CakNun.com
Kebon (16 dari 241)

Korètan Jawa dan de-Indonesianisasi

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Dok. Progress

Tentu saja kita tidak kuper dan ahmaq: Dipowinatan, Dinasti hingga KiaiKanjeng bukanlah segala-galanya. Dunia ini sangat-sangat luas. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh ummat manusia sangat-sangat beragam. Hidup ini pusatnya bukan Yogya, Indonesia, Cebong, Kampret, Kadrun. Yang disebut Globalisasi adalah sempurnanya teknokrasi penguasa-penguasa Siluman dunia. Presiden Indonesia beserta seluruh jajaran kepemerintahannya bukanlah “Presiden Indonesia” dalam arti denotatif, faktual, substansial. Kenyataannya ia hanya berlaku formal dan administratif, tetapi tidak hakiki, tidak riil, tidak sungguh-sungguh demikian sebagaimana yang terungkap dari nomenklaturnya.

Di balik semua yang kita kibarkan dan sombong-sombongkan melalui banyak kosakata: kemerdekaan, NKRI harga mati, demokrasi, pemilu pilpres pilkada hingga pilkades, pluralisme, liberalisme dan ratusan jargon-jargon lainnya hanyalah buih-buih, dan bukan gelombang air yang sebenarnya. Kayak nggak tahu aja ada rekayasa global, infiltrasi cara berpikir, Freemasonry, Illuminati, Proxy War, pasca Perang Dingin, Arab Spring, Perang Peradaban Huntingtonisme, perang media, ghibah massal dan perang brubuh medsos, bahkan Amerika Serikat pun bukan benar-benar Amerika Serikat sepadan dengan pengenalan administratifmu.

Sejak kapal-kapal eksport Majapahit dan Demak diubah dari cembung lebar menjadi lonjong lancip menyempit, penguasaan dan kekuasaan atas Nusantara dan Jawa dibuka layarnya. Beberapa abad berikutnya pasca Sunan Kalijaga bangsa Jawa stagnan, para Raja dan Pangeran sibuk “wa asyghilid dholimin bid-dholimin”. Sampai sesudah kapal-kapal Portugis, VOC datang, ngibulin para penguasa lokal berabad-abad lamanya yang digagahkan sebagai penjajahan, kemudian halusinasi-insubstansial Kemerdekaan Republik Indonesia 1945, yang resmi membatalkan bangsa Indonesia sebagai bangsa Indonesia.

Kemudian Bung Karno yang sempat mengurusi harga diri bangsa Indonesia dengan kepemimpinan Negara-negara Nonblok, kemudian Pak Harto Raja yang santun namun dikempongi oleh kiri kanannya dan lintah-lintah pengisap darah dari belahan bumi Utara. Dan seterusnya dan selanjutnya tak seorang pun berpikir tentang Indonesia dalam arti dzatiyah wujudiyah tablighiyah. Dan hari ini ada daftar dan pemetaan multi-konflik, yang para pelaku konflik itu sendiri tidak benar-benar memahami apa yang mereka pertengkarkan. Seluruh bangsa Indonesia, bahkan kaum terpelajar dan kelas menengahnya, bahwa 10% IQ tinggi posisi di atas 80% rata dan 10% asor, hanyalah pelengkap penderita dari suatu pengendalian global.

Mereka berteriak tanpa mengerti yang mereka teriakkan. Mereka takbir tanpa sangkan paran makna takbir. Mereka mengacungkan pedang tanpa memahami secara mendasar kenapa dan untuk apa pedang diacungkan. Di pihak lain laras bedil diluruskan ke depan, tanpa pernah bertanya kenapa dan kepada siapa bedil ditembakkan.

Wong Jowo kari separo, Cino Londo kari sakjodho”. Jawa tinggal korètan. Bukan jumlah penduduk Jawa tinggal separo, melainkan kejawaan mereka sudah semakin dikikis oleh diri mereka sendiri karena kepatuhannya kepada Indonesia yang patuh kepada Globalisasi. Kekuatan Barat (Londo) dan Utara (Cino) menyusun giliran dan pembagian wilayah dan bidang garapan untuk men-deIndonesianisasikan Indonesia.

