Konyolnya Politik Adu Domba


Kalau kita searching mengenai Politik Adu Domba di Wikipedia, kurang lebih begini pengertian yang kita dapat: “Politik pecah belah, politik adu domba, atau divide et impera adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.”
Akhir-akhir ini sedang marak ‘gorengan’ video atau tayangan di media sosial yang tidak murni analisis redaksinya. Jangankan analisis yang mendalam, bagaimana mereka menyusun judul saja secara kaidah jurnalistik tidak memenuhi persyaratan yang mendasar. Tapi ya namanya juga gorengan, renyah dan gurih, banyak yang doyan.
Ada judul video misalnya yang menyebut Mbah Nun sedang kontra dengan Habib Rizieq. Di Video yang lain Cak Nun disebut-sebut memarahi Jokowi. Lhadalah… Memangnya kapan Mbah Nun ketemu Pak Jokowi? Ada juga video yang diberi headline: Cak Nun kontra dengan Pemerintah. Terakhir ada judul yang sangat provokatif di sebuah video yang diberi judul Cak Nun: Rizieq tidak pantas dipanggil Habib.
Judul-judul tersebut sangat mudah kita bantah untuk kemudian kita luruskan. Persoalannya, medan perangnya memang tidak di dalam arena benar dan salah apalagi baik atau buruk. Medan perangnya adalah soal viral atau tidak viral, rating engagement dan daya tarik yang tinggi. Seperti yang lazim dicari oleh para Youtuber; jumlah subscriber dan viewer yang banyak. Apalagi, patokan mainstream saat ini adalah soal berapa uang yang didapat dari sebuah konten yang diupload. Kalaupun kita bantah, justru yang terjadi kemudian adalah peperangan yang baru, yang memang mereka tunggu-tunggu.
Mbah Nun jauh-jauh hari sudah memberi peringatan, bahwa dalam sebuah peperangan besar untuk memenangkan peperangan bukan dengan strategi dep-depan satu lawan satu. Tetapi cara yang paling canggih adalah dengan memecah belah kekuatan lawan. Sebuah kekuatan besar, dipecah menjadi klaster-klaster kecil, kemudian dihembuskan isu-isu kecil, sehingga membuyarkan fokus konsentrasi komunal. Maka tidak mengherankan jika kita selalu dipertontonkan pada perpecahan demi perpecahan, bahkan yang kemarin kita lihat berada dalam satu gerbong bisa jadi hari ini kita melihat mereka saling berseberangan.
Politik Adu Domba zaman sekarang tidak dilakukan oleh pelaku perang. Tapi oleh orang orang yang tidak ikut di ring peperangan. Pelaku politik adu domba jaman sekarang dikendalikan orang-orang yang mencium aroma lezat keuntungan ekonomi. Mereka melakukan politik adu domba lewat media sosial dan juga media berita online. Karena memang senjata yang digunakan saat ini adalah internet.
Di Youtube misalnya, yang dicari oleh beberapa oknum content creator memang soal uang yang didapatkan dari iklan, yang memang secara algoritma Youtube mendesainnya sedemikian rupa untuk itu. Yang harus kita sadari adalah Youtube hanya sebuah platform media sosial. Seperti halnya Twitter, Instagram, Facebook dan yang lainnya. Algoritma yang disusun tidak berdasarkan benar atau salah, apalagi baik atau buruk. Algoritma yang disusun memang dibangun untuk mengelompokkan orang-orang yang memiliki satu pemahaman yang sama. Bagaimana klaster-klaster dibangun secara otomatis melalui media sosial benar-benar terjadi saat ini.
Cebong, kampret, kadrun, bumi datar, bumi bulat dan lain sebagainya adalah hasil dari lahirnya klaster-klaster tersebut. D imana filternya? Ada pada masing-masing pengguna media sosial itu sendiri. Kalau Gandhie menyebutnya sebagai Human Firewall.
Dari beragam video yang viral akhir-akhir ini mengenai Mbah Nun, framing yang dibangun bahwa Mbah Nun diposisikan berada dalam satu klaster yang sedang berposisi melawan Pemerintah. Tujuannya, sangat mudah terbaca, mereka mencoba menyeret Mbah Nun untuk masuk dalam pusaran konstelasi politik nasional di Indonesia saat ini. Dan sebenarnya pertanyaan besar yang selalu muncul sejak lama adalah; Kenapa harus Mbah Nun?
Anda, saya, Jamaah Maiyah semua seharusnya tidak masuk angin dengan hal-hal yang viral seperti itu. Mbah Nun sudah membekali banyak hal kepada kita, apalagi hanya soal sepele seperti ini. Yaa, mungkin karena kita sudah terlalu lama hibernasi tidak Maiyahan, maka kita semua harus restart belajar kemandirian berpikir. Berdaulat. Tidak gumunan, tidak kagetan dengan berita berita ado domba seperti itu.
Ingat salah satu pesan Mbah Nun, tidak semua hal harus kita ketahui. Bersyukurlah dengan ketidaktahuan kita. Jadi, kalau kita tidak ikut-ikutan arus mengenai sesuatu yang viral di media sosial, itu bukan sebuah musibah.