Kita Memang Harus Mudik
Ada semacam mekanisme melingkar dalam diri kita, begitulah pitutur Mbah Nun yang kutangkap dari tayangan diskusi bertajuk “Mengapa Harus Mudik?” di salah satu stasiun televisi nasional beberapa tahun silam.
Beliau menguraikan bahwa setiap kita pasti akan mengalami perputaran, siklus diri yang disebut ‘kembali’. Sebab, ke depan menuju ‘kembali’, maju untuk ‘kembali’, pergi untuk ‘kembali’, dan seterusnya. Hal itu terjadi pada segala aspek kehidupan.
Demikian pula keberadaanku di sini yang sedang diamanahi menetap sementara untuk ngilmu di ujung utara China kota Changchun, tepatnya hampir bersinggungan dengan perbatasan Rusia dan Korea Utara. Terkadang aku sangat mendambakan kampung halaman, rumah kelahiran, desa pekarangan, kebon persawahan yang asrih nan kaya, gemah ripah loh jinawi.
Aku pergi untuk menyepi, mengambil jarak dari negeri sendiri, merantau sejauh-jauhnya, menggelandang di negeri orang, apalagi kota yang saat ini kutempati pada musim dingin hampir menembus angka minus tiga puluh, yang berbanding terbalik dengan pengalaman sejarah kondisi tubuh ini — membuatku haus membaca dan menggali kembali khazanah tentang Indonesia dari kejauhan untuk menambah kehangatan rasa rinduku.
Beberapa bulan lalu, aku mulai menggemari video berdurasi tentang Maiyah, KiaiKanjeng, serta Mbah Nun sebagai maestronya. Seiring berjalannya waktu, kemudian aku sempatkan di tiap malam meluangkan waktu sejenak menghadiri kenduri-kenduri cinta via Youtube, ya bisa dibilang salah satu “Jama’ah Maiyah Youtubiyah”. Pasalnya, meski telah lama mendengar kiprah Mbah Nun, tapi aku belum lama kesetrum oleh kedalaman informasi dan pengetahuan tentang beliau.
Bahkan, aku dapat menemukan budaya Indonesia di keluarga Maiyah sendiri. Sebuah kebhinekaan sejati, keberagaman yang murni, kebersamaan yang tulus untuk rembug bareng menguraikan suatu masalah di tengah-tengah masyarakat. Semoga Tuhan memberikan kesempatan bagiku untuk sinau bareng Mbah Nun serta Maiyah, melepaskan kegembiraan bersama, berkumpul atas rasa cinta.
Selebihnya, terdapat banyak pola pikir baru yang aku dapat di berbagai simpul Maiyah dan buku-buku Mbah Nun. Semuanya bermanfaat banyak untuk menata ulang niat dan landasan berpikir agar selalu berdaulat serta mantap dalam bertindak sehingga terhindar dari sifat fanatisme terhadap salah satu golongan, kelompok, ideologi yang materialistik, keduniaan, serta konfigurasi kelas-kelas yang hanya horizontal semata di mata Tuhan.
Ada ruang untuk memahami peta konsep semua golongan, kelompok, dan ideologi itu. Akan tetapi, tidak semerta-merta ngoyo memperjuangkan idealisme kebenaran subjektif yang mungkin bukan pada tempatnya. Karena, kebenaran masih bentuk kasaran, dan kita harus menyuguhkan suatu kelembutan agar mudah dicerna, yaitu kebaikan.
Terakhir, mengutip penjelasan Mas Sabrang perihal fakta, makna, dan nyata. Jika Al Qur’an ditempatkan posisinya sebagai fakta, maka ia hanya sebatas kumpulan tulisan Arab tanpa kita dapat memahami maksud diturunkannya kitab tersebut melalui perantara malaikat kepada Kanjeng Nabi.
Namun, saat kita memposisikan firman-firman Tuhan itu sebagai makna, aku menemukan satu di antara kenyataan bahwa manusia memang diharuskan mudik atau melakukan perjalanan untuk ‘kembali’, pulang kampung. Baik itu kembali ke rumah, sangkar, gubuk, kandang, hutan, serta segala bentuk tempat hunian masing-masing. Pun pada akhirnya ruh kita diangkat kembali menuju ke pangkuan-Nya untuk melepas rasa rindu bertemu cinta yang sejati. Karena ayat Innalillahi memiliki ujung Ilaihi Roji’un. Kami milik-Mu dan nantinya kepada-Mulah kami kembali.
Changchun, China.