Kisah Vandel yang Tak Mau Berpisah dari Empunya
Pada perjalanan menuju Purbalingga untuk Sinau Bareng yang diselenggarakan Karangtaruna desa Limbangan Kutasari Purbalingga tiga hari lalu, Mbah Nun turut serta naik bis rombongan KiaiKanjeng. Rombongan berangkat sekitar pukul 10.15 dari Kadipiro. Perjalanan kurang lebih memakan waktu 6-7 jam sudah terhitung makan siang dan istirahat.
Sewaktu tiba di daerah Sumpiuh menjelang sore, rombongan KiaiKanjeng berhenti sejenak di salah satu pom bensin buat istirahat, pipis, merokok, atau minum kopi. Di pojok SPBU ini, terdapat toko snack dan juga minuman sasetan, dan di depan toko ini disediakan beberapa meja dan kursi buat pembeli bisa santai beberapa saat di situ. Mbah Nun dan para personel KiaiKanjeng juga pada duduk di situ.
Saat duduk di kursi itu sambil memandang bus KiaiKanjeng, Mbah Nun teringat perjalanan naik bis (maksudnya bis transportasi umum) yang sudah dilakoninya puluhan tahun, sebab sejak tahun 70 awal, Mbah Nun sudah sering keluar kota untuk memenuhi undangan-undangan ceramah, seminar, sarasehan, atau apapun.
Pernah pada waktu itu, Mbah Nun menempuh perjalanan bis dari Jogja menuju Bogor, tapi rutenya lewat utara. Ketika bis tiba di Pekalongan, Mbah Nun jatuh pingsan atau semaput, dan alhamdulillahnya di sana ada seorang tentara yang berbaik hati menolongnya. Tentara itu membopong badan Mbah Nun dan memijit-mijitnya sampai kemudian sadar kembali. Pingsan karena apa? Mbah Nun tidak ingat.
Tapi, menurut Mbah Nun, yang paling mungkin sakit zaman segitu ya karena masuk angin atau lapar yang ditahan terlalu lama karena nggak pegang uang buat beli. Setelah sadar dan kondisi sudah lebih baik, perjalanan dilanjut menuju tujuan yaitu Bogor.
Setelah selesai menjalankan tugas acara di Bogor, panitia pengundang mengantar Mbah Nun ke Jakarta, persisnya ke Stasiun Gambir. Untuk kepulangan ini, Mbah Nun hendak menempuh perjalanan kereta kali ini. Tiba di Gambir, Mbah Nun dilepas dan berpisah dengan panitia. Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan tiket kereta ke Jogja? Di kantong Mbah Nun tak tersedia cukup uang. Untunglah Mbah Nun punya sahabat yang baik hati di Jakarta yang bersedia membantu membelikan tiket.
Mbah Nun juga bercerita suatu ketika di tahun 70-an itu, beberapa acara di Surabaya telah menanti Mbah Nun. Sama seperti ketika berangkat ke Bogor, perjalanan ke Surabaya juga dilakoni dengan bis umum.
Alhamdulillah rangkaian acara di Surabaya ini berlangsung dengan baik dan lancar, dan selanjutnya Mbah Nun akan kembali ke Jogja. Kali ini naik bis juga. Di tangannya, tertenteng satu tas berisi beberapa vandel atau plakat tanda terima kasih dari para panitia atas kesediaan Mbah Nun mengisi acara-acara itu.
Sedikit tentang vandel ini, barangkali ada beda antara Mbah Nun dengan kita. Jumlah vandel yang kita punya mungkin tidak banyak, dan karena itu mungkin menjadi sangat penting artinya buat kita sehingga kita pajang di dinding atau di ruang tamu sehingga para tamu bisa melihat vandel atau penghargaan yang kita punya itu.
Bagaimana dengan Mbah Nun? Jumlah vandel yang diterimanya tak terhitung, karena begitu banyak acara yang beliau mengisinya dengan frekuensi yang terus meningkat. Berderet-deret. Sehingga, kadang muncul suasana manusiawi di dalam batin Mbah Nun bahwa buat apa vandal-vandel ini. Lebih-lebih kalau panitia pengundang ternyata hanya membeli vandel saja dan lupa menyisipkan sangu untuk sekadar tiket kepulangan. Gemes gitu mungkin jadinya.
Nah, di terminal Solo itu, di atas bis, Mbah Nun berpikir akan meninggalkan atau menaruh satu tas vandel itu begitu saja di dalam bis, kemudian beliau turun bis, karena mungkin masih ada perlu dulu di Solo. Mbah Nun turun bis, berjalan kaki meninggalkan bis situ. Tapi beberapa menit kemudian hal yang tidak dibayangkan sama sekali terjadi. Dari toa terminal terdengar bagian penerangan mengumumkan, yang kira-kira barangkali bisa kita bayangkan seperti ini bunyinya: “Pengumuman, Pengumuman! Telah ditemukan sebuah tas berisi vandel-vandel atas nama Emha Ainun Nadjib. Bagi yang merasa kehilangan barang tersebut, mohon segera menghubungi bagian informasi.”
Begitulah, vandel-vandel yang oleh empunya sebenarnya memang hendak dibiarkan “hilang” malah tak mau, dan ingin tetap bersama pemiliknya. Vandel-vandel itu seakan berkata, “Jangan tinggalkan kami, Mbah!” Lalu kita simulasikan Mbah Nun berkata kepada vandel-vandel itu, “Hah…ngintil wae!” Hehe….
***
Beberapa obrolan masih berlanjut di pojok SPBU itu, tapi keberadaan Mbah Nun di situ telah diketahui oleh para pegawai SPBU, dan mereka sudah bersiap untuk minta berfoto bersama. Habis itu, perjalanan menuju Purbalingga dilanjutkan.
Adapun mengenai vandel-vandel yang diterima Mbah Nun, terutama pada tahun-tahun 70-an atau 80-an itu sebenarnya bukan hanya bercerita tentang liku-liku, suka duka, dan riyadhoh perjalanan Mbah Nun dalam melayani kebutuhan masyarakat muslim atau masyarakat luas pada umumnya, namun juga di balik vandel-vandel itu terdapat gambaran mengenai kondisi umat pada waktu itu berkaitan dengan bagaimana suasana keislaman dan syiarnya berlangsung, apa isu-isu yang menjadi perhatian kala itu, dan jenis lembaga apa saja yang menyelenggarakan syiar itu.
Yogyakarta, 30 Januari 2020