, jangan kaget. Om Do` maksudnya omong doang. Jarkoni maksudnya “isa ujar gak isa nglakoni”.
Tentu ada banyak jawaban dari Maiyah. Maiyah pasti tidak sesederhana itu, dan kehidupan bermasyarakat, berummat dan berbangsa juga tidak bisa dirumuskan hanya dengan satu dimensi terminologi seperti itu. Sebab nyatanya sampai di masa Covid pun permintaan Maiyahan tidak berhenti, meskipun kita harus mempertimbangkannya dari sangat banyak segi — seberapa bergembira pun ummat dengan adanya Maiyah.
Maiyah juga tidak bisa disebut sekadar “baru berdiskusi” atau outputnya maksimal baru wacana dan narasi. Selama lebih sepuluh tahun Maiyah efektif lebih lengkap dari itu. Tetapi, kalau pakai idiomnya Nabi Muhammad, Maiyah memang belum “biyadihi” dalam mengurusi zaman. Dalam arti belum mampu membuktikan peran perubahan sejarah sampai tingkat yang para pengkritik membayangkannya, atau sebagaimana Maiyah sendiri mencita-citakannya.
Kanjeng Nabi Muhammad Saw adalah ilmuwan kelas satu, intelektual sangat unggul dan pengolah akal yang tak ada duanya. Beliau bukan akademisi, tidak kuliah atau sekolah, bahkan dalam konteks tertentu beliau “buta huruf”. “Maan ra`a minkum munkaran falyughayyir biyadihi, fa in lam yastathi’ fabilisanihi, wa in lam yastathi’ fabiqalbihi, wahuwa adla`aful iman”. Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubah (bertindak) dengan tengannya. Kalau tak sanggup, ya dengan lisannya. Kalau tak mampu juga, ya dengan hatinya. Tetapi itulah level selemah-lemahnya iman pada kehidupan manusia.
Kanjeng Nabi menterminologikan, tak hanya secara stratifikasi, tapi juga secara ruang: “tangan, lisan dan hati”. Sangat sederhana, sesederhana di Maiyah kita punya terminologi “keris, pedang dan cangkul” atau “sendiri, bersama, dan sejati”. Untuk untuk sampai ke level “sederhana” itu Rasulullah memerlukan tingkat geniusitas, kecerdasan dan kejernihan pandang yang para Sarjana Utama pun belum tentu sanggup menjalaninya, apalagi mencapainya.
Lebih gamblang lagi: Maiyah itu mutunya masih rendah, masih “adl’aful iman”. Selemah-lemah iman”. Bahkan Maiyah praktik nyatanya masih “bilqalbi”. Maiyah belum mampu berbuat apa-apa kepada sistem Negara, keseyogyaan suatu Pemerintahan, Pemilu, kapitalisme, pasar bebas, demokrasi, dan apapun saja yang di dalamnya bergelimang kemunkaran dan kedhaliman. “Biqalbihi” artinya “ming dibatin”. Hanya bergejolak di dalam hatinya belaka.
Termasuk saya pribadi masihlah pribadi selemah-lemah iman. Jangankan di skala Negara dan Masyarakat. Di rumah keluarga pribadi saya sendiri pun level saya masih “adl’aful iman”. Aplagi kalau pakai definisi Allah sendiri: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (Yunus: 62). Sedangkan hidup saya siang malam bergelimang kesedihan dan ditindih ketakutan, bagaikan Rahwana yang dihimpit dua gunung.
Mungkin karena itu sejak awal-awal Maiyah saya rajin mengungkapkan: “Saya mengajak Anda semua berkumpul ribuan orang di sini tidak untuk mengagumi dan taat kepada saya, melainkan untuk meneguhkan cinta dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya”. Banyak Jamaah berpikir itu pernyataan kerendah-hatian. Sikap tawadldlu’. Padahal itu it is what it is, fakta cetha wela-wela dari kondisi hidup nyata saya di dunia sekarang ini. Sampai setua renta sekarang ini.
Salah satu jawaban kepada kritik itu Maiyah, saya tidak lantas “ngebo” atau nekad mengajak Maiyah melakukan revolusi sosial, pemberontakan politik atau apapun. Di era pra reformasi 1998 Allah mencampakkan saya ke suatu keadaan untuk berperan sesuatu “biyadihi”. Minggu kemarin di ruang dalam jantung NKRI hari ini saya menganjurkan “bilisanihi” agar pemimpin Negara ini segera melakukan “revolusi ke dalam”, “menyalip dunia di tikungan Corona”, “hardreset perekonomian dan semua komprehensi kehidupan nasional.
Saya agak mendesak, agar kalau siapapun menjadi apa-apa, terutama kalau sudah terlanjur menjadi Presiden: jangan puas hanya hanya dengan meletakkannya sebagai urusan karier, asal selamat sampai hari terakhir masa jabatan. Jangan menjadi pemimpin abal-abal atau Presiden salon. Tapi juga berpikir membikin tonggak sejarah. Kalau Anda pegang suatu tanggung jawab, apalagi di bidang kepemimpinan bangsa, Anda harus bertanya kepada diri Anda sendiri apakah amanah itu kau ambil 1 kg ataukah 1 kwintal ataukah 1 ton. Manusia harus menentukan bobot hidupnya dan takaran amal salehnya.