Kita semua di Negeri ini hanya melampiaskan akibat-akibat yang merajalela dan kisruh dari sebab yang tidak dicari dan dipelajari. Kita semua ini diperintah oleh kekuatan yang kita tidak tahu. Kita semua digerakkan oleh kekuasaan yang tidak kita panggraita. Kita semua bertengkar tak habis-habis dan bermusuhan saling sangat membenci satu sama lain tanpa asal-usul yang tidak kita weruhi. Kita adalah bangsa khaos yang mencari-cari alasan untuk menolak kata khaos. Kita cacat pikiran, cacat hati, cacat mental, cacat rohani, cacat segala cacat yang terus-menerus kita tutup-tutupi sendiri agar kita bisa tenang dan mantap berpidato “gemar ripah loh jinawi” dan kasih pengajian “baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghofur”.

Padahal kita “dhaluman jahula”. Segelap-gelapnya dan sebodoh-bodohnya. Kita “aktsaruhum la ya’qilun”. Kebanyakan tidak menggunakan akal. “Waltandzur nafsun ma qaddamat lighadin”, hendaklah melihat apa yang akan berlangsung besok. Bagaimana mungkin. Yang terjadi hari ini saja kita nggak tahu dalam sikap saling sombong dan benarnya sendiri. Apalagi kita menghina masa silam kita sendiri. Kita meremehkan dan menjadul-jadulkan nenek moyang kita sendiri. Kita bangsa yang tidak bisa dilihat apa sebab musababnya untuk akan tidak hancur, meskipun kita tidak mampu merumuskan bagaimana bentuk dan kadar kehancuran yang akan dialami oleh anak-anak cucu-cucu kita sendiri.

NKRI Harga Mati dipikirnya bermakna Indonesia itu abadi. Majapahit yang auranya menyentuh dua pertiga bumi tidak terlalu lama kemudian pun “Sirna Ilang Kertaning Bumi”. Juga betapa sebentarnya eksistensi Demak. Apalagi Pajang, kemudian Mataram yang seolah-olah masih ada. Kraton Pakubuwanan Solo tidak disadari oleh seorang rakyat Indonesia pun bahwa ia sudah musnah dengan proses yang luluh lantak dan sangat memalukan dan memprihatinkan. Sementara Kraton Yogya sibuk di ruangan kecil nDalem Kraton dengan tikus-tikusan, tekek-tekekan, serangga-seranggaan.

Tetapi tidak setiap koordinat dari kehidupan bisa direkayasa oleh Yahudi Internasional, oleh Adikuasa Amerika atau oleh Partai Komunis Cina. Jemek Supardi dan Nevi Budianto tetap Jemek Supardi dan Nevi Budianto hampir persis sebagaimana dulu Tuhan mengkreasi mereka. Komunitas Dipowinatan tetap mengalir di sungai zaman dengan kuasa alam dan qadar sunnatullah. Dinasti dan KiaiKanjeng terus berjalan ke depan dengan indigeniousitasnya, dengan otentisitasnya, dengan orisinalitasnya, dengan kemandiriannya, dengan diri apa adanya, sebagaimana mereka ijtihad-i bahwa begitulah dan untuk itulah dulu Tuhan menciptakan mereka.

Kalau bangsa Indonesia, jangankan menjadi Islam: lha wong menjadi Indonesia saja tidak diperkenankan oleh Barat dan Utara. Tanah air Nusantara adalah hadiah dari ciptaan Tuhan. Juga Islam. Islam bukan bikinan bangsa Arab. Indonesia dan Islam adalah hidayah dan fadhilah kepada kita semua dari Allah Swt, yang sekarang kita lecehkan, bahkan kita kikis dan buang karena kepatuhan kita kepada Iblis dan Dajjal serta pasukan utara Ya’juj Ma’juj. Salah satu fakta kepatuhan kita adalah meyakini bahwa Iblis itu dongeng, Dajjal itu khayalan, dan Ya’juj Ma’juj itu karangan.

Lainnya

Dari Cahaya Terpuji hingga Indonesia Dinasti

Dari Cahaya Terpuji hingga Indonesia Dinasti

Tuhan, entah siapa sejatinya Beliau itu, yang orang Jawa memanggilnya Gusti, yang dalam keseharian menyebutnya Pengèran dan menggelarinya Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, yang merumuskan-Nya dengan kelimat “tan kinaya ngapa tan kena kinira’ – menciptakan pancaran “cahaya terpuji” atau “cahya pinuji”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version