Kita Manusia yang Kurang Berpuasa
9 bulan sudah kita melalui masa pandemi Covid-19 ini. Tetapi sepertinya tidak melahirkan perubahan mendasar dalam peradaban manusia saat ini. Hanya sebatas ornamen-ornamen semata yang tampak; kita terbiasa memakai masker, lebih sering mencuci tangan, perilaku hidup kita sedikit lebih bersih dari sebelumnya. Selebihnya, kita masih sama seperti situasi sebelum pandemi.
Korupsi dana bantuan sosial baru-baru ini menjadi bukti nyata betapa tidak seriusnya penyelenggara Negara dalam mengatasi pandemi Covid-19 ini. Toh pada akhirnya kita semua memahami bahwa ujung dari Virus Corona ini pun berkutat pada urusan kapitalisme dalam industry kesehatan. Setelah sebelumnya masker, rapid test, hingga cairan antiseptik, di depan mata ada vaksin yang juga sangat mungkin untuk dikapitalisasi. Dan kita juga tidak akan kaget jika nanti ada kasus korupsi pengadaan vaksin dan alat kesehatan lainnya.
Beberapa tahun lalu, Mbah Nun menulis sebuah tulisan; Simpan Dulu Sila Pertama. Ditulis pada akhir Agustus 2017. Salah satu tulisan dari Seri Pancasila dari total 14 seri Pancasila yang ditulis Mbah Nun saat itu. Fokus utama dari tulisan itu, setidaknya dari sudut pandang saya, adalah bahwa yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia ini adalah manusia yang benar-benar manusia.
Sepertinya kita semua sudah sepakat bahwa urusan aqidah adalah suatu urusan yang sangat privat. Maka sangat bisa dipahami ketika Mbah Nun memberi judul tulisan tersebut; “Simpan Dulu Sila Pertama”. Sudahlah, urusan aqidah cukup menjadi urusan pribadi masing-masing. Kita sebagai manusia berusaha untuk menjadi manusia yang sebenar-benarnya manusia.
Jika kita menggunakan pijakan di luar agama, manusia yang benar-benar manusia tidak membutuhkan pasal dan undang-undang hukum bahkan ayat-ayat suci dari Tuhan untuk tidak berbuat baik. Hati nurani manusia yang murni akan selalu mengantarkan manusia itu sendiri untuk berbuat baik. Atau, mari kita tanyakan saja pada diri kita masing-masing, apakah memang kita membutuhkan ayat-ayat suci dari Tuhan untuk berbuat baik?
Mbah Nun sering mencontohkan bagaimana perilaku Muhammad bin Abdullah sebelum ia dilantik menjadi seorang Rasul. Selama 40 tahun usia hidupnya, Muhammad bin Abdullah menjadi manusia yang sejati. Ia tidak membutuhkan legitimasi dari Tuhan untuk membuktikan bahwa ia adalah manusia yang bisa dipercaya oleh banyak orang, maka ia bergelar Al Amin. Salah satu kisah yang sering diceritakan adalah bagaimana masyarakat Mekkah saat itu mempercayakan kepada Muhammad bin Abdullah untuk meletakkan batu hajar aswad pada saat pemugaran Ka’bah selesai dilakukan. Yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullah saat itu, ia menggelar sebuah sorban yang ujung kain masing-masing sorban dipegang oleh para petinggi dari masing-masing suku di Mekkah saat itu. Batu kemudian diletakkan di tengah-tengah kain, kemudian masing-masing petinggi suku bersama-sama mengangkat kain itu untuk kemudian membawa batu hajar aswad ke Ka’bah. Peristiwa ini terjadi sebelum Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi Rasul.
Dari Muhammad bin Abdullah, seperti yang dituliskan oleh Mbah Nun, saya pun meyakini bahwa manusia sangat potensial untuk berbuat adil. Benar adanya bahwa manusia adalah makhluk kemungkinan. Ia dianugerahi hawa nafsu. Kontrol atas itu semua ada pada diri manusia itu sendiri. Maka Tuhan membekali rumus puasa. Puasa tidak sekadar menahan lapar dari fajar hingga senja. Puasa juga mengajarkan kita untuk “tidak” terhadap sesuatu yang semestinya “iya”. Terhadap sesuatu yang semestinya “iya” saja dapat dilatih dengan puasa agar kita mampu untuk “tidak” kepada yang “iya”. Memang, yang lebih berat adalah untuk berlaku “tidak” kepada yang memang seharusnya “tidak”. Dan itulah masalah yang mendasar dalam peradaban manusia saat ini.
Tidak perlu sekolah tinggi hingga ke luar negeri atau menghapal ayat-ayat suci hingga berlembar-lembar untuk mengerti bahwa mencuri itu perbuatan yang tidak baik. Secara teori, memang sangatlah mudah kita mengungkapkannya, untuk mengaplikasikannya memang tidak mudah. Tapi, untuk berpuasa juga kita tidak perlu sampai harus mepelajari ilmu kanuragan atau bahkan harus paham dan hapal lembar demi lembar dari sebuah kitab fikih karya ulama besar di dunia.
Tidak mengherankan beberapa hari yang lalu ada seorang publik figur ngoceh di media sosial bahwa belum tentu ia mampu menolak uang sebanyak 17 M jika disodorkan di hadapannya. Tidak kurang, bahkan ia memberi analogi lain, jika ia dihadapkan seorang wanita yang cantik nan seksi telanjang di depan mukanya pun, belum tentu bisa ia tolak. Tetapi bukan berarti hal itu tidak mampu dilakukan oleh manusia. Ada banyak contoh betapa banyak manusia yang ternyata membuktikan dirinya bahwa ia mampu untuk “tidak” terhadap sesuatu yang memang “tidak” untuk dirinya.
Salah satu materi Mbah Nun yang selalu membuat saya bisa slulup angslup di Maiyahan adalah ketika Mbah Nun mengupas detail Surat An-Nuur ayat 35. Bagaimana Mbah Nun mengudar ayat tersebut menjadi sebuah falsafah hidup. Bahwa hawa nafsu dalam diri manusia itu sangat mungkin untuk dikendalikan. Dan saat manusia mampu mengendalikan hawa nafsu dalam dirinya, pada puncaknya manusia akan mencapai titik yakaadu zaituhaa yudhi-u walau lam tamsahu naar. Manusia akan moncer dengan sendirinya seperti sebuah api yang sanggup menyala tanpa ada yang memantiknya.
Sampai detik ini pun, saya sendiri belum khatam mempelajari ilmu puasa, karena memang masih sering mokel ketika berpuasa. Betapa memang tidak mudah untuk menahan diri. Betapa memang tidak ringan untuk mengatakan “tidak” terhadap sesuatu yang “tidak”.
Itulah kenapa Mbah Nun menyampaikan bahwa manusia adalah makhluk kemungkinan, tidak seperti malaikat atau iblis yang merupakan makhluk kepastian. Dan sepertinya, kita sebagai Jamaah Maiyah juga sudah hapal salah satu pesan Mbah Nun bahwa satu-satunya kepastian dari hidup manusia adalah kematian.
Kalau kita sudah berpuasa, kita memiliki hak untuk berbuka puasa. Namun, sebelum kita memutuskan akan mengambil hak kita untuk berbuka puasa, pastikan dulu dalam diri kita masing-masing; apakah kita sudah benar-benar berpuasa?