Kita siapkan juga komprehensi konsep revolusi ke dalam itu. Bahkan Sabrang sudah mempetakannya secara ilmiah akademis. Tetapi harap ingat, bahwa untuk sampai pada “bilisanihi” seperti itu saya membuang semua muatan pribadi hidup saya: ketidaksetujuan atas ini itu dalam urusan kenegaraan, jengkel, marah, tersinggung, terhina, atau emosi apapun. Saya kemukakan “bilisanihi” itu semata-mata berpikir apa yang terbaik untuk seluruh rakyat Indonesia hari ini dan ke masa depan.
Tetapi Kadipiro siap sepenuhnya kalau ternyata semua itu tidak akan menjadi trigger apa-apa bagi kemungkinan perubahan bangsa kita. Saya sudah sering mendengar “swaraning asepi”: pendapatmu tidak penting tidak hanya bagi Indonesia apalagi dunia. Di rumah dan keluargamu sendiri pendapatmu tidak banyak berlaku. Alhasil, semua itu tidak membuat saya dan Maiyah menjadi “berdaya dan berperan” terhadap dunia, Indonesia dengan bangsa dan masyarakatnya. Pencapaiannya paling maksimal adalah bahwa Maiyah sudah tidak bersalah kepada kehidupan bangsa Indonesia. Jadi kita berani sowan dan matur kepada Allah Swt: “In lam yakun biKa ‘alayya ghadlabun, fala ubali”.
Saya akan kembali berjalan kaki di jalan sunyi, dan meminimalisir impian saya kepada dunia dan manusia. Yang saya gadhang-gadhang hanya ini: setiap kali mengingat Kelompok Martabat-nya Sabrang, setahun berlangsungnya Mafaza serta harapan kepada semua Simpul-simpul maupun siapapun saja “Ilmuwan Maiyah” — bagaimana di tengah siksaan Covid-19 ini semua anak-anak saya itu bersegera menggeliat, bangun dan bangkit, untuk cerdas aktif kreatif mengupayakan agar Maiyah meningkat dari peran zaman “biqalbihi”, minimal menuju maksimalitas “bilisanihi” — syukur-syukur ada perintah dan takdir dari Allah untuk berperan “biyadihi” dan Sabrang Bersama Martabat dan dalam ayoman Para Marja’ Maiyah menuturkan paket demi paket langkahnya. Maiyah membutuhkan patriot-patriot penulisan ilmu, pejuang-pejuang Ulul Abshar Ulul Albab Ulun Nuha untuk memperoses warisan wacana dan narasi Maiyah kepada ummat manusia di masa depan dunia.
Untuk meningkat dari level “biqalbihi” tidak berhenti saya berjuang untuk naik kelas ke “bilisanihi”. Manusia dan dunia sedang meluncur ndronjong menuju jurang kehancuran, sekurang-kurangnya saya menyumbangkan buah lisan saya dengan tulisan-tulisan dan dialektika Maiyahan. Allah Swt sudah selalu menolong, tetapi perjalanan saya masih sangat jauh dari taraf yang akal pikiran saya merenungkan dan mendambakan dan mencita-citakannya.
Kita tahu dan bersyukur dalam perjalanan Maiyah sudah lahir banyak paket dan paparan revolusi pemahaman-pemahaman atas kehidupan, nilai-nilai yang dijalani ummat manusia, Agama, Islam, Demokrasi, kebudayaan, dan berbagai ladang serta sawah ijtihad zaman — sampai ke detailnya, kemeluasan dan kemendalamannya. Di Buku Besar Maiyah bisa dijumpai revolusi pemahaman terhadap dialektika hubungan manusia dengan Tuhan dan alam, tentang Pendidikan, Negara, Syariat dan Fiqh, Al-Qur`an dengan ayat-ayatnya yang difirmankan maupun yang tidak difirmankan, sampai ke pekerjaan kecil ngojek hingga perang. Maiyah sudah terus menerus rajin menghimpun pengetahuan dan ilmu tentang bagaimana kehidupan ummat manusia ini seharusnya, serta bagaimana cara dan jalan yang ditempuh dari tahap ketersesatan yang sedang berlangsung dan marejalela sekrang ini.
Akan tetapi, memakai termonologi Maiyah sendiri, saya mengingatkan bahwa saya bersama semua Ummat Maiyah hanyalah “’abdan ‘abdiyya”. Bukan “’Abdan Waliyya”, dan sama sekali bukan “’Abdan Nabiyya” atau “’Abdan Rasula”. Artinya, “bargaining power” kita di hadapan dan kepada Allah Swt tidaklah terjamin memenuhi kadar, ukuran dan mutu yang membuat Allah memperkenankan impian-impian kita.
Maka semua harus siap siaga bahwa rumus Allah ini tidak berlaku pada kita: “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dibandingkan ia melakukan hal yang Aku wajibkan terhadapnya. HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah (nafilah) kecuali Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Aku adalah (yang menolong) pendengarannya saat ia mendengar, penglihatannya saat ia melihat, tangannya saat ia memukul, dan kakinya saat ia melangkah. Jika ia meminta kepadaKu, sungguh Aku akan memberikannya. Jika ia memohon perlindungan kepadaKu, Aku akan melindunginya”.
Tetapi dengan kerja keras Maiyah meningkatkan diri dari “biqalbihi” menuju “bilisanihi” semaksimal mungkin, sambil bersiaga dan tanggap darurat untuk “biyadihi” sewaktu-waktu — kita insyallah sudah cukup melakukan sejumlah hal yang membuat kita tidak kehilangan muka di hadapan firman Allah Swt: “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.