Kitalah Buih-buih Itu
Apakah pemuda-pemuda Nusantara yang dulu punya kesempatan belajar di ibukota penjajah, Amsterdam, tatkala membuat lingkaran “Perhimpunan Indonesia” sempat menengok Majapahit, Demak, Sriwijaya, syukur hingga Kalingga, Tarumanegara, bahkan Medang Kamulan, Ajisaka, Dewata Cengkar? Sempat didiskusikan akan bikin Nusantara yang bagaimana? Kepada apa dan siapa beliau-beliau itu belajar dan bercermin?
Kaum Muslimin Indonesia hari-hari ini bergelimang Habib. Tuhan-tuhan kecil yang diakui atau mengaku keturunan Nabi Muhammad Saw dihormati layaknya Malaikat. Telitilah membaca sejarah: lebih tua mana bangsa Arab atau bangsa Jawa? Kalau Nabi Muhammad adalah keturunan Nabi Ibrahim melalui Nabi Ismail, bagaimana kalau Nabi Ibrahim adalah cucunya manusia Jawa?
Fosil manusia purba yang ditemukan di Kabuh Jombang dan Trinil Sragen lebih tua mana dibanding andaikan ada fosil juga yang ditemukan di Arab Saudi, Mesir, Sudan, Ethiopia atau Eropa Selatan? Andaikan. Tetapi sayangnya tidak ada. Bagaimana mungkin seseorang membanggakan warung nasinya di hadapan petani padi?
Kenapa “Perhimpunan Indonesia” tidak mensimulasi masa depan bangsanya yang menghampar di sepanjang pulau-pulau Nusantara? Kenapa hanya berkutat di kelas sempit pembelajaran Sekolah Belanda, kemudian keluar membawa titipan-titipan konsep kolonial? Apakah Bung Karno Bung Hatta dan tokoh-tokoh kemerdekaan kita ada menjelaskan pendapatnya tentang Renaissance, kemudian penyebaran pasukan-pasukan Eropa untuk menjajah ke Asia, Amerika Latin dan Amerika Utara? Apakah mereka memasukkan nasib kemusnahan bangsa Inka Maya ke dalam referensi diskusi mereka ketika merencanakan kemerdekaan? Supaya bangsanya belajar berkembang biak metode-metode penjajahan global, dari penyerbuan militer, perang cara berpikir, perang wacana dan pendidikan, hingga penghancuran lewat teknologi dunia maya?
Dalam peta berpikir beliau-beliau itu seberapa riil, seberapa faktual, seberapa substansial dan esensial, seberapa kontekstual berdasar kelengkapan hujjah-hujjah ilmu — bahwa Indonesia benar-benar merdeka pada 17 Agustus 1945 itu? Yang mana “yang Indonesia” dalam peristiwa dibangunnya NKRI itu? Apa maksudnya Alinea-2 Teks Proklamasi: “Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l, diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Pertama, yang dipindahkan itu kekuasaan apa? Kedaulatan bernegara? Kemandirian politik? Harta benda alam dan perekonomian? Kedua, dipindahkan dari siapa ke siapa? Ketiga, kapan ia diselenggarakan secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya? Tanggal berapa? Di mana? Di gedung apa atau alamatnya di Jalan apa kota apa?
Kalau sebelum 17 Agustus 1945 setiap petak tanah di seluruh kepulauan Nusantara adalah hak milik Raja-Raja dan Sultan-Sultan, itukah yang dimaksudkan oleh kalimat “pemindahan kekoeasaan?” sehingga menjadi milik Negara dengan tata hukum “modern”? Kalau Anda seorang Raja atau Sultan, maukah tanah Anda tiba-tiba menjadi bukan tanah Anda? Pada hari apa, tanggal berapa, bulan dan tahun berapa pemindahan itu dimusyawarahkan dan diputuskan?
Kalau yang dimaksud dengan “pemindahan kekoeasaan” adalah dari Kerajaan Belanda kepada bangsa Indonesia, kenapa baru dicantumkan di dalam teks Proklamasi, yang logikanya berarti ketika Proklamasi itu Indonesia belum merdeka, karena masih ada “PR” di alinea-2 itu? Bagaimana pengakuan Kerajaan Belanda bahwa mereka dulu ratusan tahun menjajah Indonesia, bukan sebatas orang-orang VOC berdagang dan ngibulin para Raja dan Sultan?
Dan ketika kemudian para Raja dan Sultan itu beramai-ramai menyumbangkan harta bendanya berupa uang cash, rekening Bank dan tumpukan berton-ton emas, di mana itu dulu dan sekarang? Kenapa sampai Keraton Yogyakartahadiningrat membiayai Pemerintahan NKRI sampai dua tahun? Harta benda itu disumbangkan untuk rakyat Indonesia, Negara Indonesia, Pemerintah Indonesia, ataukah kepada Bung Karno? Kapan hal itu pernah dirapatkan, dirembug, dimusyawarahkan untuk memperjelas posisi konstitusional dan hukumnya? Tanggal berapa rapatnya dan di mana? Raja dan Sultan mana saja yang diundang hadir?
Kalau itu semua tidak bisa kita baca kejelasannya di buku-buku Sejarah yang disebar ke putra-putri bangsa di sekolah-sekolah dan universitas-universitas — maka itulah yang dalam puisi “Bali” yang dipentaskan oleh Kelompok Karawitan Dinasti pada tahun 1976-1981 diungkapkan: “Ya! Kitalah buih-buih itu”.
Ini adalah bangsa buih. Yang jangankan memahami perjalanan hidup bangsa dan negaranya, sedangkan tak pula mereka ketahui secara transparan Presiden mereka Bung Karno dan Pak Harto anaknya siapa, di mana lahir, dan bagaimana kelengkapan riwayat hidupya. Bahkan cacat serta “syubhat” pula pengetahuan mereka tentang semua Presiden sesudahnya.
Kemudian bangsa ini dididik oleh khasanah pendidikan mainstream di lembaga-lembaga maupun di kehidupan masyarakat untuk gila dunia, untuk menjadi budak kapitalisme dan jongos cukong-cukong.
Adapun aku. Adapun aku, saudaraku, hanyalah ayam budak
Keringat mengucur tubuh coklat yang keruh
Kujilat tapak kakimu di pasir tanah kurus
Kami harus membangun dunia. Kami diseret oleh zaman
Kami harus belajar A…B…C…D...
Kami dirangkul, kami disetubuhi oleh para bule
“Ini tanah kami, Tuan, silahkan ambil
Sepuluh dollars, Sir, borong saja
Ini seni seni khas Bali, ini martabat bangsa kami
Dan ini gigolo kami, Madame
Tuan-tuan, mari telanjang bulat menyatu dengan alam
Silahkan copot pakaian, kami juga sudah telanjang
Tuan perlu hiburan, kami butuh uang”